Ekonom Dorong Maksimalkan Potensi Pajak Selain Cukai Rokok

Minggu, 06 September 2020 – 15:33 WIB
Uang Rupiah. Foto: JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Ekonom Universitas Indonesia (UI) Vid Adrison mengatakan bahwa pemerintah harus memanfaatkan sumber pajak lain selain cukai, termasuk dari cukai rokok.

Hal itu diungkap kepala Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ilmu Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Vid Edison dalam diskusi virtual "Pandemi, Harga Cukai, dan Naik Perokok Anak", Sabtu (9/5).

BACA JUGA: Waspada Penipuan dengan Mencatut Nama Pejabat Pajak

Menurut Vid, fakta pertama bahwa merokok berbahaya sehingga konsumsi harus dikendalikan. Kemudian, fakta kedua adalah bahwa revenues dari cukai itu besar sekali.

Nah, Vid mengatakan, kalau seandainya mau pro pengendalian, berimplikasi pada revenues. Sebaliknya, kalau pro revenues pasti implikasinya pada pengendalian.

BACA JUGA: Ditanya Soal Pencoretan Pemain, Shin Tae Yong Malah Singgung Soal Pajak

Namun, Vid menjelaskan sebetulnya ada sesuatu yang salah bila dilihat dari aspek lain,  tax revenues Indonesia rendah yakni 9 persen tax to GDP ratio.

Menurut Vid, implikasinya adalah ketika penerimaan dari sumber lain rendah maka pemerintah akan memanfaatkan dari cukai.

BACA JUGA: Kinerja 2019 Moncer, Pupuk Indonesia Setorkan Pajak dan Dividen Rp8,17 Triliun

"Padahal sebetulnya filosopi cukai itu adalah pengendalian bukan untuk revenue," tegas Vid. "Sekarang pertanyaannya kenapa di negara lain itu bisa berhasil? Sederhana, karena tax revenues mereka tinggi," kata Vid.

Jadi, Vid menegaskan, selama tax revenues rendah, maka pasti tidak akan  selesai pro dan kontra apakah pro pengendalian atau revenues. "Jujur,  tidak akan selesai," tegasnya.

Ia mengatakan bahwa di negara lain kontribusi cukai terhadap revenues kecil. Artinya, kata dia, negara-negara tersebut memanfaatkan sumber lain sehingga kebijakan cukainya lebih ke arah pengendalian.

"Jadi, selama tidak clear cukai ini mau ke arah mana, dan selama revenue sumber lain rendah, saya masih menganggap ini bakal terus-terusan berulang," kata Vid.

Lebih lanjut Vid menjelaskan bahwa yang paling dominan untuk mengurangi konsumsi rokok sebetulnya adalah harga. Menurut dia, harga bisa dipengaruhi dua hal yakni pajak dan cukai, serta harga minimum.

Vid mengatakan Indonesia kebetulan memiliki sistem paling kompleks di dunia, karena struktur cukainya terdiri dari empat komponen.

Yakni, jenis produksi apakah buatan tangan atau mesin. Kedua, golongan produksi apakah masuk di atas III atau di bawahnya. Ketiga, adalah rasa yakni kretek atau rokok putih. Keempat harga jual eceran atau HJE.

"Jadi kompleks, superkompleks. Di negara yang sudah lebih ke arah pengendalian, itu sistem cukainya sederhana," kata Vid.

Menurut Vid, struktur yang paling bagus adalah spesifik dan simple. "Kita, sudah spesifik tetapi kompleks," tegasnya.

Dia menambahkan struktur lebih simple dan spesifik menguntungkan revenues dan pengendalian. Namun, lanjut dia tentu juga dengan syarat revenues dari sumber pajak lain harus bagus. Kalau revenues dari yang lain tidak bagus, di ujung-ujung tahun, pasti akan menggenjot cukai.

Vid menambahkan dari sisi keterjangakaun, harga sangat dipengaruhi cukai dan harga minimum.

Menurutnya, yang paling efektif mengurangi konsumsi adalah harga, tetapi harus dikomplementarikan antara harga dan cukai. Sebab, kalau harga saja, tidak bagus untuk revenue pemerintah.

Kalau seandainya cukai saja, ada kemungkinan orang untuk menyerap sebagian kenaikan pajak, sehingga harga tetap affordable atau terjangkau. "Bahasa lebih teknisnya tax under shifting," jelasnya.

Terkait revenues pemerintah yang turun, ia menilai hal itu bukan karena tax atau pajaknya. Menurutnya, penurunan revenues itu lebih karena persoalan HJE. Pada 2020, Vid menjelaskan HJE naik lebih tinggi jauh dibanding cukai.

"Kalau di Indonesia superkompleks, karena harga banderol. Harga banderol itu akan menentukan dia di pajak berapa" katanya.

Belum lagi di lapangan, kata Vid, ada  harga transaksi pasar yang tidak boleh kurang 85 persen. Menurut dia, perusahaan punya kuasa tentukan harga banderol.

"Setelah dia lihat tabel pajak atau cukai ke depan, dia akan menentukan di mana. Nah, harga banderol sangat sensitif terhadap HJE. Lebih sensitif dibanding cukai," ungkap Vid.

Menurut dia, rasionya 1:2, atau ibaratnya 1 persen kenaikan cukai dibanding dengan 1 persen kenaikan HJE, lebih tinggi efeknya dampak dari 1 persen kenaikan HJE. "Itulah gara-gara kenaikan harga tinggi menyebabkan revenue pemerintah turun. Jadi kemarin  bukan karena tax-nya, tetapi lebih kepada HJE yang tinggi," katanya.

Menurutnya lagi, dari sisi pengendalian ini sebenarnya bagus. Produksi menurun, karena konsumsi turun. Namun, dia mengatakan pada akhirnya nanti bisa saja cukai akan digenjot lagi terutama di akhir tahun.

"Jadi kalau mau lebih ke arah revenues atau pengendalian, syarat harus dipenuhi adalah pajak dari sumber lain kuat. Kalau pajak dari sumber lain masih lemah, maka masalah tidak akan selesai," pungkasnya. (boy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler