Soal Dugaan Tindak Pidana Penjualan Aset Pemda

Eks Wali Kota Kupang Ditetapkan Tersangka, Petrus: Kejati NTT Jangan Gaspol Dulu

Minggu, 25 Oktober 2020 – 02:30 WIB
Koordinator TPDI dan Advokat Peradi, Petrus Selestinus. Foto: Dokpri

jpnn.com, JAKARTA - Kejaksaan Tinggi NTT jangan gaspol (kecepatan tinggi) dulu dalam mengungkap kasus dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi di Kota Kupang terkait dugaan penjualan aset Pemerintah Daerah oleh Jonas Salean saat menjabat Wali Kota Kupang kepada pihak Ketiga.

Kejaksaan Tinggi NTT perlu hati-hati, karena tindakan Pemkot Kupang adalah tindakan keperdataan karena menyangkut tindakan Pemerintah Daerah dalam jual beli tanah yang tunduk pada Hukum Perdata bahkan Hukum Adat Kupang.

BACA JUGA: Enam Pati TNI AL Kompak Menghadap KSAL Laksamana Yudo, Ada Apa?

“Ini menyangkut pemilikan tanah oleh pihak ketiga karena jual-beli yang harus dipertimbangkan guna menghindari Kejaksaan dari tindakan salah kaprah bahkan terjadi kriminalisasi terhadap mantan Wali Kota atau mantan pejabat lainnya,” kata Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dalam keterangan persnya, Sabtu (24/10).

Menurut Petrus, Kejaksaan Tinggi NTT sebaiknya menangguhkan seluruh proses pidana yang sedang terjadi dan seyogianya menempuh upaya perdata. Yaitu menggugat pihak-pihak yang diduga terlibat dalam jual beli atas tanah yang diklaim sebagai milik Pemda. Hal ini  untuk memastiknan terlebih dahulu, sah tidaknya jual beli dan pemilikan tanahnya melalui mekanisme gugatan perdata di Pengadilan.

BACA JUGA: Andi Akmal PKS Terima Perwakilan Masyarakat Terkait UU Cipta Kerja

Tangguhkan Proses Pidana

Menurut Petrus, langkah Kejaksaan Tinggi NTT menetapkan dan menahan Jonas Salean (mantan Wali Kota), dkk karena diduga menjual tanah Pemda kepada pihak ketiga, sebagai langkah premature. Oleh karena itu, Petrus meminta Kejati NTT menangguhkan seluruh proses pidana dan menempuh upaya perdata.

BACA JUGA: Arwan Koordinator Aksi Tolak UU Cipta Kerja Ditetapkan Tersangka, Begini Reaksi Aktivis GMNI

“Ini sebagai langkah akomodatif memediasi Pemkot Kupang dan pihak Ketiga yang membeli tanah dimaksud untuk mencari titik temu,” kata Petrus yang juga Advokat Peradi ini.

Kejaksaan Tinggi NTT dan Pemkot Kupang harus mempertimbangkan aspek tindakan keperdataan yang sudah terjadi. Yaitu peralihan hak antara Pemkot dengan pihak ketiga. Ada proses penerbitan Sertifikat Tanah oleh negara sebagai bukti pengakuan oleh negara, maka seluruh proses Perdata dan Administrasi yang sudah terjadi harus diuji terlebih dahulu secara Perdata dan Tata Usaha Negara agar Negara tidak dinilai ingkar janji.

Menurut Petrus, Kejaksaan tidak boleh terjebak dalam dugaan kriminalisasi atau politisasi kasus perdata untuk kepentingan politik Pilkada NTT Tahun 2020 atau 2024 nanti. Karena hukum positif di Indonesia memberi wewenang kepada aparat Penegak Hukum untuk menangguhkan proses pidana.

Petrus mengungkapkan ada peristiwa perdata yang mendahuluinya dan tindakan itu tidak pernah dibatalkan secara perdata oleh para pihak yaitu Penjual dan Pembeli hingga saat ini.

Ada Landasan Hukum Formil

Petrus menjelaskan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1956 jo. No. 4 Tahun 1980, intinya mengatur soal prejudicieel Geschief, bahwa apabila dalam pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu.

Juga ada yurisprudensi Mahkamah Agung melalui putusannya No. 628 K/Pid/1984, yang memerintahkan Pengadilan Tinggi Bandung untuk menunggu adanya putusan berkekuatan hukum tetap yang memutuskan mengenai status pemilikan tanah.

Selain itu dalam pasal 81 KUHP juga memberi wewenang kepada Hakim pidana untuk menangguhkan pemeriksaan perkara pidana menunggu pemeriksaan sengketa perdatanya.

“Semangat ini yang seharusnya menjadi dasar bagi Kejaksaan NTT melihat kasus dugaan korupsi dalam penjualan tanah yang diklaim sebagai aset Pemkot Kupang, pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu,” katanya.

Oleh karena itu, menurut Petrus, Kejaksaan harus mempertimbangkan semua sarana hukum yang ada, mempertimbangkan konsep dan roh Peraturan Jaksa Agung tentang Restorative Justice yang sudah menjadi pedoman bagi kejaksaan dalam menangani kasus dugaan korupsi.

“Meskipun kriteria kasus ini tidak pas tetapi paling tidak semangat restorative justice dalam teori keadilan yang saat ini menjadi hukum positif melalui Peraturan Jaksa Agung, kiranya menginspirasi semua pihak terkait untuk duduk sama-sama mencari solusi penyelesaiannya bukan untuk balas dendam,” katanya.(fri/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler