Dua Tahun Penuh Masalah, Jaksa Agung Layak Diganti

Sabtu, 19 November 2016 – 07:20 WIB
Jaksa Agung M. Prasetyo. Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA – Buruknya kinerja Jaksa Agung M. Prasetyo tak hanya terjadi pada fungsi pemberantasan korupsi.

Mantan politikus Partai Nasdem itu juga dianggap tidak mampu melanjutkan program-program reformasi birokrasi di kejaksaan yang berjalan sejak 2005.

BACA JUGA: Anies-Sandi Puji Kenegarawanan Jokowi dan Prabowo

Catatan buruk reformasi birokrasi kejaksaan di tangan Prasetyo tergambar dalam temuan para aktivis antikorupsi.

Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) Choky Ramadhan menyatakan, dua tahun kepemimpinan Prasetyo penuh dengan masalah yang mencoreng agenda pembaruan kejaksaan.

BACA JUGA: Jangan Coba-coba Sebar Kata-kata Provokatif

Hal itu setidaknya tecermin dari pengaduan perilaku tercela, indisipliner, serta tidak profesional para jaksa dua tahun terakhir ini.

Pada 2015 saja tercatat ada 812 pengaduan yang masuk ke Komisi Kejaksaan.

BACA JUGA: Ssstt.. Ada Laporan Dugaan Gratifikasi RPP 52 dan 53

Skandal penjualan barang bukti senilai Rp 5 miliar di NTT menjadi contoh paling tragis rendahnya profesionalitas jaksa pada era Prasetyo.

’’Belum lagi sejumlah jaksa terjerat kasus korupsi yang ditangani KPK. Ada jaksa yang tertangkap tangan menerima suap penanganan perkara,’’ ungkapnya.

Yang disampaikan Choky itu memang cukup beralasan. Berdasar data di KPK, setahun terakhir ini saja ada sembilan nama jaksa yang terindikasi terlibat kasus korupsi.

Nama-nama tersebut, antara lain, jaksa pada Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jabar Devianti Rochaeni.

Dia ditangkap KPK setelah menerima suap Rp 913 juta pada April lalu.

Uang itu diberikan untuk memuluskan penanganan perkara korupsi dana BPJS di Kabupaten Subang yang ditangani Kejati Jabar.

Selain Devianti, komisi antirasuah menahan Fahri Nurmallo yang juga jaksa Kejati Jabar.

Fahri bersama-sama dengan Devianti menerima uang suap dari Jajang Abdul Khoir. Diduga, uang diberikan agar tuntutan jaksa terhadap Jajang dalam perkara itu menjadi ringan.

Bupati Subang Ojang Sohandi juga terlibat. Ojang menjadi penyandang dana. Dia memberikan uang tersebut agar namanya tidak terseret.

Tak lama setelah itu, terungkap penyuapan terhadap Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Sudung Situmorang dan Aspidsus Tomo Sitepu.

Penyuapan tersebut dilakukan Direktur Keuangan PT Brantas Abipraya Sudiwantoko dan Senior Manager PT Brantas Abipraya Dandung Pamularno.

Uang suap diberikan melalui perantara yang juga teman Sudung, Marudut Pakpahan.

Suap diduga ditujukan untuk menghentikan kasus korupsi PT Brantas Abipraya yang sedang ditangani Kejati DKI Jakarta.

Marudut, Dandung, dan Sudiwantoko telah divonis bersalah oleh pengadilan.

Sayang, kasus itu tidak dikembangkan oleh KPK sehingga terkesan janggal. Sebab, ada pihak pemberi suap, tapi tak ada penerima suapnya.

Bukan hanya itu, nama Kajati Jatim Maruli Hutagalung sebelumnya juga disebut menerima suap dari pengacara O.C. Kaligis.

Uang suap itu diberikan untuk penanganan perkara korupsi bansos di Pemprov Sumatera Utara. Pemberian suap kepada Maruli itu diungkapkan Evy Susanti, istri Gubernur Sumut saat itu Gatot Pujo Nugroho, dalam sidang.

Untuk perkara tersebut, KPK menyatakan masih mengumpulkan bukti keterlibatan Maruli.

Kasus jaksa nakal yang terungkap KPK lainnya adalah Farizal. Dia merupakan jaksa di Kejati Sumatera Barat (Sumbar) yang ditetapkan sebagai tersangka setelah menerima suap Rp 365 juta dari Direktur CV Semesta Berjaya Xaveriandy Sutanto.

Uang itu diberikan agar Farizal membantu penanganan perkara gula tidak ber-SNI yang disidangkan di Pengadilan Negeri Padang.

Selain menjadi jaksa penuntut umum (JPU), Farizal berperan seperti penasihat hukum.

Bahkan, dia membantu Xaveriandy membuatkan eksepsi atau nota keberatan.

KPK pun masih mendalami perkara tersebut dengan memeriksa para pejabat di Kejati Sumatera Barat.

Termasuk Kajati Widodo Supriyadi, Kajari Padang Syamsul Bahri, dan Asisten Pidana Umum (Aspidum) Kejati Sumbar Bambang Supriyambodo.

’’Skandal korupsi jaksa ini bukti pengawasan di kejaksaan perlu dibenahi. Perlu formula dasar pencegahan korupsi,’’ tegas Choky.

Menurut dia, kejaksaan di bawah kepemimpinan Prasetyo kurang melibatkan instansi lain dalam melakukan pengawasan.

