Bukan hanya warga diaspora Indonesia yang berharap bisa memiliki dwi kewarganegaraan. Sejumlah warga asing juga punya harapan yang sama karena begitu sulitnya aturan bagi mereka.

Sementara di sejumlah negara, seperti di Australia, warga Indonesia yang sudah berstatus penduduk tetap memiliki hak yang sama seperti warga negara Australia, yakni hak untuk bekerja dan membeli rumah.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Upaya Kudeta Gagal, Tentara Bolivia Mundur dari Istana Presiden

Yang membedakannya hanyalah tidak bisa ikut memilih saat pemilu, tidak bisa memiliki paspor Australia, serta harus memperpanjang visa setiap lima tahun, itu pun jika mereka pergi keluar Australia.

Salah satu warga asing yang berharap bisa memiliki kewarganegaraan Indonesia adalah Sally Wellesley, asal Inggris, yang sudah setidaknya 30 tahun tinggal di Indonesia dan merasa adalah orang Indonesia.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Julian Assange Resmi Bebas, Akan Kembali ke Australia

"Saya kurang lebih sudah lancar [berbahasa Indonesia]. Saya memiliki dua orang anak yang sudah dewasa, satu tinggal di luar negeri dan satunya di sini," ujar Sally.

Suaminya, orang Indonesia, sudah meninggal dunia, tapi Sally masih ingin menetap di Indonesia.

BACA JUGA: WN Jepang Ditusuk di Jiangsu, China Mengklaim sebagai Negara Teraman di Dunia

"Bagi orang yang posisinya seperti saya, sudah tinggal di sini [Indonesia] selama puluhan tahun, seluruh hidup kami adalah di sini," katanya.

"Bahkan kalau anak kami tidak di sini [Indonesia], tapi hidup kami, teman-teman, komunitas, semuanya ada di sini."

Meski sudah berpuluh-puluh tahun tinggal di Indonesia, Sally menceritakan bagaimana rumitnya mengurus Izin Tinggal Tetap atau ITAP yang hanya berlaku selama lima tahun dan mensyaratkan penjamin yang berkewarganegaraan Indonesia.

"Tapi untuk orang yang tidak memiliki anak yang sudah dewasa di sini, atau yang tidak punya anak, atau yang anaknya tinggal di luar negeri, mereka berada dalam posisi yang sulit," kata Sally.

"Dan menurut saya ini sangatlah konyol karena kami sudah di sini sejak lama sekali, tapi hak untuk tinggal kami sangatlah rentan, harus bergantung pada orang lain."

Bukan hanya ITAP, warganegara asing juga harus memiliki Multiple Exit Re-Entry Permit (MERP) dengan masa berlaku hanya dua tahun untuk bisa keluar-masuk Indonesia.

"Tidak wajib memperbaharui MERP selama tiga tahun KITAP berlaku, tapi kami tidak bisa meninggalkan negara tanpanya," ujar Sally.

Ini membuat Sally harus memperbaharui MERP sebanyak tiga kali selama lima tahun izin tinggal tetapnya berlaku, dengan biaya satu kali perpanjangannya mencapai Rp1,75 juta.

Sally ingin tetap mempertahankan kewarganegaraan Inggrisnya karena masih memiliki kerabat di sana.

"Saya perlu memastikan bahwa saya dapat dengan bebas masuk dan tinggal di negara tersebut jika terjadi sesuatu pada mereka," katanya.

Tapi izin tinggal bukanlah satu-satunya dilema bagi warganegara asing yang menetap di Indonesia.Kesulitan dalam hak properti

Warga negara Amerika, Doreen Biehle, bertemu dengan Widjanarko, saat mereka kuliah di Filipina pada tahun 1980-an.

Setelah menikah, keduanya pindah ke Indonesia pada tahun 1991 dan membeli rumah di Bogor.

Doreen mengatakan rumah tersebut dibeli dengan "dana hasil jerih payahnya dari Amerika Serikat."

"Saya men-transfer [uang] ini ke Indonesia untuk membeli rumah dan merenovasinya," katanya.

"Jadi, ini sudah seperti investasi pribadi saya."

Di Indonesia, warga negara asing (WNA) hanya diperbolehkan menggunakan properti yang dimiliki oleh pasangannya yang berkewarganegaraan Indonesia, atau properti yang disewa dari pemilik tanah yang berkewarganegaraan Indonesia.

Jika Hak Milik berada di tangan pasangan yang berkewarganegaraan Indonesia dan sudah meninggal, warga asing tersebut harus melepaskan hak untuk tinggal di rumah tersebut atau mewariskannya kepada warga Indonesia dalam waktu satu tahun.

Doreen tidak mengalami ini sebagai pemegang Hak Pakai, namun hak rumah yang tanahnya merupakan milik pemerintah tersebut, akan berakhir tahun depan.

"Saya pikir, 'Oh, 25 tahun tidak masalah, mungkin kewarganegaraan ganda akan terwujud'," katanya.

"Terus nama saya atau suami saya bisa dicantumkan sebagai pemilik. Tapi sampai sekarang masih sama saja."Khawatir menyalahi aturan kerja

Hristina Nikoli? Murti, akrab disapa Tina, adalah warga negara Serbia yang sudah 22 tahun lamanya tinggal di Indonesia.

Tina, yang menikah dengan orang Indonesia dan sudah punya seorang anak berusia 14 tahun, juga lancar berbahasa Indonesia.

Dengan latar belakang ilmu linguistiknya, Tina mengatakan sudah terlibat dengan banyak proyek, salah satunya mempromosikan tujuan wisata di Indonesia dan kemampuan menerjemahkan bahasa Indonesia ke bahasa Serbia.

"Sekarang saya sedang mencoba memperkenalkan literatur Indonesia ke Balkan dan dalam beberapa tahun terakhir saya mengambil bagian dalam mengkurasi koleksi Indonesia di Adligat, Book and Travel Museum di Belgrade," katanya.

"Saya menerjemahkan puisi Indonesia ke bahasa ibu saya, Serbia … buku ini tidak akan dijual, namun dimaksudkan untuk disimpan di perpustakaan di seluruh negara saya dan dibagikan kepada budayawan setempat."

Meski sudah lama tinggal di Indonesia dan aktif memperkenalkan kebudayaan Indonesia ke Serbia, Tina masih merasa diperlakukan "seperti orang asing ... hanya sedikit lebih baik dari turis".

Inilah yang mendorongnya untuk berusaha memperjuangkan kewarganegaraan ganda bersama organisasi Aliansi Pelangi Antar Bangsa (APAB).

Tina berharap wacana usulan dwi kewarganegaraan akan terwujud, karena merasakan ketidakpastian hidup di Indonesia sebagai warga negara asing.

Salah satunya adalah hak bekerja, tapi sulitnya mengurus izin untuk bekerja.

"Ketakutan terbesar kami adalah sesuatu akan terjadi pada pasangan kami, lalu kami tidak bisa menopang keluarga," katanya.

Aturan bekerja bagi warga negara asing diatur dalam UU Keimigrasian nomor 6 Tahun 2011 dan UU Ketenagakerjaan.

Disebutkan "Pemegang Izin Tinggal terbatas… dapat melakukan pekerjaan dan/atau usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup dan/atau keluarganya."

Namun mereka hanya dapat dipekerjakan dengan perjanjian kerja waktu tertentu, seperti disebutkan dalam UU Ketenagakerjaan.

Tina mengatakan ada celah antara pasal 61 undang-undang keimigrasian dan aturan Kemenaker, sehingga membuatnya selalu khawatir kalau ia melanggar aturan tanpa sengaja.

"Masalah terbesarnya adalah kami tidak tahu aturan mana yang berlaku untuk kami. Kami berada dalam posisi rentan di mana … kami bisa bekerja dan mungkin mendapatkan penghasilan, kami pun membayar pajak."

"Tapi kami cuma tidak tahu kapan akan ada yang menanyakan lalu bilang, 'Anda melanggar aturan visa, silakan pergi'."

Dilema seputar izin kerja juga dialami Tanya, warganegara Australia yang meminta agar identitasnya disamarkan karena profesi suami, yang orang Indonesia, sebagai aparat pemerintahan.

"Khususnya bagi warga asing perempuan, sangat sulit ketika kita menikah dan punya anak, karena menurut aturan sekarang, [untuk bekerja], kita harus punya izin kerja, yang harganya mahal," katanya, yang sudah hampir 20 tahun tinggal di Indonesia.

Meski UU mengatakan mereka boleh membantu pasangannya yang memiliki bisnis, tapi tidak semua pasangan memiliki usaha.

"Kondisi ini menempatkan kami dalam posisi antara bekerja penuh waktu atau sama sekali tidak bekerja."

Misalnya, ketika Tanya mendapat tawaran untuk menjadi pembicara tamu di sebuah sekolah di Yogyakarta, ia terpaksa menolaknya, karena hambatan aturan kerja bagi warga asing.'Orang berpikir saya punya pembantu'

Tanya sudah berencana untuk melepaskan kewarganegaraan Australia-nya, meski ia tetap berharap akan bisa memegang dua kewarganegaraan demi anak-anaknya.

"Saya merasa Indonesia membuat hidup anak-anak saya sulit dengan meminta mereka untuk memilih kewarganegaraan, karena terkadang saya merasa anak-anak saya tidak merasa mereka 100 persen orang Indonesia," kata Tanya.

"Anak saya sering dibilang 'dia enggak Muslim yang benar karena dia bule'. Jadi meski pun mereka orang Indonesia, Indonesia tidak sepenuhnya mengenali mereka," ujarnya, yang juga mengatakan anak-anaknya belum pernah ke Australia.

Ia juga merasa warga negara asing di Indonesia tidak terwakilkan dalam wacana dwi kewarganegaraan, karena mereka seringkali dianggap lebih memiliki keistimewaan.

"Orang-orang berpikir saya punya pembantu, sopir, dan sebagainya. Dari mana uangnya?" katanya.

"Hanya karena saya berkulit putih, bukan berarti saya lahir membawa pohon uang. Saya tidak bisa bekerja [di Indonesia]."

Tina menegaskan kalau ia tidak ingin kisah-kisah warga asing di Indonesia hanya terdengar seperti keluhan.

"Kami adalah manusia, yang punya keluarga sungguhan dan masalah sungguhan yang bisa diselesaikan kalau ada keinginan dari pihak berwenang," kata Tina.

"Kami tidak memaksa tapi kami hanya berusaha menunjukkan kenyataan untuk mencari solusi bersama."

Sejak berdiri tahun 2002, Aliansi Pelangi Antar Bangsa (APAB) sudah melobi DPR untuk mengubah UU Kewarganegaraan, yang beberapa kali ada yang berhasil.

Kecuali untuk permintaan agar Indonesia memberikan dwi kewarganegaraan, yang belum terwujud sampai sekarang.

Sally, yang juga merupakan anggota APAB, mengatakan organisasinya mengajukan supaya dwi kewarganegaraan diberikan kepada pasangan yang sudah 10 tahun menikah.

"Untuk menyatakan bahwa, 'oke, kami adalah warga yang bertanggung jawab dan dalam hubungan yang stabil'," ujar Sally.

"Karena tidak ada yang menikah selama 10 tahun hanya demi membeli tanah."

Ia mengatakan usulan APAB tersebut justru untuk menjawab kekhawatiran dari pemerintah dan pihak lainnya.

"Kami di sini untuk keluarga, kami seharusnya diberikan hak yang sama selayaknya keluarga Indonesia lainnya."

BACA ARTIKEL LAINNYA... Silang Sengkarut Fakta di Balik Kasus Kematian Afif Maulana

Berita Terkait