jpnn.com, JAKARTA - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) menemukan guru di sejumlah daerah masih fokus merampungkan target kurikulum.
Pelaksana tugas (Plt) Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kemendikbudristek Zulfikri Anas mengungkapkan guru tersebut hanya melihat materi di buku dan menggunakannya dengan cara sama untuk semua anak di satu kelas demi mencapai target itu.
BACA JUGA: Kemenag: Dokumen Kurikulum Merdeka Mungkin Sudah Matang, tetapi...
"Masalahnya, cara itu belum tentu cocok untuk semua anak yang ada di kelas tersebut," kata Zulfikri Anas saat menjadi pembicara Temu Inovasi ke-14 yang mengangkat tema Capaian Keterampilan Dasar Siswa Indonesia di Jakarta, Selasa (6/12).
Zulfikri menilai para guru selama ini hanya berpatokan pada kurikulum sehingga kurang memperhatikan kemampuan siswa. Menurut dia, guru itu merupakan korban dari target kurikulum.
BACA JUGA: Implementasikan Kurikulum Merdeka di Wilayah 3T, Guru Harus Melek Literasi DigitalÂ
Adapun korban selanjutnya ialah siswa. Zulfikri mengaku pernah menemukan SMA yang memiliki siswa kelas X dengan usia rata-rata di atas 15 tahun, tetapi masih tertinggal dalam hal pelajaran matematika.
"Itu karena guru mengajar hanya berdasarkan kurikulum tanpa melihat kemampuan siswa," ujarnya.
BACA JUGA: Kemendikbudristek: Sampai 2023, Sekolah Belum Wajib Melaksanakan Kurikulum Merdeka
Pendiri Indonesia Emas Institute itu menjelaskan para siswa korban kurikulum tersebut masih bisa menjawab ketika diberi soal perkalian satu atau dua digit. Namun, untuk soal perkalian yang sudah tiga digit, para siswa itu kesulitan menjawab.
Setelah dicek lagi, ternyata kemampuan siswa kelas X itu setara dengan pelajar kelas II sekolah dasar (SD). Akhirnya pihak sekolah mengambil jalan tengah, yakni mengajar para pelajar SMA itu seperti anak kelas II SD.
Zulfikar menambahkan sebenarnya literasi siswa dan siswi sudah cukup tinggi. Namun, terkadang kurikulum yang diterapkan membuat literasi mereka seperti jatuh ke titik nol.
Direktur Institute Indonesia Bermutu itu mencontohkan saat berkunjung ke salah satu sekolah di Papua. Di dalam kelas itu ada buku Lelucon Berbuah Masalah.
“Saya tanya kepada mereka apa artinya lelucon dan mereka tidak tahu," kisah Zulfikri.
Mereka juga tidak paham maksud dari lelucon berbuah masalah. Namun, ketika kata ‘lelucon’ itu diganti dengan istilah ‘mop’ yang lebih dikenal, para siswa itu pangsung paham.
Oleh karena itu Zulfikar menekankan Kurikulum Merdeka yang dirancang pemerintah ditujukan untuk bisa diterapkan di semua sekolah.
“Sepanjang ada anak yang mau belajar dan orang dewasa yang mendampingi itu bisa (diterapkan). Jadi, sasarannya bukan mengubah kurikulum, tetapi bagaimana meningkatkan pelayanan kualitas pendidikan kepada peserta didik,” ucap Zulfikar.
Kepala Bidang Sekolah Dasar Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah raga, Kabupaten Sumba Tengah Magdalena Kalli yang juga hadir pada Temu Inovasi itu menjelaskan di daerahnya terdapat kesenjangan pendidikan.
“Kemampuan berhitung siswa di Sumba Tengah itu ternyata baru 30 persen,” ujarnya.
Akhirnya, bupati Sumba Tengah mengeluarkan kebijakan 3 M, yaitu membaca, menghitung, dan menulis.
“Kami meminta 40 sekolah yang ada di Sumba Tengah untuk segera menjalankan kebijakan 3M. Intinya kami ingin meningkatkan kemampuan siswa,” tutur Magdalena.(esy/jpnn.com)
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi