jpnn.com, BANJARMASIN - Dua perempuan masuk bursa kandidat calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Banjarmasin pada Pilkada 2020 mendatang. Mereka adalah Ketua DPRD Banjarmasin Ananda dan putri sulung mantan wali kota Muhidin, Karmila.
Ananda perempuan politikus kelahiran 1986, juga menjabat Ketua DPD Golkar Banjarmasin. Sementara Karmila merupakan kader Partai Amanat Nasional (PAN) yang meraih kursi di DPRD Kalsel pada Pileg 2019.
BACA JUGA: Ray Rangkuti Nilai Ade Irawan Sosok Mumpuni Pimpin Kota Tangsel
Kemunculan dua perempuan itu jelas membawa suasana baru. Karena kota ini belum punya pengalaman dipimpin wali kota perempuan. Sekalipun hanya untuk melihat perempuan maju pada Pilkada.
Pertanyaannya, apakah kota ini siap dipimpin perempuan? Pertanyaan itu disodorkan pada pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari, Ani Cahyadi.
BACA JUGA: Nurhidayah Dukung Sugianto Sabran Maju Lagi di Pilgub Kalteng 2020
BACA JUGA: Bursa Calon Menteri: 3 Nama dari PSI, Ada juga Diaz Hendropriyono
"Memang harus ada survei yang mendalam. Tapi bila berkaca pada Pilkada di daerah lain, perempuan memang harus berjuang lebih keras. Apalagi jika dikaitkan dengan budaya orang Banjar," paparya.
BACA JUGA: Anggota KPU: Tidak Ada Kawan dan Lawan Abadi dalam Politik
Meski begitu, bukan berarti kota ini anti pemimpin perempuan. Hanya belum terbiasa. Terlebih, dalam demokrasi tak ada masalah, apakah laki-laki atau perempuan.
"Dalam konteks Banjarmasin, pada dasarnya perempuan bisa saja menjadi wali kota. Tapi harus menunjukkan karakter yang kuat dan tegas," katanya. Dia mengambil contoh Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
Tapi itu Surabaya. Perpolitikan dan karakter pemilih Banjarmasin tentu berbeda. Setidaknya, Ani punya tiga gambaran kelebihan jika kota ini dipimpin perempuan. Diukur berdasarkan karakter kebanyakan kaum hawa.
Pertama, menurut Ani perhatian perempuan jauh lebih detail ketimbang laki-laki. "Dengan kompleksitas permasalahan kota, boleh jadi perempuan bisa menjadi solusi," jelasnya.
Kedua, secara psikologi, perempuan bisa menjadi penakluk. Bahkan visioner. "Bisa memimpin dengan semangat keibuan," tegasnya.
Ketiga, melihat sejarahnya, peluang perempuan untuk menjadi koruptor lebih kecil. Satu berbanding tiga. Setidaknya, lebih banyak laki-laki yang tersandung kasus korupsi. "Tapi bukan berarti tidak memungkinkan korupsi," tukasnya.
Lalu, apa kurangnya? Ani menyebut, besar kemungkinan para pemimpin perempuan lebih menonjolkan sisi feminimnya. Menjadi rentan alias mudah galau.
BACA JUGA: Kejarlah Ilmu Setinggi Langit, Tetapi Ini Rumah Dekat Sekolah Ditolak, Bunda Sedih
"Jika menunjukkan karakter yang tidak kuat, justru bisa menjadi penghambat. Bukan malah menjadi solusi. Saya pikir-pikir lagi, kalau masih ada calon lelaki, kenapa harus perempuan," pungkasnya. (nur/at/fud)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bagi Kader Gerinda yang Berminat Maju, Silakan Mulai Tebar Pencitraan
Redaktur & Reporter : Soetomo