Eduard Fonataba, Bupati di Papua yang Dapat Tiga Penghargaan Muri

Awalnya Trenyuh Melihat Rakyat Berjalan Kaki 7 Kilometer

Selasa, 31 Agustus 2010 – 08:08 WIB
Bupati Sarmi Eduard Fonataba. Foto : Mahfud R/Cendrawasih Pos/JPNN

Tiga penghargaan sekaligus dari Muri (Museum Rekor Dunia Indonesia) diperoleh Bupati Sarmi, Papua, Eduard FonatabaPertimbangan pertama Muri, Fonataba dianggap membangun rumah paling banyak untuk rakyat

BACA JUGA: Mengunjungi Istanbul, Ibu Kota Budaya Eropa 2010

Kedua, dia membeli truk paling banyak untuk rakyat
Ketiga, dia melakukan kunjungan kerja paling sedikit ke luar daerah

BACA JUGA: Ketika Mamah Dedeh Harus Menyiasati Padatnya Jadwal Berdakwah



MAHFUD ROHMAN, Jayapura

KETIKA diberi ucapan selamat atas penghargaan yang diterima Sabtu lalu (28/8), Fonataba berekspresi biasa-biasa saja
Dia tak menganggap istimewa penghargaan tersebut

BACA JUGA: Beri Layanan Seharga Semangkuk Bakso

"Sebab, yang saya lakukan adalah kewajiban seorang pemimpin daerah," kata pria kelahiran 6 Oktober 1951 tersebut. 
   
"Untuk menjalankan amanat rakyat itu, waktunya terbatasSaya sadar, tidak semua orang mendapatkan kesempatan menjadi pemimpinKarena itu, waktu yang ada saya gunakan untuk berbuat yang terbaik bagi rakyat," tuturnya.

Fonataba mulai memimpin Kabupaten Sarmi pada 2005Nama Sarmi diambil dari huruf depan suku-suku di sana, yakni Sobe, Airmati, Rumbuway, Manirem, dan IsirawaSarmi adalah kabupaten baru di Papua, hasil pemekaran Kabupaten Jayapura pada 2003Mulai 2003?2005, Fonataba menjadi penjabat bupatiBaru pada 2005, dia secara resmi menjadi bupati

Jadi, bapak empat anak tersebut adalah bupati pertama di kabupaten tersebutAwal-awal menjadi kabupaten baru, kondisi Sarmi masih sangat memprihatinkanDari Kota Jayapura menuju Sarmi, saat itu belum ada jalan daratJadi, kalau hendak pergi ke Sarmi, seseorang harus menggunakan pesawat udara atau kapal laut
   
Namun, kini Sarmi sudah berkembangPerjalanan dari Kota Jayapura menuju Sarmi sudah bisa ditempuh lewat jalur daratWaktu tempuhnya 6-7 jamFonataba menceritakan pengalamannya ketika dipercaya sebagai penjabat bupati Sarmi pada 2003Kala itu, 330 di antara 365 hari dalam satu tahun selalu dia habiskan di tempat tugas.
   
"Sebagai daerah baru, kalau pemimpin tidak ada di tempat, sangat sulit membangun kepercayaan rakyatDengan selalu berada di tempat, bila ada masalah, pemimpin bisa langsung memecahkannya," kata lulusan magister manajemen Universitas Hasanuddin pada 2002 itu
   
Ketika ditanya soal gagasan pembangunan rumah untuk rakyat tersebut, Fonataba menjelaskan bahwa ide tersebut sebenarnya datang dari istrinya, Amelia Waromi"Dia (sang istri) selalu setia mendampingi saya berkeliling dari satu desa ke desa lain," papar dia

Suatu ketika, Fonataba bersama istrinya melewati Kali Waskei di Kampung BagaserwarSaat itu malam, sekitar pukul 19.30 waktu setempat"Kami melihat warga kampung itu pulang dari kebun yang jaraknya sekitar 7 kilometer dengan berjalan kaki," paparnyaKetika itulah istri Fonataba mengusulkan pembangunan rumah di dekat kebun warga tersebut"Sejak saat itu, mulai 2006 dianggarkan pembangunan rumah rakyat bertipe 36 sebanyak seratus unit," papar dia

Sebanyak 50 rumah dibangun di Kampung Bagarserwar dan 50 unit lagi didirikan di Kampung KasukueRumah-rumah tersebut dibangun di atas tanah adat masyarakat setempatYang menentukan lokasi pembangunan rumah itu adalah ondoafi (tokoh adat) dan kepala kampungDengan begitu, diharapkan tidak ada masalah di kemudian hari.

Diceritakan, setiap rumah itu diberi dua tempat tidur, lampu solar cell, dan sumur"Setelah rumah jadi, kami melihat anak-anak belajar di rumah masing-masing di bawah cahaya lampu dari solar cell tersebutSungguh kami terharu saat ituSebab, di tengah hutan yang sebelumnya gelap, kini mereka mulai merasakan sedikit kemajuan," tutur penerima penghargaan Satyalancana Pembangunan pada 2009 tersebut.

Dari situlah, pada 2007 dianggarkan lagi pembangunan 600 lebih rumah rakyatKemudian, pada 2008 juga dibangun 600 unit lebih rumah ituAkhirnya, pada 2010 telah dibangun 2.499 rumah rakyat"Untuk satu kali tahun anggaran, biaya (pembangunan rumah rakyat) sekitar Rp 80 miliar dari dana alokasi umum (DAU)Untuk satu unit rumah, dianggarkan Rp 120 jutaAda pula yang Rp 140 juta, bergantung tingkat kesulitan daerahNamun, sekarang transportasi darat sudah lancar sehingga anggaran rata-rata untuk per unit rumah Rp 100 juta," terang alumnus IIP (Institut Ilmu Pemerintahan) pada 1987 tersebut.

Rumah-rumah itu dibangun di pinggir jalanTujuannya, rakyat mudah mengakses alat transportasi untuk memasarkan hasil kebunJarak rumah yang satu dengan lainnya 100 meterHalaman rumah digunakan untuk menanam bungaTanah di samping kanan atau kiri rumah dimanfaatkan untuk menanam ubi-ubian dan sayuranSelain itu, lahan di belakang rumah digunakan untuk berkebun

Setelah masyarakat mempunyai rumah dan kebun yang sudah menghasilkan, harus ada alat transportasi untuk memasarkan hasil kebun tersebutKarena itu, harus ada truk"Kami mulai mengadakan program bantuan truk ke kampung-kampung pada 2007Kemudian, menyusul pengadaan truk pada 2008, 2009, dan 2010Karena itu, sekarang telah ada 48 truk," jelas dia.

Pada dua tahun pertama, pemda masih memberikan bantuan untuk perawatan truk ituNamun, pada tahun ketiga, pemerintahan di daerah tersebut sudah berjalan sendiri.Tiga hari truk-truk tersebut digunakan untuk memasarkan hasil kebun ke Kota Sarmi maupun JayapuraKemudian, tiga hari sisanya, truk dimanfaatkan untuk mencari uangDengan begitu, masyarakat bisa membeli solar, membayar sopir, maupun membiayai perawatan truk"Memang beratTetapi, sekarang sudah ada tiga kampung yang mampu beli truk lagi," ungkap dia
   
Di wilayah Sarmi, awalnya ada 58 kampungKemudian, ada pemekaran sehingga menjadi 86 kampungYang mendapatkan bantuan truk itu adalah kampung-kampung indukSoal penghargaan ketiga dari Muri karena termasuk pejabat yang melakukan kunjungan kerja paling sedikit ke daerah, dia menganggapnya biasa sajaSelama lima tahun menjadi bupati, dia mengatakan hanya empat kali melaksanakan kunjungan dinas ke luar daerahSeluruh tujuan kunjungan itu adalah Jakarta"Bahkan, dua tahun saya tidak pergi ke Jakarta, yaitu 2008 dan 2010," tegas penerima penghargaan Satyalancana Karya Bhakti Praja Nugraha pada 2010 tersebut.
   
Itu tentu sangat berbeda dengan bupati-bupati lain di Papua, yang sangat sering pergi ke JakartaBahkan, di antara mereka, ada bupati yang selalu menghabiskan weekend di JakartaSeringnya, para bupati tersebut pergi ke Jakarta dengan alasan melobi pemerintah pusat.

Mengapa tidak melobi pemerintah pusat seperti bupati lain? Dengan tegas, Fonataba menyatakan, sekarang lobi tidak diperlukan lagiSebab, aturan sudah jelas"DAU dan DAK (dana alokasi khusus) sudah jelasJadi, tidak ada begitu-begitu lagiDulu, boleh begituTapi, sekarang mereka (pemerintah pusat) melihat hasil kerja kamiKalau kami kerja baik dan laporan dikirim secara rutin, DAU dan DAK pasti ditetapkanJadi, untuk apa sebenarnya ke Jakarta" ucap dia"Kalau semua bupati datang, lalu dikasih arahan, itu kan hanya bersifat seremonialLebih baik melihat kesulitan rakyat," imbuh dia.
   
Tiga penghargaan dari Muri tersebut dia persembahkan kepada semua masyarakat Sarmi(c11/kum)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Wahyu Aditya,Pemimpin Kantor Kementerian Desain Republik Indonesia


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler