Edward E. Masters, Diplomat AS

Tetap Cinta meski Trauma Akibat Bom Marriott

Kamis, 19 Maret 2009 – 06:17 WIB

Mungkin bukan sekadar kebetulan jika diplomat senior Amerika, Edward Eugene Masters, datang ke Indonesia selalu saat terjadi krisisKali ini pun dia datang ke Jakarta saat pasar global, termasuk negaranya, menghadapi krisis ekonomi yang berat

BACA JUGA: Sintong Panjaitan setelah Ungkap Memoar tentang Peralihan Masa Reformasi

Di usianya yang sepuh dia masih aktif menjadi perajut persahabatan kedua negara.

IWAN UNGSI, Jakarta

---

PADA 21 Juni nanti Edward E
Masters akan genap berusia 85 tahun

BACA JUGA: Brigjen Pol Anton Bachrul Alam dan Nuansa Beda di Polda Jatim (2-Habis)

Namun, laki-laki kelahiran Columbus, Negara Bagian Ohio itu masih energik
Saat ditemui Jawa Pos di sebuah hotel di kawasan Segi Tiga Emas yang menjadi langganan para ekspatriat, senyum Masters tampak sering mengembang

BACA JUGA: Brigjen Pol Anton Bachrul Alam dan Nuansa Beda di Polda Jatim (1)

Ini menunjukkan dia seorang pribadi yang terbuka

Setelah hampir setengah umurnya diabdikan untuk merekatkan hubungan AS-Indonesia, Masters optimistis dengan masa depan kedua negara"Saya mendengar rencana Presiden (Barack) Obama mengunjungi Indonesia sebelum akhir tahun iniTapi, saya tidak ingin menjanjikan hal-hal yang bukan kewenangan saya," kata Masters yang kini mengurusi organisasi Usindo (United States-Indonesia Society) yang dirintisnya sejak 1994.

Masters tak pernah membayangkan kalau karirnya akan banyak terkait dengan IndonesiaBahkan, saat mendapat tugas menjadi penasihat politik di Kedutaan Besar AS di Jakarta, Masters menganggapnya sebagai kesalahanSebab, saat itu dia sangat berharap mendapat pos di Eropa.

Saat tiba di Jakarta pada 1 September 1964 atau tepat setahun sebelum peristiwa pembunuhan para jenderal itu, Masters mengakui Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi yang beratSelama empat tahun bertugas di Indonesia (pada 1968 dia ditarik kembali ke Amerika menjadi direktur Indonesia Affairs di Departemen Luar Negeri), Masters ikut menjadi "saksi" dari perubahan besar di tanah airBahkan, kata dia, ingatannya terhadap masa-masa pergantian kekuasaan Soekarno itu masih melekat hingga kini

"Saya ingat benar pagi-pagi saat terjadi GestapuSaat itu saya berada di Kedutaan AS di Jalan Diponegoro 4Pasukan militer bahkan sudah berada di depan kedutaan," kenangnya.

Para tentara tersebut, lanjut Masters, seperti membentuk parade yang terus berlalu lalangSalah seorang staf kedutaan malamnya juga mengaku mendengar tembakan dari belakang kedutaan"Di belakang kedutaan itu rumah Jenderal Pandjaitan," katanya.

Suasana ibu kota Indonesia saat itu sangat mencekamEd, panggilan Edward Masters, langsung berspekulasi bahwa keadaan tersebut bisa dipicu oleh dua halYang pertama, hilangnya kekuasaan SoekarnoKemungkinan kedua, sang proklamator yang dinobatkan sebagai presiden seumur hidup telah meningal dunia.

Selama beberapa hari saat kondisi rawan itu, Masters tidak bisa berbuat banyakDia hanya bisa memantau kondisi dengan mendengarkan siaran radio RRISetelah sempat hilang, siaran radio milik pemerintah itu kembali hidup dengan berkali-kali menyiarkan agar para pendengar waspadaKemudian, diberitakan bahwa masyarakat diminta mendengarkan pengumuman pada pukul 07.00 esok harinya.

"Tepat pukul 07.00 suara Soekarno berkumandangJelas sekali itu suaranya, meski bernada beratNamun, tidak ada penyesalan terhadap pembunuhan para jenderal," ungkap MastersNamun, buru-buru dia menambahkan bahwa Soekarno mungkin tidak tahu bahwa para jenderal itu akan dibunuh"Mungkin tahunya hanya ditangkap," sebutnya.

Dia juga membantah mendukung pandangan mantan agen CIA Robert JMarten, mantan anak buahnya, yang berpandangan bahwa Soekarno menjadi dalang G 30 S/PKIMarten juga mengakui keterlibatan AS dalam mendukung tentara di bawah kepemimpinan Soeharto dalam meluluhlantakkan PKI"Robert berpandangan bahwa Soekarno is the dalangSaya berbeda dengan dia," katanya

Peristiwa G 30 S/PKI, kata Masters, merupakan perpaduan antara hasil kerja PKI dan segelintir kelompok kiri dalam militer IndonesiaBagaimana peran AS, khususnya CIA, yang disebut-sebut turut mensponsori kudeta terhadap Presiden Soekarno? "Saya tidak tahuYang jelas, kami kapok setelah terlibat dalam pemberontakan PRRI Permesta," ujar chairman Usindo tersebut.

Keterlibatan AS dalam PRRI Permesta membuat hubungan kedua negara renggang"Kondisinya (hubungan Indonesia-AS) sangat buruk saat itu," katanya.

Setelah Orde Lama tumbang, muncullah figur SoehartoAmerika sendiri, kata Masters, tidak pernah menduga bahwa perwira tinggi tersebut akan memegang tampuk pimpinan Indonesia hingga tiga dekade lebih"Soeharto tidak berbahasa InggrisJadi, kami tidak pernah tahu siapa itu Soeharto," lanjutnya.

Awalnya Amerika sempat ragu dengan kemampuan Soeharto dalam memimpin IndonesiaApalagi, kondisi Indonesia saat itu sangat mengenaskanInflasi 600 persen dan infrastruktur di mana-mana hancurDemikian pula utang negara membelitNamun, Soeharto bisa mengatasinyaMasters menilai, dalam 20 tahun masa awal kepemimpinannya, Soeharto melakukan hal yang baik untuk Indonesia"Yang menjadi kegagalan Soeharto adalah dalam membangun demokrasi," kata alumnus George Washington University tersebut

Masters memang tahu betul tentang SoehartoSebab, pada 1977, di era Presiden Jimmy Carter, Masters kembali mendapat tugas di IndonesiaNamun, kali ini bukan sebagai diplomat biasa, tapi duta besarTugas itu dijalani hingga 1981.

Saat dimintai pandangan mengenai buku Tim Weiner, jurnalis New York Times peraih Pullitzer yang menulis mantan Perdana Menteri Indonesia Adam Malik sebagai salah satu agen CIA, Masters mengaku pernah diberi tahu oleh seseorang mengenai hal itu"Tapi, saya tidak pernah memiliki bukti konkret tentang hal tersebut," lanjutnya.

Meski pada akhir 1981 Masters kembali ditarik ke Washington, beberapa kali dia tetap keluar masuk IndonesiaDi antaranya mengawal kiprah berbagai bisnis migas di Indonesia yang saat itu menjamur.

Salah satu pengalaman pribadi Masters yang menegangkan adalah pada 2003Saat itu dia harus mengantar Presdir baru Usindo Paul Cleveland ke IndonesiaTanpa ada perasaan apa-apa, dia memilih menginap di Hotel JW MarriottEsoknya terjadi peledakan bom di dekat lobi"Saat itu saya berada di lantai atas hotelItu sebuah pengalaman yang cukup traumatis," ungkapnya.

Meski demikian, Masters mengaku tidak kapok datang ke IndonesiaJustru, dari berbagai pengalaman selama berinteraksi dengan bangsa ini dia merasa salut"Kalian (bangsa Indonesia) menyelesaikan berbagai persoalan secara mandiriMulai penjajahan Belanda, Gestapu, kemudian era pembangunan, termasuk saat transisi menuju demokrasi," katanya.

Masters yakin hubungan Indonesia-AS akan semakin baikEksistensi Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi besar juga membuat potensi hubungan baik itu semakin terbuka"Indonesia dan AS lebih banyak persamaannya ketimbang perbedaannya," katanya.

Kemarin (18/3) merupakan salah satu momen penting dalam kehidupan MastersSebab, sejak itu dia melepaskan jabatannya sebagai chairman di Usindo yang selama ini sukses memupuk hubungan persahabatan kedua negara"Selama masih mampu, saya akan berusaha memberi kontribusi," katanya(el)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengalaman Hidup Banker Tervonis Mati Karmaka Surjaudaja (2)


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler