jpnn.com - Di perairan NKRI, deburan ombak laut yang menerpa KRI Surabaya tidak membuat para perempuan manis ini ciut nyali. Mereka justru terlibat dalam mengamankan operasi kapal yang terombang-ambing gelombang tinggi. Siapa mereka?
Laporan Suryo Eko Prasetyo, Surabaya
BACA JUGA: Mandi di Cemberlitas Hamam, Tempat Kebugaran Tradisional ala Turki
BERADA di atas kapal perang berhari-hari dialami anggota Korps Wanita Angkatan Laut (Kowal) pilihan yang bertugas di KRI Surabaya. Mereka adalah Serda Ttu/W Yohanna Sunippy Siahaan, Serda Bek/W Putri Efsan Nendiana, dan Serda Ttu/W Devi Endah Yunitasari. Status mereka anggota tetap (antap) kapal perang jenis landing platform dock (LPD). Dua Kowal berikutnya adalah Serda Pdk/W Chandra Ayu Susilowati dan Serda Pdk/W Kharismawati.
Chandra dan Kharisma di-BKO (bawah kendali operasi) Satuan Kapal Amfibi Koarmatim, komando pelaksana yang membawahkan KRI Surabaya. Terdapat pula Serda Pdk/W Reza Imaniar yang di-BKO di kapal tersebut. Namun, Reza mendapat perintah mengikuti seleksi skuad cabang olahraga dayung dan layar TNI. Dia menghadapi multievent empat tahunan Military Olympic di Mungyeong, Korea Selatan, Oktober mendatang.
BACA JUGA: Perempuan-perempuan Manis di Kapal Perang, Berjauhan dengan Keluarga dan Pacar
Tiga nama terakhir, Chandra, Kharisma, dan Reza, tercatat sebagai anggota departemen logistik di satuan kapal yang bertugas mendaratkan kendaraan tempur amfibi (kiprah Kharisma, baca Metropolis 17 Juni 2013). Mereka berenam terlibat berbagai penugasan operasi militer perang (OMP) maupun operasi militer selain perang (OMSP). Mulai Agustus 2014 mereka lebih sering berada di perairan Indonesia Barat hingga perairan kawasan timur.
”Kami berenam berdinas di KRI Surabaya merupakan hasil seleksi pertama Kowal masuk kapal perang. Sebelumnya, TNI-AL kali terakhir merekrut Kowal korps pelaut akhir 1990-an,” ungkap Yohana di sela-sela geladi Bhineka Eka Bhakti (BEB) 2015, penerimaan kunjungan 753 Taruna dan Taruni Akademi TNI-Akademi Polisi, Kamis (11/6) di gedung Panti Tjahaja Armada, Mako Armatim.
BACA JUGA: Daniel Price & Erlend Moster Knudsen Bersepeda dan Lari Kampanye Lingkungan dari Kutub ke Paris
Mulai medio 2014, sebanyak 30 personel Kowal di jajaran Koarmabar dan Koarmatim menjalani tes mengawaki KRI. Hasilnya, 16 perempuan matra laut lolos. Selebihnya dikembalikan ke satuan asal. Selain enam Kowal di KRI Surabaya, 12 personel lain ditempatkan di dua kapal perang sejenis. Enam anggota korps logistik di KRI Banda Aceh dan enam personel korps paramedis di KRI dr Soeharso.
Saat ini mereka mempersiapkan pelayaran memboyong lebih dari 900 taruna dan pembina siswa BEB dari Dermaga Madura, Ujung, ke Tanjung Mas, Semarang, Minggu (14/6). Setelah dari Semarang, mereka tidak lantas bersantai. Berbagai tugas bersama KRI Surabaya telah menanti.
Sebelumnya sekitar sembilan operasi militer mereka emban bersama KRI Surabaya selama sebelas bulan terakhir. Antara lain, Sail Raja Ampat, Bali Democracy Forum, pergeseran pasukan (serpas) Marinir ke Batam, dan serpas ke Ratai, Lampung. Kemudian, terlibat dalam pengamanan perbatasan dengan Singapura di Tarempa, Kepulauan Riau, Pasukan Pemukul Reaksi Cepat Poso, Pengamanan RI-I di Padang, dan penembakan rudal Exocet di Laut Jawa.
”Komandan kapal memberi kami kesempatan belajar di anjungan untuk ngeplot (menggambar jalur kapal berlayar di atas peta hidro-oseanografi) sampai menjadi juru mudi kapal,” ungkap Yohana yang lahir di Medan, 1 September 1991, itu. Meski tugas departemen logistik lebih sering berurusan administrasi ketatausahaan dan logistik, peran alumnus angkatan pendidikan bintara Kowal ke-31 itu dibutuhkan di anjungan dalam kondisi tertentu.
Sesuai fungsinya, kapal markas atau kapal protokoler menjadi jujukan pejabat militer dan sipil. Sebagai perempuan, mereka lebih luwes dalam tugas tertentu. Mulai menyusun menu, menghitung kandungan kalori, sampai menghitung indeks harga bahan belanja kebutuhan awak dan penumpang kapal. Terlebih, kapal dengan dimensi panjang 122 meter x lebar 22 meter x tinggi 56 meter itu mampu menampung sekitar 2.000 orang.
Bukan hanya itu. Yohana cs bertanggung jawab terhadap kerapian dan kebersihan kapal produksi 2005 buatan Korsel tersebut. Tugas rutin khas laki-laki seperti mengecat juga mereka tunaikan. Pemeliharaan berkala itu dilaksanakan agar bodi kapal terhindar dari korosi hingga kerusakan lebih parah. ”Perlakuan kami dalam tugas tidak dibedakan dari tentara laki-laki,” tegas Kowal yang mengawali karir prajurit sebagai staf administrasi personel Lanal Tarakan, Kalimantan Utara, itu.
Efsan yang terbilang ”pakar” urusan perbekalan tidak hanya berkutat di markas perbekalan. Sebelum lolos tes masuk KRI, gadis kelahiran Surabaya, 30 Oktober 1992, itu bertugas di beberapa satker lembaga pendidikan TNI-AL, Kobangdikal, Bumimoro. ”Sebuah tantangan setelah dua tahun lebih di Kobangdikal kemudian menjadi Kowal angkatan pertama di KRI Surabaya,” tutur Efsan.
Efsan merasa senang bisa berlayar mengelilingi hampir seluruh perairan Indonesia meski belum genap setahun menjadi anggota KRI. ”Yang terasa di KRI Surabaya selama ini baru perasaan suka karena sering kumpul leting. Belum ada dukanya, walau waktu berlayar ke luar Jawa lebih lama dibanding sandar di darat,” ujar satu-satunya bintara Kowal dengan kejuruan perbekalan di kapal perang bernomor lambung 591 itu.
Demikian pula Devi. Sebagai Kowal termuda di KRI Surabaya, dia tidak mau kalah oleh seniornya. Alumnus pendidikan pertama bintara Kowal angkatan ke-32/2012 yang piawai tata usaha kapal perang jumbo tersebut juga lincah di lintasan lari. Perempuan yang baru genap 22 tahun pada 6 Juni lalu itu sedang disibukkan seleksi atlet orienteering (navigasi lintas alam) memperebutkan Piala Panglima TNI di Bandung.
”Barangkali karena sering ikut lomba lari 10 kilometer dan menguasai navigasi, lantas saya diperintah pimpinan mewakili TNI-AL wilayah timur,” terangnya. Kowal asal Madiun itu selama di KRI Surabaya kerap belajar kepada anggota korps pelaut laki-laki yang bertugas sebagai juru navigasi. Pengetahuannya membaca peta dan kompas kian terasah berkat lingkungan kerja yang mendukung.
Sebelum lolos tes bergabung di KRI, Devi setahun lebih berdinas sebagai bintara TU di Kesekretariatan Dinas Psikologi TNI-AL. Selama itu pula dia lebih sering berada di kantor Raya Juanda. Sejak menjadi anggota tetap kapal, belasan kota pelabuhan dia singgahi. ”Enaknya bisa keliling Indonesia. Dukanya pas AC (air conditioner) lagi mati karena perbaikan, rasanya seperti berada dalam sauna raksasa,” kenang Devi, lantas tersenyum.
Sebagai Kowal yang juga terikat peraturan kedinasan, mereka menerima konsekuensi tidak menikah selama masa tertentu. Setidaknya selama dua tahun sejak bertugas di kapal. Mereka bisa mengajukan permohonan menikah setelah lewat masa itu dan turun kapal (bertugas di darat) lebih dulu.
”Kami sangat menikmati meski harus berjauhan dengan keluarga dan pacar,” ujar Devi tersipu. Saat kapal sandar, mereka mendapat jatah libur tidak lebih dari sepekan. Kecuali sudah memproses pengajuan cuti tahunan.
Sementara itu, Chandra sebagai Kowal paling senior di KRI Surabaya menyadari risiko prajurit perempuan berdinas di kapal. Mereka tentu punya waktu lebih sedikit berkumpul dengan keluarga. ”Sudah risiko saat berlayar pada akhir pekan pun libur hari Minggu dihabiskan di laut,” ucap arek Malang kelahiran 12 November 1990 itu.
Komandan KRI Surabaya Letkol Laut (P) Wawan Tri Satya Atmaja turut mendorong kemajuan karir Kowal di kapal yang dipimpinnya. ”Eksistensi bintara Kowal di KRI disiapkan pimpinan TNI sebelum taruni AAL yang lulus ditempatkan di kapal perang. Peran perwira Kowal kelak tidak lagi menjadi anak buah, melainkan sebagai ibu buah,” tutur pamen dua melati yang menjabat sejak 10 Februari 2015 itu.
Dia mengakui, keluwesan Kowal membuat suasana di dalam kapal perang terasa lebih teduh. ”Rasanya tetap berbeda di kapal markas yang ada Kowal dan yang tidak ada Kowal-nya,” ujar mantan Perwira Pelaksana (semacam wakil komandan) KRI Diponegoro tersebut. (*/c10/nda)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dana Cekak hingga Didi Petet Meninggal Dunia
Redaktur : Tim Redaksi