jpnn.com, JAKARTA - Sejumlah akademisi melaksanakan eksaminasi atas vonis Ferdy Sambo, terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai Wahyu Iman Santoso menjatuhkan vonis mati kepada mantan Kadiv Propam Polri dalam persidangan yang digelar pada Senin (13/2/2023) lalu.
BACA JUGA: Hakim Menguatkan Putusan Hukuman Mati Dalam Sidang Banding Ferdy Sambo
Para eksaminator putusan Ferdy Sambo, di antaranya Prof Marcus Priyo Gunarto, Prof Eddy OS Hiariej, Prof Amir Ilyas, Prof Koentjoro, Chairul Huda, Mahmud Mulyadi, Rocky Marbun, dan Agustinus Pohan.
Para eksaminator berpandangan agar unsur dalam dakwaan itu harus ada dan jelas dalam persidangan.
BACA JUGA: Terapkan Budaya Siri Na Pacce dalam Mengeksekusi Yosua, Ferdy Sambo Tak Layak Dihukum Mati
Selain itu, harus ada dua alat bukti yang sah dan ditambah keyakinan hakim, hakim tidak harus ada keraguan dalam menjatuhkan putusan.
Ahli Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda yang juga merupakan salah satu eksaminator menyampaikan, eksaminasi berbekal pada putusan tingkat pertama dan tidak ada bagian dari putusan banding.
BACA JUGA: Info Terbaru dari PT DKI Jakarta Soal Pembacaan Putusan Banding Ferdy Sambo dkk
Menurut Chairul Huda, memang cukup banyak hal menarik yang dipersoalkan praktisi hukum.
Dia mencontohkan seperti mengenai pembunuhan berencana yang menurutnya tidak terlalu dipahami majelis.
Chairul Huda menyampaikan pembunuhan berencana itu adalah pembunuhan yang diperberat karena adanya hal tertentu terkait dengan hal yang dilakukan.
"Jika mengutip Prof Andi Hamzah, pembunuhan berencana adalah pembunuhan yang dipikir-pikir lebih dulu," terangnya.
Menurut Chairul Huda, salah satu yang krusial, yakni berkaitan dengann posisi Putri Chandrawati (istri Ferdy Sambo), Kuat Ma’ruf (sopir pribadi Ferdy Sambo), dan Ricky Rizal (ajudan Ferdy Sambo).
Chairul Huda menyampaikan, ketiga orang tersebut sebenarnya tidak bisa dikatakan sebagai bagian dari pembunuhan berencana, namun kemudian majelis beranggapan sebaliknya.
“Mereka dianggap sebagai bagian pembunuhan berencana. Padahal tidak ada,” terang Chairul melalui keterangan tertulis yang diterima, Senin (12/6).
Selain itu, lanjut Chairul Huda, mengenai peran Ferdy Sambo, eksaminator beranggapan suasana tenang dalam pembunuhan berencana itu sebenarnya ada pada diri Bharada Richard Eliezer.
Chairul Huda mengatakan majelis hakim tidak mampu melakukan konstruksi secara jelas seperti apa perbuatan secara bersama-sama sebagaimana dimaksud dalam dakwaan pembunuhan itu.
Selain itu tidak jelas kontribusi Putri Chandrawati, Kuat Ma’ruf dan Ricky Rizal dalam posisi kasus pembunuhan berencana, karena yang tampak secara nyata pada Ferdy Sambo dan Bharada E.
"Ini harus dikritisi, dianggap turut serta ini bersama-sama, ada pergeseran makna turut serta yang diartikan bersama-sama. Kami menilai putusan ini diibaratkan sekadar untuk memenuhi keinginan netizen. Karena begitu kuatnya tekanan netizen dalam kasus ini,” kata Chairul Huda.
Sementara itu, pakar hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) Mahrus Ali menilai kasus Ferdy Sambo menarik untuk teliti.
Mahrus Ali melihat adanya dua versi motif dari penasehat hukum dan jaksa yang berbeda yang kemudian sama-sama ditolak hakim.
Pertimbangan hukum dari hakim tersebut dinilai kurang lengkap.
Eksaminasi ini mengunakan pendekatan perundang-undangan dan dokrin doktrin hukum.
Eksaminasi penting dilakukan, karena bermanfaat baik secara teoritis untuk pengembangan khasanah keilmuan hukum pidana maupun praktik kemudian dijadikan sebagai bahan ajar bagi dosen dan mahasiswa pada mata kuliah eksaminasi publik.
Sementara itu, saat sidang vonis kasus Ferdy Sambo yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin (13/2022) lalu, Ketua Majelis Hakum Wahyu Iman membeberkan sejumlah pertimbangan yang memberatkan Ferdy Sambo.
Pertama, perbuatan Ferdy Sambo dilakukan terhadap ajudan sendiri yang telah mengabdi selama tiga tahun.
Kedua, perbuatan terdakwa menyebabkan luka mendalam bagi keluarga Brigadir J.
"Ketiga, perbuatan terdakwa menyebabkan kegaduhan di masyarakat," kata Hakim Wahyu di ruang sidang.
Keempat, pembunuhan terdakwa Ferdy Sambo tidak pantas dalam kedudukannya sebagai aparat penegak hukum dalam hal ini Kadiv Propam Polri.
Kelima, perbuatan Ferdy Sambo telah mencoreng institusi Polri di mata Indonesia dan dunia.
Keenam, perbuatan Ferdy Sambo menyebabkan anggota Polri lainnya terlibat.
Ketujuh, terdakwa berbelit-belit, tidak mengakui perbuatannya.
Atas vonis mati tersebut, setelah banding ditolak Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Ferdy Sambo saat ini masih berupaya mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. (mar1/jpnn)
Redaktur & Reporter : Sutresno Wahyudi