jpnn.com, JAKARTA - Pengamat Ekonomi Universitas Islam Sumatera Utara, Gunawan Benyamin mengingatkan usaha menjaga kelestarian alam memerlukan keseriusan dan komitmen anggaran yang besar.
Menurutnya, PTVI merupakan salah satu penambang yang sangat peduli dengan lingkungan sekitar. Sustainalytics, lembaga pemeringkat dampak keberlanjutan perusahaan-perusahaan yang terdaftar dalam bursa saham, dalam laporannya di Juni 2022 menempatkan PTVI dalam kategori ‘low risk’ dengan skor ESG mereka berada di kategori ‘strong’.
BACA JUGA: Perkuat Industri Nikel, Hillcon Tawarkan 442,300 Juta Saham
Selama berpuluh-puluh tahun PT Vale Indonesia (PTVI) telah menyalurkan anggaran yang besar untuk terus menjaga kelestarian alam.
“Sustainalytics menjadikan PT Vale Indonesia memiliki rating ESG terendah kedua di dunia. Hal ini berbeda dengan perusahaan tambang yang dikelola pemerintah melalui BUMN. Dalam laporan yang sama, Aneka Tambang dan Bukit Asam berada dalam kategori ‘High Risk’,” kata Gunawan dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Selasa (31/1).
BACA JUGA: Langkah Tegas Jokowi Terkait Hilirisasi Nikel Berhasil Ciptakan Daya Tambah Ekonomi
Dia mengatakan laporan itu membuktikan komitmen besar dari PTVI untuk menjaga kelestarian lingkungan di kawasan sekitar daerah penambangan mereka.
Kesan baik juga diungkapkan oleh Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, dalam kunjungannya ke Blok Sorowako pada November 2022 silam. Seperti diliput oleh berbagai media nasional, Menteri Luhut terkagum dengan keindahan Danau Matano yang berada di jantung operasi pertambangan nikel karena asri dan bersih.
BACA JUGA: Hillcon Naikkan Volume Produksi & Pengangkutan Bijih Nikel di WBN
Namun, polemik tentang divestasi saham PT Vale Indonesia (PTVI) kembali mencuat pada tahun ini, setelah Menteri BUMN Erick Thohir mengumumkan rencana pemerintah mengakuisisi saham mayoritas perusahaan pertambangan ini.
Oleh karena itu, Gunawan mengatakan siapapun yang nantinya menjadi pemegang saham mayoritas dari hasil akhir proses divestasi PTVI, harus melanjutkan penerapan standar keberlanjutan yang telah dilakukan perusahaan ini.
“Jangan sampai karena hanya ingin berfokus pada produksi nikel dan keuntungan semata, masyarakat sekitar yang seharusnya diuntungkan malah dirugikan karena rusaknya lingkungan sekitar," kata Gunawan.
PTVI selama ini membagi alokasi anggaran menjadi tiga bagian, yakni 22 persen untuk pra penambangan dan konservasi, 53 persen untuk proses penambangan, dan 25 persen untuk pasca-tambang termasuk rehabilitasi.
Adapun terkait saham, sebanyak 51 persen saham Vale Indonesia akan dikuasai oleh Indonesia. Ketentuan ini, jelasnya, menjadi syarat memperpanjang kontrak operator pertambangan di Indonesia, dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), sesuai PP Nomor 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba, menggantikan PP No. 23/2010.
PTVI selama ini dinilai sudah bekerja baik dan industri nikel tengah menjadi komoditas mineral primadona dunia. Namun, kesuksesan divestasi Freeport-McMoran 2018 menjadikan referensi baik pemerintah apalagi publik menyambut positif.
Gunawan menilai pemerintah melalui aturan IUPK seperti menyiasati pemindahalihan keuntungan sektor pertambangan yang berlaku pada 2020. Sebelum adanya IUPK, para operator pertambangan dipastikan memiliki saham mayoritas dengan durasi kontrak tambang hingga 30 tahun yang bisa terus diperpanjang.
Rezim IUPK, memberikan batasan pada praktik ini. Penambang pemegang KK yang telah menyelesaikan kontrak 20 tahun dari total 30 tahun izin penambangan yang diberikan harus mengurus perpindahan ke IUPK. Praktik itu mulai lazim dilakukan di negara berkembang, seperti Filipina, India, Ghana, dan Nigeria telah menerapkan sistem yang mirip.
“Melihat ke belakang, PTVI bukanlah perusahaan yang serakah dalam kepemilikan saham. Dari pencatatan bursa, semenjak 1980 sebenarnya PTVI yang saat itu masih bernama INCO menawarkan sahamnya ke Pemerintah Indonesia paling tidak sebanyak dua pesen melalui Bursa Efek Jakarta setiap tahunnya,” ungkap Benjamin.
Puncaknya pada 23 Agustus 1989, jelasnya, INCO mendapat arahan untuk menjual 20 persen sahamnya ke publik karena pada saat itu, Pemerintah Indonesia tidak berniat untuk membeli saham INCO. Kebijakan ini tertuang dalam Surat Keputusan Direktorat Tambang No. 1657/251/DJP/1989 yang saat itu masih bernama Departemen Pertambangan.
Kemudian, lanjutnya, pada 2020, mengikuti pemberlakuan PP Nomor 77/2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, PTVI telah mendivestasikan 20 persen sahamnya ke Pemerintah Indonesia melalui holding BUMN pertambangan, Mining Industry Indonesia (MIND ID).
“Melihat rekam jejak ini, PTVI terlihat bukanlah perusahaan yang ingin menguasai sumber daya alam Indonesia sebanyak-banyaknya dan merugikan masyarakat sekitar,” terang Gunawan Benjamin.(mcr10/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul