Setelah meluncurkan buku yang langsung membidik dua tokoh purnawirawan jenderal sekaligus, Sintong Panjaitan terkesan menghindar dari kejaran pers
AGUNG PUTU ISKANDAR, Jakarta
---
SINTONG Panjaitan adalah potret kebanyakan purnawirawan TNI yang harus tetap mencari nafkah pada masa pensiun
BACA JUGA: Brigjen Pol Anton Bachrul Alam dan Nuansa Beda di Polda Jatim (2-Habis)
Rumahnya di Jalan H Hasan, Kelurahan Kalisari, dekat kompleks markas Kopassus di Cijantung, Jakarta Timur, misalnya, didesain untuk ituBACA JUGA: Brigjen Pol Anton Bachrul Alam dan Nuansa Beda di Polda Jatim (1)
Bagian depan untuk bisnis dan bagian belakang sebagai tempat tinggalBagian depan rumah lulusan Akademi Militer Nasional (AMN) 1963 itu berdiri toko dua lantai
BACA JUGA: Pengalaman Hidup Banker Tervonis Mati Karmaka Surjaudaja (2)
Lantai I untuk minimarket Indomaret, sedangkan lantai II untuk studio foto dan salon perawatan kecantikanLahan depan yang masih lowong digunakan sebagai tempat PKLPengaturan lahan itu tampak begitu teraturPKL penjual makanan pun tampak nyaman berjualan dan tertibTempat parkir kendaraan pengunjung berada di samping bangunan toko yang langsung berhadapan dengan rumah Sintong
Meski rumah itu terkesan ramah kepada pelanggan, bukan hal yang gampang untuk bisa bertemu dengan Sintong sekarangSetelah peluncuran bukunya, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, yang membuat publik terhenyak pekan lalu, mantan Danjen Kopassus itu seperti berusaha menghilang dari perhatian publik
Setiap nomor telepon rumahnya dihubungi, Sintong selalu tidak ada di rumahSaat ada yang mengangkat telepon, biasanya yang menjawab adalah pembantunya''Bapak sejak pagi pergiKalau pulang, sangat malam,'' kata salah seorang pembantu Sintong
Kendati sudah punya usaha di rumah, purnawirawan jenderal bintang tiga itu masih aktif bekerjaInformasi yang diterima Jawa Pos menyebutkan, Sintong bekerja di sebuah perusahaan keuanganKarena itu, tiap pagi dia berangkat dan malam baru pulang
Jawa Pos sempat menelepon istri Sintong, Lentina NapitupuluDia mengakui, setelah peluncuran buku itu sang suami memang sengaja tidak muncul lagi di media''Bapak tidak boleh lagi membuat pernyataanSekarang tidak boleh menemui wartawan,'' katanya
Siapa yang melarang Sintong? Lentina tak mau menjelaskanDia hanya mengatakan, dalam waktu dekat akan ada tim khusus yang membuat pernyataan resmi pasca peluncuran buku itu''Tim itu sudah adaNanti, kalau sudah waktunya, semua akan dihubungiSementara ini Bapak jangan diganggu dulu,'' katanya, lantas menutup telepon
Buku itu memang cukup mengejutkanMantan Panglima ABRI Jenderal (pur) Wiranto dan mantan Danjen Kopassus Letjen (pur) Prabowo Subianto digambarkan sebagai sosok yang oportunis, tidak patriotik, dan mangkir tugas dengan alasan pragmatisDua pejabat militer itu pun dianggap bertanggung jawab terhadap kerusuhan dan penculikan pada 1998
Wiranto, misalnyaSaat Soeharto dituntut mundur, kondisi Jakarta mengkhawatirkanSejumlah gedung dibakar, barang-barang dijarah, ada dugaan ratusan wanita diperkosaNamun, kekacauan di ibu kota pemerintahan itu seperti dibiarkan begitu saja
Wiranto yang menteri pertahanan dan keamanan (hankam) seolah sengaja menghindar dari tugasCapres Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) itu malah meninggalkan Jakarta''Wiranto malah berangkat ke Malang untuk bertindak sebagai inspektur upacara pada sertijab PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) ABRI dari Divisi I kepada Divisi II Kostrad,'' tulisnya di buku bersampul hijau itu
Wakil Presiden B.JHabibie saat itu jelas kebingunganDia pun bertanya kepada Sintong ke mana saja pejabat tinggi ABRI saat itu''Di mana para perwira tinggi ABRI yang bertanggung jawab untuk menangani kerusuhan? Saya mendapat laporan di sana sini dibakarDi sana sini hancurSaya bingung,'' tulis Sintong menirukan pernyataan Habibie kala itu.
Kondisi itu, kata Sintong, jelas tidak masuk akalBagaimana mungkin tentara yang terlatih bisa ceroboh seperti ituApalagi, mereka yang berada di Malang bukan hanya WirantoBeberapa pejabat tinggi militer yang lain pun ikut ke sana''Kerusuhan Jakarta kan bukan hanya masalah Kodam Jaya, tetapi sudah menjadi masalah nasional,'' tulisnya.
Pada 16 Mei, Soeharto memanggil Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo H.S., dan Menteri Sekretaris Negara Saadillah Mursyid ke kediamannya di Jalan CendanaSoeharto menginstruksi mereka untuk membentuk operasi semacam Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib)Karena berbagai pertimbangan, nama itu lantas diubah menjadi Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional.
Sebagai seorang tentara, Soeharto mencium gelagat tidak baik yang bisa menggoyang posisinyaKarena itu, dia memberi kewenangan kepada Wiranto untuk melakukan langkah apa pun yang diperlukan untuk mengamankan Indonesia
Namun, tulis Sintong, sikap Wiranto mengambangSikap dia tidak jelas, antara melaksanakan operasi itu atau menolak perintah tersebut''Seharusnya dia menghimpun semua potensi angkatan bersenjata dan memimpin mereka untuk menjamin terwujudnya keamanan dan ketertiban,'' katanya.
Pada saat yang sama, kata Sintong, Wiranto tidak konsekuenSebagai seorang panglima dia boleh-boleh saja menolak perintah presidenNamun, dia harus mundur dari jabatannya paling lama delapan hari sejak penolakan perintah ituSoeharto lantas menawarkan jabatan panglima Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional kepada Subagyo H.SSubagyo rupanya setali tiga uang dengan Wiranto.
Soeharto pun terpojokDia tak lagi punya back up militer yang bisa dia andalkanAlasan stabilitas tak lagi ampuh menggerakkan kekuatan bersenjataPada saat yang sama, sosok yang dulu dihormati sebagai bapak pembangunan itu merasakan adanya skenario dari kalangan pejabat tinggi militer untuk meninggalkannya''Itu seharusnya tidak bolehMereka harus menaati perintah presiden, apa pun alasannya,'' tegas Sintong.
Konspirasi itu pun terlihat dari mudahnya massa merangsek ke gedung DPR/MPRPadahal, bukan hal sulit bagi aparat keamanan untuk menjaga serta menguasai gedung wakil rakyat itu dari massa
''Seluruh kekuatan angkatan bersenjata benar-benar tidak terlihat di JakartaSeharusnya Panglima ABRI mengambil tindakanTapi, malah tidakAlasannya akan menimbulkan banyak korban,'' katanya.
Alasan itu, kata Sintong, jelas tidak masuk akalSebab, operasi seperti itu tak lantas selalu harus memakan korban jiwaJika itu dilakukan dengan tepat, korban tak mungkin jatuhRupanya, skenario itu memang dibuat agar Soeharto jatuh dari tampuk kekuasaan dengan lancarJenderal Besar itu mau tidak mau pasti mundur, menyadari bahwa dia hanya seorang diri mempertahankan kekuasaannya.
Usai ''menembak'' Wiranto, Sintong dalam bukunya juga membidik PrabowoDia menggambarkan anak begawan ekonomi Sumitro Joyohadikusumo itu sebagai sosok tentara yang berjiwa pemberontak, oportunis, dan memiliki sikap bermusuhan dengan SintongBahkan, Prabowo yang juga menantu Soeharto itu kerap bersitegang dengan Sintong.
Peristiwa yang paling diingat Sintong adalah saat Prabowo dicopot oleh Presiden B.JHabibie dari jabatan Panglima KostradPencopotan itu terjadi saat presiden mendapat informasi dari Wiranto bahwa ada pergerakan pasukan Kostrad dari luar JakartaSebagai Panglima ABRI, Wiranto merasa itu di luar perintahnya''Ada juga konsentrasi pasukan di Patra Jasa Kuningan, di sekitar kediaman Habibie,'' tulis Sintong yang saat itu menjadi penasihat presiden bidang hankam
Habibie lantas memerintah Wiranto untuk mencopot PrabowoSebab, panglima Kostrad tidak mempunyai wewenang komando operasionalPanglima Kostrad hanya menyiapkan pasukan dan satuan-satuannyaPerintah melakukan operasi berada di tangan Panglima ABRI
Mengetahui itu, sekitar pukul 15.00 pada 22 Mei, Prabowo datang ke istana dengan pengawal 12 orangDia mengendarai mobil LandroverKarena banyak Paspampres yang mengenalnya, Prabowo tak memiliki kendala berarti untuk masuk istana
Prabowo langsung naik lift menuju lantai 4 tanpa seorang petugas pun yang bisa mencegahnyaDia datang dengan persenjataan lengkapSintong teringat dengan insiden tewasnya Presiden Korea Selatan Park Chung Hee pada 26 Oktober 1979Saat itu presiden ditembak dari jarak dekat oleh Jenderal Kim Jae-gyu dengan pistol dalam sebuah pertemuan di Istana Kepresidenan Korsel
Akhirnya, Sintong lantas menyuruh salah seorang petugas mencegat Prabowo dan melucuti semua senjatanya''Kau ambil senjata Prabowo dengan cara sopan dan hormat,'' katanya.
Sintong sendiri sudah menyiapkan anggota berpakaian sipil bersenjata lengkap di lantai 4 untuk berjaga-jaga kalau-kalau Prabowo memberontak dan tak mau menyerahkan senjatanyaRupanya, Prabowo menurutDia lantas membuka koperlrim, magasin peluru, dan sebilah pisau rimba khas Kostrad.
Kini, sekitar 10 tahun kemudian, saat Sintong memilih membuka usaha toko di rumah, dua kolega yang dia tulis di bukunya, Prabowo dan Wiranto, memimpin partai politik dan maju sebagai salah satu calon presiden Indonesia(el)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengalaman Hidup Banker Tervonis Mati Karmaka Surjaudaja (1)
Redaktur : Tim Redaksi