Eksistensi Wong Hang 81 Tahun Jadi Spesialis Jas

Studi Banding Biar Tetap Up-to-Date

Minggu, 28 September 2014 – 06:34 WIB
WARISAN KAKEK: Wong William di salah satu butik Wong Hang di Darmo Park. Dia adalah generasi ketiga Wong Hang. Dinda Lisna Amilia/Jawa Pos/JPNN.com

jpnn.com - Di tengah dinamika dunia fashion tanah air, tidak mudah mempertahankan bisnis di bidang pakaian. Apalagi pakaian laki-laki. Tapi, salah satu label dari Kota Pahlawan, Wong Hang, membuktikannya. Agustus lalu Wong Hang mendapat penghargaan Indonesian Living Legend Brands 2014 dari salah satu majalah ibu kota.

Laporan Dinda Lisna Amilia, Surabaya
===============================

BACA JUGA: Ditemani Pemandu Virtual, Koleksi Indonesia Terbanyak

APAKAH ada orang yang memesan Chinese food di restoran makanan Padang? Itulah analogi Wong William soal kemungkinan membuka desain busana perempuan. Ya, sejak berdiri pada 1933, Wong Hang memang punya spesialisasi tailor. Tak ada baju cewek di sana.

Wong William adalah generasi ketiga pada bisnis itu. Dia adalah anak Wongso Soebroto. Wongso diwarisi bisnis tersebut oleh Wong Hang, ayahnya yang meninggal pada umur 40 tahun. Wongso adalah anak pertama di antara sembilan bersaudara. Karena itu, dia yang meneruskan.

BACA JUGA: Ciptakan Robot Pembelajaran dan Permainan Punakawan

William juga terlibat dalam bisnis keluarga tersebut saat usianya muda. Sejak remaja, bungsu di antara lima bersaudara itu melirik upaya keluarga besarnya. Semua bahu-membahu membangun bisnis tersebut.

”Saya benar-benar terlibat saat masih kuliah, sekitar awal 1990-an,” ucap suami Elizabeth Andi tersebut. Sejak tahun itu pula, seluruh anak Wongso sepakat untuk memikirkan cara mengembangkan bisnis keluarga tersebut.

BACA JUGA: Adaptasi Karakter Power Ranger Jadi Superhero Lokal

Hal pertama yang mereka lakukan adalah meng-update desain jas. Sebab, saat itu jas identik dengan baju yang kukuh, kaku, dan berat. Jadi, kesannya, jas hanya bisa digunakan dalam waktu yang singkat pada sebuah acara formal.

Mereka studi banding ke Singapura, Malaysia, Hongkong, Tiongkok, Inggris, Prancis, hingga Italia. ”Lumayan, sekalian jalan-jalan,” ucap alumnus Jurusan Manajemen Universitas Kristen Petra tersebut.

Inspirasi pengembangan desain jas pun kian berjibun. Di luar negeri, mereka menemukan bahwa banyak lelaki mengenakan jas dalam rutinitas sehari-hari. Karena itu, tekstur jas sangat lembut, lentur, tidak kaku, dan pas di badan. ”Contoh yang paling mudah, lihat saja James Bond, saat berkelahi itu bisa nyaman pakai jas,” candanya.

Selain studi banding, William dan tim hunting bahan kain yang bisa membuat jas kelihatan nyaman dikenakan. Selepas itu, mereka tidak langsung me-launching desain terbarunya. Mereka memilih mematangkan konsep Wong Hang yang anyar.

Pada 1994 Wong Hang merambah ibu kota. Butik perdana dibuka di Mangga Besar Raya. Setelah itu bertambah di Kelapa Gading Boulevard, Pluit, dan Pondok Indah. Satu demi satu koleksi pun diperkenalkan kepada pelanggan.

Nah, launching secara resmi baru dilakukan di Surabaya pada 1996. Di Hotel Shangri-La sejumlah model ternama ketika itu didatangkan. Sebut saja Ari Wibowo, Adjie Massaid, Gunawan, hingga Atalarik Syah. Fashion show serupa juga diadakan di Jakarta. Bahkan, di Surabaya acara itu rutin digelar tiap tahun sampai 1998.

Respons masyarakat cukup menggembirakan. Awalnya, mereka sekadar penasaran bagaimana jas bisa dibuat press body. Namun, desain Wong Hang ternyata terus disukai masyarakat. Terlebih, desain itu terus berkembang menyesuaikan zaman.

Karena itu, studi banding jadi rutinitas keluarga besar tersebut. Tiap tahun lima bersaudara itu bergantian ke luar negeri untuk belajar plus berlibur. ”Yang mutlak jadi kiblat itu Paris dan Milan,” ucap ayah Cathleen Wongso, Charleen Wongso, dan Coleen Wongso tersebut.

Dari tempat tujuan studi banding itu, William mendapat banyak inspirasi desain dan bahan terbaik untuk membuat jas. Komposisi jas memang tidak melulu kain. Banyak komponen lain yang menentukan kenyamanan dan harga jas. Misalnya untuk membuat jas premium, bahan yang dibutuhkan adalah ayakan bulu domba halus, bulu kuda, busa, dan sutra. Bulu juga harus diberikan pada daerah tertentu di bagian jas. Tak heran, jas paling mahal bisa dibanderol puluhan juta rupiah. ”Tapi, kami juga bisa bikin yang harganya sesuai kemampuan. Karena itu, sistemnya custom,” imbuh penghobi badminton tersebut.

Dalam menjalankan sebuah bisnis keluarga, selain menjaga kekompakan, menurut William, yang tidak kalah penting adalah menjaga kualitas. Itu pesan sang engkong agar bisnis mereka tetap bisa berjaya untuk anak-cucu. Karena itu, William dan keluarga tidak punya rencana untuk membuat sistem bisnis tersebut menjadi franchise. Mereka lebih berfokus pada pengembangan produk. ”Profit jadi bukan hal utama, yang penting menjaga nama lewat kualitas,” imbuhnya.

Tak heran bila Wong Hang menyabet banyak penghargaan. Yang paling baru, Agustus lalu Wong Hang menjadi salah satu brand yang mendapat penghargaan Indonesian Living Legend Brands 2014 versi majalah bisnis SWA.

William paham akan kewajibannya untuk mempertahankan eksistensi bisnis keluarganya itu. Posisinya dalam Wong Hang sendiri adalah desainer. ”Selain selalu update desain yang baru, harus melayani customer dengan sabar,” ucapnya, lantas tertawa.

Tak terhitung pengalamannya bersama pelanggan. Misalnya, ada customer yang protes. Dia merasa bahwa jas yang diterimanya tidak disetrika terlebih dahulu. Padahal, tekstur lengan jas memang harus bulat. Tak ada garis bekas setrika di bagian lengan itu.

Sejauh ini, lanjut dia, kalangan yang Wong Hang layani para eksekutif muda atau ekspatriat. Seiring waktu, Wong Hang punya 12 butik yang menyebar di enam kota. Yang paling baru adalah cabang di Gading Serpong, Tangerang, awal tahun ini. (*/c11/dos)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Juru Masak Kapal Perang Markas KRI Makassar


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler