jpnn.com, JAKARTA - Mantan Ketua Bawaslu Bambang Eka Cahya Widodo mengatakan kenegarawanan hakim konstitusi dinanti untuk mengurai masalah yang terstruktur, sistematis, dan masif itu serta melahirkan keadilan substantif.
Bambang Eka Cahya Widodo mengatakan, dengan kenegarawanan itu diharapkan Mahkamah Konstitusi (MK) dapat mengurai 135 perkara yang teregister.
"Maka kita tentu berharap MK menjadi gerbang terakhir dispute resolution dilakukan. Selama ini belum cukup efektif, tetapi ada peningkatan KPU/DKPP untuk meningkatkan penyelesaian masalah," tutur dia, Kamis (21/1).
BACA JUGA: Hadapi Gugatan di MK, Harati Gandeng Mantan Ketua MK dan Ahli Hukum Jokowi
Bambang berharap kepada kenegarawanan hakim Mahkamah Konstitusi karena masalah yang dihadapi sangat nyata dan bisa dirasakan.
Ia juga berharap MK bisa membuat keadilan substantif. MK bisa mengadili berbagai kasus kecurangan pilkada yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
BACA JUGA: Gugatan Rizal Ramli Ditolak MK, Pakar Hukum : PT 20 Persen tak Diatur UUD 1945
"Kita harus mengakui gugatan yang masuk, indikator yang sangat bagus bahwa praktik di lapangan menyisakan banyak masalah," ujarnya.
Contoh pelanggaran yang masih marak adalah politik uang atau money politics di berbagai daerah. Bambang menilai MK perlu progresif dalam mengadili perkara-perkara terstruktur dan masif tersebut.
BACA JUGA: Masih Belum Puas dengan Keputusan soal Presidential Threshold, Rizal Ramli: MK Ketakutan
Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini menjelaskan adanya Peraturan MK No. 6 dan 7 yang meneguhkan syarat selisih seperti diatur dalam pasal 158 UU Pilkada tidak lagi menjadi legal standing atau persyaratan pengajuan permohonan.
Titi mengutip alasan dua hakim MK yakni Aswanto dan Saldi Isra terkait pilihan tersebut.
"Aswanto mengatakan jika MK begitu saja melaksanakan ketentuan syarat perselisihan suara bagi pasangan calon yang mengajukan perkara, maka MK sudah berpihak kepada salah satu calon yakni KPU. Karena itu pemeriksaan sengketa pilkada terkait selisih suara diperiksa di akhir," ujarnya.
Sementara kutipan Saldi Isra yang menurut Titi yakni MK akan memberi ruang dengan mendengarkan pemohon beserta bukti, pihak terkait dan bawaslu.
Namun Titi menyatakan banyak varian kasus yang rumit di MK. Pernyataan ini disampaikannya saat menjawab pertanyaan tentang dugaan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) di Pilkada Lampung, Pilkada Kalteng, Pilkada Kalsel dan pilkada lainnya.
Titi menilai MK perlu mengadili tidak hanya statistik angka hasil, tetapi juga sampai mengurai masalah yang ada.
Saat ini ada 135 perkara yang masuk ke MK terkait sengketa hasil Pilkada 2020. Dari jumlah itu, 7 perkara di antaranya terkait Pemilihan Gubernur.
Salah satunya Pilgub Kalimantan Tengah (Kalteng), dimana KPU Kalteng digugat oleh pasangan Ben Ibrahim-Ujang Iskandar. Ben-Ujang tidak terima atas keputusan KPU Kalteng yang memutuskan pasangan pendapat suara terbanyak adalah Sugianto Sabran-Edy Pratowo dengan 536.128 suara.
Sedangkan Ben-Ujang mendapatkan 502.800 suara. Ben Ujang menilai KPU Kalteng tidak netral, seperti meningkatkan jumlah pemilih signifikan, penyalahgunaan struktur/birokrasi untuk mendukung salah satu calon, hingga money politics yang masif.
Oleh sebab itu, Ben-Ujang meminta MK membatalkan Keputusan KPU Kalteng Nomor 075/PL02.6-Kpt/62/Prov/XII/2020, atau memutuskan digelar Pilkada ulang. (ant/dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil