Elektabilitas Prabowo-Gibran Tergerus, Pengamat: Wajar

Selasa, 07 November 2023 – 20:53 WIB
Prabowo dan Gibran saat mendaftar ke kantor KPU, Jakarta, Rabu (25/10). Foto: Ricardo/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Hasil survei terbaru Charta Politika menyebutkan pencalonan Gibran Rakabuming Raka, yang merupakan putra Presiden Joko Widodo malah membebani elektabilitas capres Prabowo Subianto.

Pengamat politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Airlangga Pribadi menilai hasil survei tersebut adalah hal yang wajar.

BACA JUGA: Disokong Ulama, Suara Prabowo-Gibran Menguat di Kelompok Muslim dan Pesantren Jabar

Menurut Airlangga, penurunan elektabilitas Prabowo-Gibran merupakan konsekuensi dari makin tingginya kesadaran publik bahwa telah terjadi intervensi kekuasaan dalam meloloskan nama Gibran seusai putusan MK yang dipimpin sendiri oleh adik ipar Presiden Jokowi alias paman dari Gibran tersebut.

Apalagi, di media sosial juga marak sebutan “Mahkamah Keluarga” sebagai sindiran atas putusan kontroversial MK yang harus mengubah Undang-Undang untuk meloloskan Gibran.

BACA JUGA: Disokong Tim Solid, Prabowo-Gibran Berpotensi Meraih Kemenangan Pilpres 2024

“Survei yang dilakukan oleh Charta Politika memperlihatkan tampilnya Gibran mendampingi Prabowo justru membebani Prabowo, alih-alih ikut memperkuat suara, malah merosot. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari persepsi tentang naiknya Gibran sebagai cawapres tidak bisa dipisahkan dari intevensi kekuasaan dan penggunaan institusi hukum MK sebagai instrumen kekuasaan,” tegas Airlangga, Selasa (7/11/2023).

Airlangga mengatakan persepsi adanya intervensi kekuasaan di tubuh MK membuat pandangan publik bergeser, terutama bagi para pendukung Presiden Jokowi dan tidak serta merta memperkuat kandidasi Gibran.

BACA JUGA: Setelah Putusan MK, Elektabilitas Ganjar-Mahfud Menempel & Berpeluang Salip Prabowo-Gibran

“Justru yang terjadi adalah penguatan tentang tampilnya Gibran sebagai simbol representasi politik dinasti Jokowi yang berusaha melanggengkan kekuasaan,” kata doktor alumnus Murdoch University, Australia, tersebut.

Seperti diketahui, pada Senin (6/11/2023), Charta Politika merilis hasil survei terbaru.

Simulasi tiga pasang calon presiden-calon wakil presiden, Ganjar Pranowo-Mahfud MD mendapat elektabilitas tertinggi yakni 36,8 persen, disusul Prabowo Subianto-Gibran (34,7 persen), dan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (24,3 persen).

Adapun jumlah responden yang tidak menjawab sebanyak 4,3 persen. Selain soal tergerusnya elektabilitas Prabowo, pada survei Charta Politika terkini, disebutkan sebanyak 39,7 persen responden menyatakan percaya bahwa Presiden Joko Widodo turut campur dalam keputusan MK terkait batasan usia calon Wakil Presiden.

Dari jumlah tersebut, 49,9 persen responden setuju bahwa hal tersebut merupakan penyalahgunaan wewenang untuk memudahkan orang dalam keluarga Presiden Jokowi menjadi calon Wakil Presiden.

Merusak Demokrasi

Direktur Eksekutif Indonesia Presidential Studies, Nyarwi Ahmad mengatakan hasil survei yang menyebutkan bahwa mayoritas publik menganggap Jokowi ikut terlibat dalam putusan MK.

Apabila skandal di MK diibaratkan ‘drama’, maka publik percaya bahwa presiden juga punya peran dalam drama tersebut.

“Orang ada yang kemudian berpikiran kritis, kalau presiden melihat politik kita sebagai drama, publik bisa melihat keberadaan presiden ada dalam drama itu, bahkan menjadi bagian penting. Atau bahkan beberapa pihak mensinyalir, salah satu sutradara dibalik drama itu, wajar saja, karena presiden tidak pernah menyampaikan ekspresinya secara eksplisit,” kata Nyarwi.

Pakar Komunikasi Politik UGM ini menambahkan Jokowi sebagai presiden menjadi sangat sentral dalam politik hari ini.

Peran Jokowi sangat besar, kata dia, bukan sekadar dari proses kandidasi, namun sampai nanti penyelenggaraan Pemilu.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Strategic Action (CISA) Herry Mendrofa menyebut penilaian publik atas adanya cawe-cawe Jokowi dalam putusan MK bisa dipahami.

Hal itu dikarenakan relasi kekeluargaan dan relasi kekuasaan sangat kental dalam putusan 90/PUU-XXI/2023 tersebut.

“Karena relasi kekeluargaan sangat lekat dengan relasi kuasa dalam konteks hubungan Jokowi dengan Ketua MK. Ini hal yang tidak bisa dipisahkan begitu saja. Penilaian publik seperti itu," ujarnya.

Selain itu, Herry mengungkap indeks demokrasi era Jokowi menjadi yang terburuk sejak 14 tahun terakhir. "Jelas akan mengalami penurunan, terutama era Jokowi.

Indeks demokrasi Indonesia dari lembaga asing adalah yang terburuk dari 14 tahun terakhir. Bahkan tidak mengalami perubahan signifikan," kata Herry.

Menurutnya, ada aspek-aspek tertentu yang harus menjadi bahan evaluasi misalnya budaya politik.

“Yang terjadi adalah per hari ini budaya politik itu tidak muncul karena intervensi kekuasaan, sehingga publik enggan untuk mengatakan politik Indonesia baik-baik saja,” katanya.

Herry juga mengatakan indeks demokrasi Indonesia yang termasuk rendah, apalagi ketika muncul putusan MK. Hal itu dinilai akan makin memburuk kehidupan demokrasi.

"Jokowi sebelum keputusan MK kemarin, Indeks Demokrasinya rendah. Apalagi ini kaitannya dengan relasi kekuasaan dan relasi kekeluargaan yang erat kaitannya dengan keputusan MK. Ada hal yang ditabrak juga,” pungkas Herry.(fri/jpnn)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler