Ekonom Ini Sangat Yakin Keperkasaan Rupiah Tidak Bertahan Lama

Senin, 08 Juni 2020 – 20:29 WIB
Ilustrasi Kurs mata uang Rupiah terhadap dolar AS. Foto : Ricardo

jpnn.com, JAKARTA - Analis ekonomi dari Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR) Gede Sandra mengatakan penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) belakangan ini hanya mengikuti tren dunia. Dia menilai tidak ada yang istimewa dengan penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tersebut.

“Karena faktanya selama satu bulan terakhir terjadi pelemahan mata uang dolar Amerika Serikat (USD) terhadap mata-mata uang kunci dunia, seperti Euro (EUR), poundsterling (GBP), dolar Australia (AUD), dan Singapura dolar (SGD),” ungkap Gede kepada wartawan, Senin (8/6).

BACA JUGA: Awal Pekan, Rupiah Masih Baik di Bawah Rp 14.000 per Dolar AS

Menurut Gede, main panasnya situasi politik dalam negeri AS yang dipicu masalah rasial dalam satu bulan terakhir juga menyebabkan USD ikut melemah terhadap mata uang-mata uang negara tetangga di ASEAN, di luar Singapura. Sebut saja terhadap ringgit Malaysia (MYR), bath Thailand (THB), dan bahkan Filipina (PHP).

“Selain itu yang menyebabkan rupiah perkasa belakangan adalah karena 'doping' pinjaman dalam mata uang dolar AS yang dilakukan selama dua bulan terakhir yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan dan BUMN-BUMN,” ungkap Gede.

BACA JUGA: Airlangga Sebut Penguatan Nilai Tukar Rupiah Bukti Langkah Pemerintah Tepat

Seperti diketahui, realisasi penerbitan surat berharga negara (SBN) hingga Mei 2020 oleh Kemenkeu sebesar Rp 420,8 triliun. Ini termasuk global bond yang diterbitkan Kemenkeu pada April 2020 sebesar USD 4,3 miliar.

Pada Mei 2020, empat BUMN dikabarkan sudah dan sedang mempersiapkan penerbitan global bond dengan nilainya mencapai USD 5,6 miliar. Jadi total global bond yang diterbitkan oleh Kemenkeu dan BUMN mencapai USD 10,9 miliar (Rp 162 triliun).

BACA JUGA: Rupiah Lampaui Level Psikologis, Bye Bye Dolar AS

“Penerbitan SBN dengan bunga tinggi ini akan menjadi bom waktu di masa depan, karena beban bunga akan semakin besar sehingga membebani APBN di masa-masa mendatang,” tutur Gede.

Selain itu, Gede menambahkan yang juga signifikan adalah support dari Bank Indonesia yang dilakukan untuk menahan nilai tukar rupiah. Seperti diketahui, Bank Sentral telah membeli SBN yang dilepas asing di pasar sekunder sebesar Rp 166,2 triliun pada April 2020. Ini adalah bagian dari total stimulus BI sebesar Rp 503 triliun untuk menjaga kestabilan sistem keuangan di tengah resesi akibat pandemi corona.

“Namun, di balik semua itu indikator eksternal ekonomi yang lebih fundamental dalam menyangga mata uang yaitu neraca perdagangan, transaksi berjalan, dan neraca pembayaran, tetap mengalami defisit,” kata Gede.

Pada April 2020 BPS mencatat ekspor Indonesia USD 12,19 miliar. Nilai ini anjlok 13,3 persen bila dibandingkan Maret 2020. Anjlok 7 persen bila dibandingkan April 2019. Sementara impor pada April adalah USD 12,54 miliar. Nilai ini turun 6,1 persen bila dibandingkan bulan lalu. Secara total pada April 2020 Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan USD 350 juta.

Adapun indikator eksternal seperti transaksi berjalan pada kuartal I-2020 (Jan-Maret) tercatat masih defisit USD 3,9 miliar. Sementara neraca pembayaran (balance of payment/BOP) pada periode yang sama juga mengalami defisit USD 8,5 miliar.

"Sangat buruk bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019 ketika BOP meraih surplus USD 2,4 miliar," tutur dia.

Kesimpulannya, lanjut Gede, penguatan rupiah saat ini hanya akan sementara. Sebab, penguatannya yang mengikuti tren pelemahan dolar AS dan ditunjang doping dari Kemenkeu, BUMN, dan BI hanyalah artifisial belaka.

“Saat pasar menyadari fundamental ekonomi Indonesia yang lemah, yang kondisinya akan tetap begini hingga akhir 2020, maka situasi akan berbalik,” pungkas Gede. (boy/jpnn)

 


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler