jpnn.com, JAKARTA - Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan menjamurnya pinjaman online (pinjol) ilegal harus menjadi momentum untuk meningkatkan pengawasan.
Pasalnya, pinjol ilegal makin menjamur dan sulit untuk diberantas.
BACA JUGA: OJK Merilis Daftar Terbaru Pinjol Legal, Lainnya Abal-Abal
Bhima menyebutkan pengawasan tidak bisa dilakukan secara manual. Harus ada terobosan baru dari berbagai teknologi.
"Mulai dari pemanfaatan AI (kecerdasan buatan) untuk melakukan blokir aplikasi pinjol ilegal secara cepat, jadi ada deteksi dini ketika ada website yang mencurigakan dan mengarah pada praktik pinjol ilegal," ungkap Bhima kepada JPNN.com, di Jakarta, Rabu (13/10).
BACA JUGA: Wakil Ketua DPR Minta Polri dan OJK Berantas Pinjol Ilegal
Menurut dia, OJK juga perlu mempekuat kerja sama dengan berbagai instansi termasuk perusahaan telekomunikasi.
"Gunanya untuk memblokir nomor telepon yang dijadikan sarana pemasana," kata dia.
BACA JUGA: Ini Sasaran Empuk Pinjol Ilegal, Waspadalah!
Tidak kalah penting, Bhima mengingatkan pemerintah untuk segera mengesahkan Undang-Undang Fintech dan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi.
Bhima menilai pinjol ilegal tidak hanya merugikan dari sisi finansial, namun juga data penggunanya. Tidak jarang mereka menyebarkan data pribadi dengan tidak bertanggung jawab.
"Khususnya yang mengatur pasal pidana pelanggaran pemanfaatan data pribadi," kata dia.
Lebih lanjut, Peraih gelar Master in Finance dari University of Bradford, UK itu menyarankan agar pinjol legal memiliki interest rate cap atau batas bunga pinjaman yang maksimum meskipun Fintech P2P berbeda dari perbankan.
Tetapi, memungkinkan ada pengecualian untuk mengatur tingkat bunga agar tidak terlalu memberatkan borrower.
Hal itu mungkin bisa menjadi sebuah diskusi antara pemangku kebijakan dengan asosiasi terkait.
"Kemudian jumlah fintech P2P yang terdaftar di OJK sebaiknya diperketat, sehingga jumlah Fintech lebih kecil dan pengawasan bisa lebih mudah," kata dia.
Pemerintah pun sebaiknya mendorong pinjol legal untuk fokus pada pemberian kredit usaha produktif bukan kredit yang sifatnya konsumtif.
Fintech juga diminta perbanyak kerja sama dengan perusahaan asuransi kredit agar pengawasan lebih ketat bukan hanya dari sisi regulator tetapi juga pihak asuransi kredit.
"Asuransi kredit juga memberikan rasa aman bagi pihak lender yang memberikan dana melalui platform Fintech P2P," beber Bhima.
Bhima justru melihat maraknya pinjol karena banyak faktor, rasio kredit perbankan terhadap PDB yang terlalu rendah.
Hal itu dibuktikan dari data dari Bank Dunia terakhir yang menyebut Indonesia memiliki rasio kredit perbankan sebesar 38,7 persen, Malaysia 134 persen, Thailand 160,3 persen, Singapura 132 persen.
"Ini membuat sebagian besar populasi belum mendapatkan akses pembiayaan yang merata dari lembaga perbankan," ungkapnya.
Kemudian, lanjut Bhima, penetrasi digital sampai ke level pedesaan dan pada semua lapisan masyarakat jadi sasaran empuk pemasaran pinjol.
"Tinggal klik, isi formulir, uang ditransfer," kata Bhima.
Jeratan kemudahan yang ditawarkan pinjol ilegal ini membuat calon korban seakan tidak memiliki opsi lain ketika kebutuhan dana cepat meningkat.
Masyarakat tidak membiasakan diri melakukan pengcekan dulu ke lembaga keuangan yang formal.
"Ya bisa dibilang literasi keuangan digital kita rendah sebenarnya," beber dia.
"Mungkin ada yang di PHK karena pandemi, ada yang buat bayar kebutuhan anak sekolah, biaya kebutuhan pokok, sampai biaya renovasi rumah akhirnya melihat pinjol ini jadi opsi pertama," imbuh Bhima. (mcr10/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robia