jpnn.com - Aktivitas menggendong anak jadi momen penguat bonding antara orang tua dan buah hati. Berdasar pengalaman dengan anak sendiri, Elgia Melissa dan sang ibu, Elis Lisniawati, berkolaborasi mengembangkan desain gendongan bayi yang bisa membuat si baby nyaman dan ibunya tetap leluasa bergerak.
Laporan Nora Sampurna, Bandung
BACA JUGA: Inilah Kiprah Anggota Kowal di KRI Surabaya
HUJAN deras mengguyur Bandung siang itu (10/6). Namun, aktivitas di rumah pojok berdinding biru di kawasan Margaasih tetap sibuk. Sekelompok perempuan sedang mengepak produk-produk gendongan bayi, bedong, selimut, handuk, hingga kerudung anak yang sudah selesai dijahit rapi. Di luar, mobil boks dari perusahaan jasa pengiriman barang menjemput barang-barang pesanan yang siap dikirim ke berbagai kota di Indonesia.
Kesibukan seperti itu berlangsung setiap hari di rumah yang menjadi pusat produksi Hanaroo tersebut. Kata Hanaroo, mungkin banyak yang sudah sering mendengarnya, terutama kaum ibu. Yang paling populer adalah Hanaroo baby wrap, gendongan bayi yang terbentuk dari kain panjang dengan cara pemakaian unik sehingga dari satu barang bisa menghasilkan enam model posisi menggendong yang berbeda.
BACA JUGA: Mandi di Cemberlitas Hamam, Tempat Kebugaran Tradisional ala Turki
Modifikasi yang dilakukan Hanaroo mengantarkan penciptanya meraih Shell LiveWire Business Startup Award 2011 bersama sembilan pemenang lainnya. Ajang tersebut memberikan penghargaan kepada bisnis-bisnis yang baru dibuat dengan usia di bawah dua tahun. Ketika itu usia Hanaroo belum setahun. Dan, sosok di balik sukses Hanaroo adalah duet Elgia Melissa Kirana, 28, dan sang ibu, Elis Lisniawati, 50.
Sebelumnya Gia –sapaan Elgia– dan Elis berjualan barang via online. Namun, hanya sebagai reseller. Barang yang dijual mulai baju sampai gendongan bayi.
BACA JUGA: Perempuan-perempuan Manis di Kapal Perang, Berjauhan dengan Keluarga dan Pacar
”Lalu, terpikir untuk membuat produk sendiri. Produk pertama yang kami coba adalah gendongan bayi, tapi desainnya dimodifikasi, kami sempurnakan dari model-model yang sudah ada,” ujar Gia.
Gendongan bayi ala Hanaroo berbentuk kain sepanjang 5 meter yang dililit ke badan. Namun, dengan desain khusus dan cara pemakaian berbeda, bisa dihasilkan enam gaya menggendong yang berbeda; gendong newborn, gendong ke dalam, gendong ke luar, gendong di belakang, gendong menyusui, dan gendong samping. Hanaroo disusun dari kata ’’hana’’ yang dalam bahasa Jepang berarti kesayangan dan ’’roo’’ dari kangaroo (menggendong ala kanguru).
’’Bentuk ini hasil percobaan berkali-kali. Waktu itu anak saya masih usia tiga bulan. Jadi, dicobain langsung buat gendong anak,” lanjut Gia.
Polanya dibuatkan sang ibu, Elis. ’’Setelah polanya jadi, kami cari kainnya. Kita coba dulu. Sebab, harus mengenali sifat kain. Dan, yang penting, mudah mendapatkannya. Sebab, produksi harus kontinu,” urai Elis.
Gendongan tersebut bisa menopang bobot bayi hingga 15 kilogram. Sebelumnya mungkin sudah ada produk serupa dari luar negeri. Namun, kebanyakan kurang sesuai dengan postur orang Indonesia. Selain itu, yang membuat lebih nyaman, bagi si bayi maupun yang menggendong, adalah cara mengikatnya yang membagi berat tubuh bayi secara merata ke tubuh sang penggendong. Itu meminimalkan risiko pegal. Sang ibu atau orang yang menggendong juga tetap bisa bergerak leluasa.
Tak butuh waktu lama, gendongan bayi Hanaroo langsung dikenal masyarakat. Jaringan bisnis online yang sebelumnya dirintis Gia dan Elis memudahkan pemasarannya. Produk ini menyebar melalui distributor dan reseller.
’’Distributor kami batasi hanya boleh satu di tiap kota besar. Hingga saat ini, kami punya 24 distributor. Di antaranya, Jakarta, Bandung, Surabaya, Malang, Jogjakarta, Solo, Medan, Palembang, Samarinda, Makasar, hingga Papua. Kami juga punya sekitar 150 reseller,” urai Gia.
Dari gendongan bayi, Gia-Elis melengkapi produknya dengan berbagai perlengkapan bayi lainnya. Mulai topi, bedong, sepatu bayi, dan handuk. Alasannya, sisa kain untuk gendongan tidak dibuang percuma. ”Kami inginnya zero waste. Sebisa mungkin tidak membuang sisa bahan,” tambah alumnus teknik lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.
Elis mengurusi produksi, sedangkan Gia lebih banyak menangani marketing. ”Pas awal-awal dulu, karena karyawan masih sedikit, saya ikut nyetrika produk yang sudah dijahit sama nganter barang pakai motor ke pengiriman,” ucap Gia sambil memangku putranya, Ghazi, yang kini berusia 5 tahun.
Sekarang mereka memiliki 25 karyawan di bagian menjahit, menyetrika, dan packing. Produk paling laris adalah bedong dengan 2.000 pieces per bulan dan gendongan yang terjual 1.300 buah per bulan. ”Margin-nya sekitar 12 persen,” ungkap Gia.
Makin dikenal produknya, biasanya akan muncul pesaing. Namun, bagi Elis dan Gia, itu tidak menjadi masalah. ”Banyak sih pesaing, tapi karena harga yang dipatok nggak jauh beda, orang tetap pilih yang pertama bikin,” kata Elis yang memiliki tiga anak dan Gia merupakan si sulung.
Tidak hanya di dalam negeri, Hanaroo dikenal sampai Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. ”Mereka kenalnya dari Facebook. Tapi, buat kami sebenarnya paling penting adalah membesarkan pasar dalam negeri,” papar Elis.
Yang paling berkesan bagi Elis dan Gia adalah mendengar feedback dari pengguna yang merasa puas. Banyak yang merasa terbantu karena dengan menggunakan gendongan Hanaroo, para ibu tetap bisa melakukan aktivitas lain. Kedua tangan bunda bisa bebas bergerak. Selain itu, para ayah mudah menggunakannya.
”Ibu-ibu banyak yang bilang, suaminya jadi senang menggendong anak. Karena tetap bisa kelihatan keren,” ucap Gia yang secara berkala juga mengadakan lomba foto ayah menggendong anak sebagai bagian dari promo produk. ”Banyak sekali yang ikut,” ucapnya.
Bagi Elis dan Gia, karyawan yang seluruhnya perempuan sudah dianggap seperti keluarga sendiri. Mereka kerap mengadakan liburan bersama seperti ke Dufan atau Ciater.
”Alhamdulillah, dari hasil bisnis, kami bisa umrah sekeluarga, membeli mobil operasional untuk mengembangkan bisnis, dan membangun tempat konfeksi di bagian belakang rumah,” ujarnya. (*/c10/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Daniel Price & Erlend Moster Knudsen Bersepeda dan Lari Kampanye Lingkungan dari Kutub ke Paris
Redaktur : Tim Redaksi