EE. Mangindaan: Setelah Pancasila Tersandar di Lorong Sunyi

Senin, 02 Oktober 2017 – 22:01 WIB
Wakil Ketua MPR E.E. Mangindaan. Foto: dok. Humas MPR

jpnn.com, MANADO - Sejumlah kegiatan Fokus Group Discussin (FDG) sedang dan akan diselenggarakan MPR RI bekerja sama dengan kalangan perguruan tinggi dan lembaga social lainnya.

Fokusnya adalah “Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara, Ideologi Bangsa dan Ngara dalam UUD NRI Tahun 1945.”

BACA JUGA: Sentilan dan Motivasi Ala OSO Kepada Generasi Muda Bangsa

FGD ini berlangsung Senin (2/10), di Hotel Four Points Kota Manado.

Kegiatan ini diikuti oleh 20 peserta terdiri dari kalangan akademisi dari Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado.

BACA JUGA: Ketua MPR: Tidak Boleh Ada Negara Agama di Indonesia

FGD yang diselenggarakan MPR bekerjasama dengan Unsrat Manado ini menghadirkan tiga narasumber dari Unsrat, yaitu Prof. Drs. Ishak Pulukandang, Toar Palilingan dan Agustinus B. Pati.

Termasuk narasumber dari pimpinan dan anggota Badan Sosialisasi MPR, yakni: Martin Hutabarat (Fraksi Gerindra), Siti Mufattahah (Fraksi Demokrat), Agustina Wilujeng (Fraksi PDI Perjuangan), Djoni Rolindrawan (Fraksi Hanura), dan Arief Wibowo (Fraksi PDI Perjuangan).

BACA JUGA: Lembaga Pengkajian MPR Tampung Gagasan Akademisi

Diskusi terbatas di Kota Nyiur Melambai ini dibuka secara resmi oleh Wakil Ketua MPR E.E. Mangindaan.

“Tema yang diangkat dalam diskusi ini dipandang sangat penting untuk menjawab berbagai tantangan bangsa saat ini, dan di masa depan dalam upaya mewujudkan cita-cita bangsa sebagai mana termaktub dalam UUD NRI Tahun 1945,” kata Mangindaan dalam sambutannya.

Apalagi, lanjut Mangindaan, sejak reformasi, Pancasila seakan tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu, hilang dari memori kolektif bangsa.

Bukan hanya itu, Pancasila semakin jarang kita dengar dan diucapkan ataupun jarang dikutip, serta dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan, maupun kemasyarakatan.

“Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi, jauh dari hiruk pikuk demokrasi,” ungkap mantan Gubernur Sulawesi Utara dua periode ini.

Hanya saja, Mangindaan berharap, forum ini bukanlah untuk membahas hal-hal mendasar yang telah disepakati bersama (ideologi, dasar negara, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika).

Tapi bagaimana pengamalan dan implementasi Pancasila di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Mangindaan menunjuk contoh generasi muda milenial atau generasi IT.

“Kalau generasi yang akan meneruskan estafet kepemimpinan bangsa ini dibiarkan berjarak dari dasar negara maka di kemudian hari negara ini akan menjadi apa? Mudah-mudahan tidaklah demikian adanya,” harap Mangindaan.

Forum yang membahas soal penegasan Pancasila sebagai dasar negara ini berlangsung menarik.

Soal tidak adanya kata Pancasila di dalam Pembukaan UUD dan lambang negara umumnya muncul dua pendapat.

Pendapat pertama, dengan adanya kelima sila di Pembukaan UUD itu sudah cukup, tak perlu lagi ada kata Pancasila.

Untuk itu harus melihat Pembukaan UUD itu tak mungkin bisa diubah. Tapi, ada juga usulan agar Pancasila dicantumkan di salah satu pasal dalam UUD NRI tahun 1945.

MPR sebagai “Rumah Kebangsaan” yang menampung aspirasi masyarakat, Mangindaan berharap, diskusi terbatas ini bisa menjawab tujuh hal penting, yaitu: Pertama, apakah diperlukan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara, serta sumber hukum nasional secara eksplisit ditegaskan ke dalam UUD NRI Tahun 1945, berikut sila-sila Pancasila secara tabulasi?

Kedua, apakah Pancasila perlu ditetapkan sebagai norma hukum dan norma etika yang mewajibkan para penyelenggara negara untuk menjunjung nilai Pancasila sebagai pedoman kebijakan dan tindakan?.

Ketiga, apakah perlu Pancasila dijadikan dasar dan haluan dalam menyusun kebijakan dalam bidang ekonomi, politik, dan pembangunan sumber daya manusia?

Keempat, apakah perlu Pancasila dijadikan suatu kajian ilmu tersendiri di dalam sistem pendidikan Indonesia? Kelima, kebijakan konkret seperti apa yang dilakukan agar Pancasila mempunyai konsistensi dengan konstitusi dan perundangan, koherensi antarsila, dan korespondensi dengan realitas social?.

Keenam, langkah strategis seperti apa yang dilakukan agar Pancasila melayani kepentingan horizontal (seluruh lapisan masyarakat)? Dan, ketujuh, apakah perlu Pancasila dapat dijadikan sebagai pedoman kritik terhadap kebijakan pemerintah.

Sementara Rektor Unsrat, Prof. Dr. Ir, Ellen Joan Kamaat dalam sambutannya menyatakan, sebetulnya tidak pernah meragukan Pancasila sebagai dasar dan ideologi bangsa dan negara dalam UUD NRI Tahun 1945.

Menurut Prof, Ellen, yang perlu dilakukan adalah tidak menganggap Pancasila sebagai formalitas atau retorika belaka.

Melainkan menghilangkan gap atau kesenjangan antara yang diucapkan dan yang dilakukan, antara formalitas dan substansi nyata.

Tantangan Indonesia sekarang, lanjut Prof, Ellen, adalah tidak hanya menjadikan Pancasila sebagai konsep belaka, karena sebaik apapun konsep dia tak akan berarti sama sekali jika tidak didudukkan dngan benar.

“Kita perlu pertanyakan pada diri kita, sejauh mana kita menghayati dasar negara kita ini,” ujar Prof. Ellen selaku mitra MPR dalam penyelenggaraan FGD di Manado ini.(adv/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... OSO: Tidak Usah Permasalahkan Suku dan Asal-usul


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
MPR  

Terpopuler