jpnn.com - Dwi Rahayu kini menjadi satu-satunya mahasiswa S-2 Indonesia yang mendalami nuklir di Rusia. Berikut laporan wartawan Jawa Pos Eko Priyono yang baru kembali dari Moskow.
-----
Dwi Rahayu terlihat cukup sibuk saat Atomexpo 2017 di Moskow, Rusia, pada 19–21 Juni lalu. Dia menjadi pemandu utama perwakilan Indonesia yang hadir dalam ajang tahunan itu. ”Saya harus mendampingi beliau-beliau,” katanya ramah.
Perwakilan dari Indonesia antara lain berasal dari Dewan Energi Nasional (DEN), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
BACA JUGA: Revisi Pergub soal Dana Beasiswa Tunggu Persetujuan Mendagri
Salah satu tugas Dwi ialah menjelaskan semua yang dipamerkan dalam Atomexpo 2017.
Jika dirunut ke belakang, perjalanan dara kelahiran 27 Mei 1991 itu cukup berliku sebelum menjadi ahli nuklir.
BACA JUGA: Sabar, Beasiswa Hanya Tinggal Tunggu Pergub
Bermula dari pengalaman di desa kelahirannya di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Sejak kecil hingga SMP, Dwi dan keluarganya tidak merasakan listrik. Desanya tak teraliri listrik sama sekali.
Akibatnya, selama 15 tahun dia tidak mengenal handphone, televisi, komputer, maupun perangkat elektronik lainnya. Desanya baru bisa dijangkau setelah naik speedboat empat jam dari Palembang.
BACA JUGA: Kisah Mahasiswa Liburan Mampir ke Lokalisasi, jadinya Begini
Saban hari aktivitasnya paling banyak dilakukan dari rumah dan sekolah. Selain membantu orang tua, dia menggembala sapi dan kambing.
Pada saat menggembala, buku pinjaman dari perpustakaan selalu dibawa. Paling sering tentang ilmu pengetahuan. Dari sanalah dia mengenal nuklir.
Perkenalan dengan nuklir semakin dalam ketika duduk di bangku SMA. Dia bersekolah di SMA Negeri 2 Sekayu yang termasuk rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI). Buku-buku tentang ilmu pengetahuan semakin banyak didapat.
Di perpustakaan sekolah itu pula Dwi mendapat pengetahuan tentang keunikan teknologi nuklir yang tidak dapat dilakukan teknologi lain.
Guru fisika pernah memberi tahu dia. Ketika nuklir membelah, sekian energi terhasilkan. Perbandingannya, 1 gram uranium setara dengan 2 ton batu bara. ”Saya berpikir, ini luar biasa jika bisa menguasai nuklir,” ucapnya.
Menjelang lulus SMA, sekolah Dwi mendapat undangan agar siswa di RSBI itu mendaftar ke Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir (STTN) Jogjakarta. Dwi salah seorang yang mendaftar. Dia diterima di kampus tersebut tanpa tes.
Setelah kuliah di STTN, perempuan yang memiliki hobi memancing itu mendapat kesempatan melanjutkan S-2.
Tiga beasiswa diraihnya sekaligus dalam waktu bersamaan. Yaitu beasiswa dari Polandia, Rusia, dan Universitas Pertahanan. ”Saya ambil yang Rusia. Fokus mendalami nuklir,” katanya.
Pilihan itu sempat mendapat tentangan keluarga dan teman-teman. Ungkapan menakutkan pun tak jarang dilontarkan.
Salah satunya, perempuan akan kesulitan memiliki anak lantaran terkena radiasi nuklir. Godaan tersebut tak mengubah pendiriannya.
Bahkan, ada yang melontarkan nada pesimistis dengan kuliah yang diambil. ”Kamu mau kerja jadi apa? Di sini belum ada pasarnya,” ucap Dwi mencontohkan.
Akibat pertanyaan itu, beberapa temannya mengurungkan niat untuk mendalami nuklir. Tapi, Dwi punya jawaban lain. ”Justru karena tidak ada pasarnya, saya akan jadi orang yang unik,” ujarnya.
Dengan pendiriannya itulah, Dwi melanjutkan kuliah S-2 jurusan nuclear power and thermophysics dengan fokus advanced technology of light water nuclear reactors di National Research Nuclear University MEPhI di Moskow.
Jalan terjal harus dilalui saat memulai kuliah lantaran kelasnya menggunakan bahasa Rusia. Tidak ada bahasa Inggris. Padahal, saat itu dia tidak mengenal bahasa Rusia sama sekali.
”Saya mengakalinya dengan merekam selama kuliah. Saya dengarkan lagi di asrama. Sampai saya paham,” ucapnya.
Bukan itu saja tantangannya. Di kampusnya ujian bukan hanya menulis jawaban atas pertanyaan pada lembaran kertas.
Meskipun semua jawaban benar, belum tentu dia mendapat nilai 100. Sebab, jawaban itu harus diuji secara lisan di depan profesor. Profesor penguji akan mendebatnya. Tentu dengan bahasa Rusia.
Itu berlaku untuk semua ujian. Baik tengah maupun akhir semester. Di sanalah mahasiswa diuji untuk mempertahankan jawabannya dengan argumentasi ilmiah.
”Saya harus mengetahui filosofi apa yang saya tulis. Meskipun saya paham sepaham-pahamnya, kalau tidak bisa mempertahankan jawaban di depan profesor, nilai akan jatuh,” jelasnya.
Anak pasangan M. Joni dan Karsiniati tersebut mendalami nuklir bersama ratusan mahasiswa dari sejumlah negara. Misalnya Turki yang jumlahnya lebih dari 200 orang, Bangladesh (lebih dari 15 orang), Jordania, Nigeria, dan Mesir. Mereka dikirim ke Rusia khusus untuk belajar nuklir.
Prestasi Dwi di Rusia dalam bidang nuklir cukup moncer. Dalam sepuluh bulan terakhir, dia menjadi peserta pelatihan di Departemen Pengembangan Bisnis Nuklir Rosatom.
Rosatom merupakan BUMN Rusia yang membidangi nuklir. BUMN itu memiliki ratusan anak perusahaan bisnis di bidang nuklir. (*/c9/oki)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Nurwani, Guru PAUD yang Ingin Kuliah Lagi, Malah Dijerat Kasus Korupsi
Redaktur & Reporter : Soetomo