Padahal, pengawasan internal mereka sudah tidak dipercaya masyarakat.

Indonesia Corruption Watch (ICW) juga memiliki catatan mengenai buruknya reformasi birokrasi kejaksaan pada era Prasetyo.

ICW menyebut kejaksaan tidak pernah terbuka menyampaikan rencana dan capaian hasil reformasi yang sudah dilakukan.

Tidak berjalannya reformasi birokrasi di kejaksaan diduga juga disebabkan kekosongan jabatan wakil ketua jaksa agung sejak pensiunnya Andi Nirwanto pada Januari lalu.

Sebab, secara struktural, pelaksana reformasi birokrasi di kejaksaan diketuai wakil jaksa agung.

Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Aradila Caesar menyatakan, salah satu permasalahan reformasi birokrasi yang menonjol pada era Prasetyo adalah pembinaan karir para jaksa. Banyak di antara mereka yang tidak puas atas kebijakan Prasetyo.

Ketidakpuasan dari kalangan internal itu menyangkut rekrutmen, pendidikan jaksa, mutasi, promosi, dan penunjukan pejabat struktural di kejaksaan.

Merit system dianggap belum berjalan dengan baik. Promosi jabatan di kejaksaan sering dicurigai dan dinilai tanpa tolok ukur yang jelas.

Salah satu yang selama ini dipermasalahkan adalah melesatnya karir anak Prasetyo, Bayu Adhinugroho Arianto.

Ketika ayahnya menjadi jaksa agung, Bayu langsung mendapat promosi sebagai koordinator intel di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Promosi itu dianggap menabrak prosedur kenaikan pangkat.

Sebagai catatan, per 2015 dia baru sembilan tahun berkarir di kejaksaan.

Dalam periode seperti itu, tidak pernah ada seorang jaksa yang bisa mencapai posisi koordinator.

Untuk jaksa berprestasi menonjol saja, belasan tahun paling-paling hanya menjadi kepala seksi (Kasi). Nah, sulit menemukan catatan prestasi Bayu yang menonjol.

Namun, dalam sembilan tahun dia sudah menjadi koordinator. Dengan posisi itu, selangkah lagi dia bisa menjadi kepala kejaksaan negeri.

Selain itu, rekam jejak sering tidak digunakan untuk mempromosikan seorang jaksa.

Jaksa-jaksa yang merasa berprestasi –giat memberantas korupsi– tiba-tiba ’’dilempar’’ atau dimutasi.

Intervensi politik juga masih terdengar sebagai upaya menyingkirkan jaksa yang berprestasi.

Ketidakpuasan internal kejaksaan atas kebijakan Prasetyo setidaknya telah terbukti dari keberanian dua jaksa menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Dua jaksa itu adalah Mangasi Situmeang (mantan Kajati Pontianak) dan Chuck Suryosumpeno (mantan Kajati Maluku).

Mangasi menggugat mutasi dirinya, sedangkan Chuck menggugat pencopotan jabatannya.

Sementara itu, rapor merah kinerja jaksa agung yang dirilis ICW pada Kamis (17/11) mendapat apresiasi dari Komisi III DPR.

Anggota Komisi III DPR Wenny Warouw yakin bahwa ICW punya dasar dan alasan yang kuat untuk memberikan rapor merah terkait dengan kinerja Jaksa Agung Prasetyo.

Komisi hukum DPR juga akan menjadikan catatan itu pertimbangan untuk menegur Prasetyo di rapat kerja komisi III pada Rabu (23/11).

”Kami harus tegur, benar tidak rapor (merah, Red) itu,” kata Wenny saat dihubungi kemarin (18/11).

Karena itu pula, lanjut dia, komisinya akan menyambut baik kalau ICW bersedia menyerahkan laporan tersebut. Data yang ada bakal disinkronkan dengan data yang dimiliki komisi hukum.

Mantan direktur II ekonomi khusus Bareskrim Polri tersebut mengatakan memiliki penilaian senada sejauh ini.

Menurut dia, dalam banyak hal, kinerja kejaksaan memang terkesan lamban. Beberapa kasus jalan di tempat tanpa alasan yang jelas.

”Dan ini sudah berulang kali kami sampaikan ke Kejaksaan Agung,” tutur dia.

Termasuk, papar Wenny, sejumlah kekalahan kejaksaan dalam beberapa gugatan praperadilan yang diajukan pihak yang ditersangkakan.

”Ini semua kenapa? Ada apa? Jauh-jauh hari, kami sebenarnya berharap kejaksaan itu punya gebrakan positif. Tapi, itu tak kunjung terlihat,” ucap dia.

Menanggapi kritik dari para pegiat antikorupsi dan Komisi III DPR, Prasetyo ternyata tetap santai.

”Saya tidak harus menanggapi panjang lebar,” ujar Prasetyo. Dia menyebut ICW tak tahu dan tidak mau tahu dengan apa yang dikerjakannya selama ini.

Dia mengatakan bahwa kejaksaan tak akan menggubris dan terpengaruh rapor merah dari ICW.

”Saya tidak mengerti kriteria apa yang dilakukan ICW. Tapi, biarlah, kita anggap pil pahit saja. Kita tidak terpengaruh itu,” ujarnya. (atm/dyn/jun/lum/c11/ang)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jangan Tunggu Panas Baru Ada Pertemuan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler