jpnn.com, JAKARTA - Pakar hukum pidana, Chairul Huda menjadi bagian eksaminasi putusan hukuman mati yang dijatuhi kepada mantan Kepala Divisi Propam Polri Ferdy Sambo.
Total ada delapan eksaminator yang terdiri dari pakar-pakar hukum ternama, termasuk Prof. Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej.
BACA JUGA: Hakim Menguatkan Putusan Hukuman Mati Dalam Sidang Banding Ferdy Sambo
Huda mengaku menulis eksaminasi putusan hukuman mati terhadap Ferdy Sambo, itu berbekal pada putusan tingkat pertama atau Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Menurut dia, putusan tingkat banding tidak menjadi bagian eksaminasi karena hanya menguatkan putusan tingkat pertama saja.
BACA JUGA: Teddy Minahasa Singgung Soal Perusakan CCTV di Kasus Sambo dan KM 50
“Memang cukup banyak hal menarik untuk dipersoalkan bagi kita akademisi maupun praktisi hukum,” kata Huda dikutip dari Youtube LKBH FH UII, Minggu (11/6).
Pertama, Huda mengupas soal pemahaman majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menjatuhkan hukuman mati kepada Ferdy Sambo. Hal ini, kata Huda, tidak tepat dipahami tentang apa itu pembunuhan berencana.
BACA JUGA: Terapkan Budaya Siri Na Pacce dalam Mengeksekusi Yosua, Ferdy Sambo Tak Layak Dihukum Mati
“Ini adalah kasus pembunuhan, yang memang diperberat hukumannya karena ada hal tertentu terkait dengan pelaksanaannya, yang orangnya juga bisa menyebutnya dengan berencana,” ujar penasihat ahli Kapolri ini.
Sebetulnya, kata dia, jika mengutip Prof. Andi Hamzah bahwa pembunuhan berencana adalah pembunuhan yang dipikir-pikir lebih dulu. Sehingga, pembunuhan berencana itu dibedakan dengan pembunuhan spontan.
“Pembunuhan secara spontan dan pembunuhan si pelaku mempunyai suasana yang tenang untuk memikirkan apa yang mau dilakukan,” jelas dia.
Nah, Huda melihat disini kesalahan majelis hakim adalah posisi Putri Candrawathi, Ricky Rizal Wibowo dan Kuat Ma’ruf.
Justru, Huda mempertanyakan apa kontribusi mereka terhadap matinya Brigadir Yosua di rumah dinas Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan.
“Sebenarnya tidak ada, tapi kemudian mereka dianggap menjadi bagian pembunuhan berencana yang sebenarnya tidak ada kontribusinya,” katanya.
Sedangkan, kata dia, Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada Richard yang punya kontribusi. Sementara, lanjut Huda, peran Ferdy Sambo dalam kematian Brigadir Yosua masih diperdebatkan.
“Richard merenungkan apa yamg mau dilakukan di kamar mandi, dia berdoa sebelum melakukan itu. Itu suasana yang tenang memikirkan perbuatannya. Apa hubungannya dengan yang lain, tidak memberikan kontribusi terhadap matinya korban. Kalau kontribusi tidak ada, lalu dianggap sebagai turut serta,” sebutnya.
Makanya, Huda menyebut kurang tepat penerapan pasal pembunuhan berencana terhadap mereka.
Sehingga, kata Huda, perlu dikritisi praktik hukum di Indonesia ketika menggunakan masalah penyertaan terutama turut serta melakukan. Herannya, dianggap turut serta sepanjang orang itu bersama-sama.
“Jadi ada pergeseran makna turut serta, yang didalam praktiknya selalu diartikan bersama-sama. Padahal, turut serta itu adalah perbuatan yang sangat spesifik dari delik. Dia berkontribusi langsung terhadap perwujudan larangan undang-undang sebagai delik. Tapi praktik hukum biasanya terdakwa bersama-sama, seperti apa bersama-sama ta, itu tidak jelas,” ungkapnya
Oleh karenanya, Huda mengatakan persoalan utama perkara kematian Brigadir Yosua ini adalah majelis hakim yang memproses dan mengadili.
Menurut dia, hakim tidak mampu mengkonstruksi seperti apa perbuatan bersama-sama itu.
“Pemahaman saya, bersama-sama itu tentu kontribusi terhadap matinya korban, karena ini delik pembunuhan bukan delik perencanaan. Di dalam putusan ini seolah-olah deliknya adalah merencanakan, bukan membunuh,” jelas dia.
Selain itu, Huda mengatakan ada hal unik dari kasus ini yang menjerat Ferdy Sambo dengan penyertaan. Padahal, kata dia, hakim menganggap Ferdy Sambo sebagai aktor intelektual tapi juga pelaku.
“Konstruksi majelis hakim seperti ini adalah konstruksi yang terpaksa,” kata Huda.
Menurut dia, majelis hakim dihadapkan dua persoalan yaitu konstruksi pasal dakwaan dan opini publik. Dalam pertimbangannya, kata dia, hakim memandang Ferdy Sambo sebagai aktor intelektual.
Di sisi lain, lanjut Huda, Ferdy Sambo dikatakan turut serta atau pelaku utama karena ikut menembak.
“Jadi, disini hakim terpaksa menggunakan konstruksi itu. Konstruksi yang menjebak hakim sehingga berakrobatik dalam mempertimbangkan perkara ini. Sambo dianggap menembak yang hanya didasarkan pada keterangan Richard tidak berkesesuaian dengan saksi lain, tidak sesuai barang bukti, tidak sesuai dengan keterangan ahlinya. Tapi itu terpaksa dilakukan agar dapat mengkualifikasi Richard sebagai justice collaborator,” ungkapnya.
Selanjutnya, Huda mengungkap hasil eksaminasi hukuman mati untuk Ferdy Sambo terkait motif. Memang, ia sependapat bahwa motif bukan bagian unsur yang harus dibuktikan.
Akan tetapi, kata dia, perlu dicatat bahwa perkara-perkara yang motifnya belum ada titik terang atau belum terungkap di persidangan, itu tidak boleh dijatuhkan vonis mati.
“Problemnya disitu, hakim ultrapetita. Dia menjatuhkan putusan lebih daripada tuntutan jaksa, padahal dia tidak mampu mengungkap sebenarnya motifnya apa kasus ini. Kalau cuma kecewa, masa seorang Ferdy Sambo kecewa lalu sampai sebodoh itu membunuh. Jadi motif belum jelas tapi divonis mati, yang notabane ultrapetita,” katanya.
Tentu saja, Huda mengatakan hakim boleh saja menjatuhi hukuman ultrapetita sepanjang tidak keluar dari dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum. Namun, kata dia, tidak boleh juga dijatuhkan tanpa pertimbangan hakim yang cukup.
“Kalau motifnya tidak terungkap, maka ini belum pertimbangannya yang cukup. Maka putusan ini batal demi hukum, karena menjatuhkan vonis mati yang sifatnya ultrapetita tanpa pertimbangan yang cukup. Kalau tidak terungkap motifnya, vonis paling banyak sesuai tuntutan. Artinya tidak boleh pidana melebihi tuntutan, atau tidak boleh vonis mati. Ini obral pidana mati, dalam rangka untuk memenuhi keinginan netizen. Itu berhasil dilakukan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,” pungkasnya. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif