Ekonom Beberkan Empat Risiko Penerapan PPN Sembako

Kamis, 10 Juni 2021 – 19:29 WIB
Perluasan objek pajak berupa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ke bahan pangan akan berisiko pada berbagai aspek. Foto: Mesya Mohammad/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan perluasan objek pajak berupa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ke bahan pangan akan berisiko pada berbagai aspek.

Menurut Bhima setidaknya ada empat risiko yang akan dihadapi oleh pemerintah.

BACA JUGA: IKAPPI: Kami Mohon Sembako untuk Tidak Dikenakan PPN

1. Inflasi

Bhima menyebutkan kenaikan harga pada barang kebutuhan pokok akibat PPN yang dibebankan kepada konsumen akan mendorong inflasi.

Hal itu tidak menurup kemungkinan akan menurunkan daya beli masyarakat.

BACA JUGA: Awas! PPN Sembako Bisa Berakibat Fatal

"Imbasnya bukan saja pertumbuhan ekonomi bisa kembali menurun tetapi juga naiknya angka kemiskinan," ujar Bhima.

Dia menilai sebanyak 73 persen kontributor garis kemiskinan berasal dari bahan makanan.

BACA JUGA: Soal PPN Sembako, Wakil Ketua MUI Angkat Bicara, Begini Katanya...

" Artinya sedikit saja harga pangan naik, jumlah penduduk miskin akan bertambah," katanya.

2. Pengawasan PPN sulit

Bhima menerangkan pengawasan PPN pada bahan makanan relatif sulit dibanding barang retail lain.

Bahkan, lanjutnya, biaya administrasi pemungutannya menjadi mahal karena sembako termasuk barang yang rantai pasokannya panjang.

"Serta berkaitan dengan sektor informal di pertanian," beber Bhima.

3. Timbulnya risiko barang ilegal

Bhima menambahkan tanpa tarif PPN yang sesuai akan banyak barang ilegal beredar di pasar.

"Sebagai perbandingan kasus kenaikan cukai rokok 2020 mengakibatkan peredaran rokok ilegal naik. Apalagi sembako, sulit mengendalikan pengawasan pajaknya," katanya.

4. kontraproduktif

Bhima juga mengatakan PPN sembako bertentangan dengan terhadap upaya untuk pemulihan ekonomi, karena kenaikan PPN dibarengi oleh rencana pencabutan subsidi lainnya.

"Subsidi listrik, pengurangan bansos," ujar dia.

Dia menyadari saat ini pemerintah sedang mengalami tekanan terburuk dalam rasio pajak sejak tax amnesty 2016 lalu.

Saat ini rasio pajak turun tajam dari 8,3 persen pada 2020 diperkirakan menjadi 8,1 persen di 2021.

"Sementara konsekuensi dari menurunnya rasio pajak ke pelebaran defisit cukup berisiko ke naiknya beban pembayaran utang," katanya.

Namun, pemerintah bisa menggenjot pajak dari sektor lain. Sebagai contoh, kata Bhima dengan memperbesar objek cukai ke barang yang berbahaya bagi kesehatan

"Serta mengevaluasi total insentif perpajakan seperti PPnBM bagi kendaraan bermotor," kata Bhima. (mcr10/jpnn)


Redaktur & Reporter : Elvi Robia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler