Eks Ketua BPPN Ungkap Alasan Penerbitan SKL untuk Sjamsul

Jumat, 24 Agustus 2018 – 17:34 WIB
Mantan Kepala BPPN Syafruddin A Temenggung dan penasihat hukumnya, Yusril Ihza Mahendra. Foto: Fedrik Tarigan/Jawa Pos

jpnn.com, JAKARTA - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta kembali menggelar sidang lanjutan perkara dugaan korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang membelit terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung selaku mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Sidang yang berlangsung hingga Kamis malam (23/8/2018) ini, beragendakan pemeriksaan terdakwa. Syafruddin di persidangan menyampaikan, BPPN memberikan SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) karena yang bersangkutan sudah menunaikan kewajibannya.

BACA JUGA: Ahli Hukum: Perkara Syafruddin Temenggung Tidak Masuk Akal

"Karena kewajibannya sudah selesai," kata Syafruddin menjawab pertanyaan salah satu jaksa penuntut umum KPK yang menanyakan kenapa SKL diberikan kepada Sjamsul.

Jaksa pun kembali bertanya SKL itu diberikan meskipun masih ada hak tagih utang petambak PT Dipasena Citra Darmaja (DCD). Menurut Syafruddin, itu bukan bukan menjadi urusan lagi karena Sjamsul sudah memenuhi kewajibannya. "Itu bukan urusan," ucapnya.

BACA JUGA: Misrepresentasi Harus Dibuktikan Lewat Putusan Pengadilan

Syafruddin kemudian menerangan paparan yang sudah dibuatnya soal Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA). "Begini, ini konsep MSAA, 47,25 trilyun (ini yang biru ini) kewajiban dan ini aset dikurangi dengan aset senilai Dari sini dikurangi Rp 18,85 trilyun, sehingga sisanya menjadi kewajiban Sjamsul Nursalim, jadi kurangnya ada berapa. Nah, sisanya Rp 28,4 trilyun itu yang ditanggung oleh pemegang saham," katanya.

Lantas, lanjut Syafruddin, “pemegang saham ini membayar kewajiban angka di atas itu dengan cara apa? Yakni membayar secara tunai sejumlah Rp 1 trilyun serta dengan saham dari 12 perusahan senilai Rp 27,4 trilyun. Karena itu kewajiban dia itu Rp 28,4 trilyun," katanya.

BACA JUGA: Kasus BLBI: Penghapusan Hutang Petambak atas Dasar Keamanan

"Nah sekarang di 2017, penyidik menyatakan, yang ini tagih ke sini. Kalau maunya begitu, ya silakan kita ubah lagi MSAA. Makanya saat kami diperiksa, kalau begini caranya, baik kami akan tulis surat ke menteri keuangan," kata Syafruddin.

Syafruddin pun mengaku sudah dua kali menulis surat kepada menteri keuangan, namun menteri tidak merespons. Dalam surat itu disampaikan, bahwa sesuai keterangan penyidik KPK bahwa masih ada kekurangan pembayaran. Namu berdasarkan audit BPK dan keterengan Menteri Keuangan di DPR sudah diselesaikan dan tidak ada kekurangan.

Jika menuruti seperti keinginan penyidik, lanjut Syafruddin, maka ini sudah melanggar sejumlah ketentuan tentang MSAA. "Kalau begitu, maka kita sudah menabrak semua aturan-aturan, TAP MPR, Propenas, dan keputusan sidang kabinet serta Inpres 9 tahun 2002, mengatakan, MSAA harus dilaksanakan secara konsisten, jangan diubah-ubah, itulah yang diinginkan KKSK sebelum-sebelumnya," kata Syafruddin.

Pada kesempatan ini, Syafruddin menyampaikan bahwa utang petambak Dipasena dan PT Wachyuni Mandira itu bukan merupakan kewajiban Sjamsul Nursalim. "Utang petambak itu bukan kewajian Sjamsul Nursalim," tandasnya.

Menurutnya, untuk membayar BLBI itu pertama-tama adalah menggunakan aset bank itu sendiri, yaitu aset-aset bank yang dinilai baik, yakni kredit yang ada jaminannya tersendiri.

Pada sisi aktiva neraca BDNI saat itu nilainya Rp 47 trilyun, namun yang diambil atau diperhitungkan sebagai pengurangnya hanya Rp 18 trilyun karena yang ini ada penjaminannya seperti utang petambak dijamin oleh Dipasena.

Sedangkan saat jaksa menyoal bahwa Rp 47 trilyun itu merupakan jumlah kewajiban yang harus dibayar, bukan nilai asetnya, Syafruddin menyampaikan kepada majelis hakim bahwa nilai asset BDNI adalah Rp 47 trilyun sebagaimana tergambar dalam neraca BDNI.

"Kami ingin sampaikan ke majelis, dalam rangka ini. Jadi aset BDNI ini Rp 47 trilyun dan ini dari audit BPK 2017, saya tunjukan ke Yang Mulia. Ini audit BPK 2017. Jadi ini aktivapasiva, neraca BDNI 21 Agustus ini dari hasil audit investigasi BPK tahun 2017. Ini yang kami buat ini, ini aktivanya Rp 47 trilyun, ini adalah Rp 47 trilyun bukan dibuat-buat, kami ambil dari sini. Jadi aset BDNI ini adalah Rp 47 trilyun," ujarnya.

Total asset Bank Rp 47 trilyun tapi yang digunakan untuk mengurangi kewajiban hanya Rp 18 trilyun. (dil/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Audit BPK Janggal, Hasil Rapat Kabinet dan KKSK Diabaikan


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler