jpnn.com - Konferensi lingkungan hidup internasional akan digelar di Paris, Prancis, pada Desember. Untuk mengampanyekan konferensi yang membahas pemanasan global itu, aktivis dan peneliti lingkungan Daniel Price dan Erlend Moster Knudsen bersepeda dan berlari dari kutub menuju Paris. Minggu lalu (7/6) mereka berada di Jakarta.
Laporan Allaf DzikrillahZIKRILLAH, Jakarta
BACA JUGA: Dana Cekak hingga Didi Petet Meninggal Dunia
KILOMETER 180 dari jalanan lurus pantai timur Australia dekat Brisbane, Daniel Price mematikan lagu Holocone dari band folk asal Inggris, Bon Iver. Lagu yang sudah diulangnya selama lima kali ini tersebut cukup membuatnya bosan. Meskipun, sebenarnya dia menyukai musik itu saat mengayuh Surly Long Haul Trucker miliknya.
Ya, Daniel sudah menempuh perjalanan 3 ribu km sejak berangkat dari Kutub Selatan pada April lalu. Aksi bertajuk Pole to Paris itu hendak membawa pesan lingkungan yang amat penting mengenai perubahan iklim ke pertemuan tingkat tinggi PBB terkait perubahan iklim (National Summit on Climate Change) di Paris pada akhir tahun nanti itu.
BACA JUGA: Wiwiek Sipala, Dosen IKJ yang Mengajar Tari untuk Terapi Murid Berkebutuhan Khusus
’’Kami tidak lagi menyampaikan pesan bahaya pemanasan global secara konvensional, kami memilih cara bersepeda dan berlari untuk mendapatkan awareness dari warga dunia,’’ terang Daniel saat ditemui di arena car free day (CFD), Jalan Sudirman, Jakarta, Minggu (7/6).
Pagi itu Daniel bersama partnernya, Erlend Moster Knudsen, meramaikan CFD untuk mengampanyekan misi yang dibawa dari kutub menuju Paris (Pole to Paris). Keduanya adalah aktivis lingkungan dan peneliti di kutub. Daniel berasal dari Inggris dan meneliti di Kutub Selatan, sedangkan Erlend dari Norwegia dan melakukan penelitian di Kutub Utara.
BACA JUGA: Tegang! KRI Banjarmasin Masuk Area Merah, Siap Hadapi Perompak Somalia
Bersama tim masing-masing, Daniel-Erlend meneliti fenomena perubahan iklim dengan cepatnya pencairan es di kutub. Fenomena ala mini menjadi warning bagi dunia betapa pemanasan global telah mengkhawatirkan. Itu juga ditandai dengan semakin tingginya permukaan air laut. Hasil penelitian tersebut amat penting sehingga disimbolkan dengan bendera Pole to Paris yang ada di Kutub Selatan dan Utara.
’’Bendera ini akan kami satukan saat tiba di Paris nanti,’’ ujarnya. Menurut Daniel, kampanye lingkungan dengan bersepeda dan berlari akan mendekatkan dirinya dengan masyarakat. Melalui cara itu, Daniel dapat berinteraksi langsung dengan masyarakat untuk menyampaikan bahaya pemanasan global dan mengajak untuk memeranginya dengan bergaya hidup hijau seperti berlari dan bersepeda.
’’Selama ini ada gap yang terlampau lebar antara peneliti dan masyarakat. Maka dari itu, cara ini menjembatani gap tersebut,’’ tambah pria kelahiran 18 Januari 1988 itu.
Daniel lalu menceritakan pengalamannya bersepeda menuju Jakarta. April lalu dia berangkat dari Kutub Selatan dengan membawa bendera Pole to Paris. Perjalanan itu tak selamanya bersepeda atau berlari. Hanya di tempat-tempat tertentu Daniel dan Erlend menjalankan misinya dengan bersepeda atau berlari.
Dari Kutub Selatan, Daniel menumpang USS Plane menuju bandara Brisbane, Australia.
Dari Brisbane itulah, dia baru bersepeda yang, katanya, membosankan. Sebab, jalanan pantai timur Australia begitu plain, karena hanya ada jalan lurus dan dataran tandus serta ombak pantai yang begitu-begitu saja. Untuk mengatasi rasa bosan, sepanjang perjalanan, Daniel mendengarkan lagu favoritnya dan berkomunikasi dengan koleganya melalui telepon. Tapi, tetap saja hal itu tidak mampu membunuh rasa bosannya.
’’Perjalanan yang sebenarnya tidak terlalu jauh karena hanya 200 kilometer, tapi itu serasa enam tahun menempuhnya karena boring. Saya membayangkan akan abadi di jalan itu,’’ candanya.
Sesampai di Bandara Internasional Cairsn di Queensland, Daniel langsung take off ke Bandara Ngurah Rai di Bali. Pria yang juga menyukai musik rock alternatif itu melanjutkan gowesnya ke barat, yakni menuju ibu kota Jakarta. Berbeda dengan perjalanan di Australia, di jalanan Indonesia dia menemukan banyak warna.
’’Pemandangan alamnya luar biasa, makanannya enak, dan orang-orangnya ramah serta punya rasa ingin tahu yang tinggi. Dari sinilah saya bisa maksimal mengajak orang untuk go green,’’ kata Daniel.
Dia menyeberang dari Gilimanuk ke Banyuwangi, lalu bersepeda sampai di Jogjakarta. Selama di Kota Gudeg itu, Daniel mengunjungi lokasi Program Kampung Iklim (Proklim) yang digagas Kementerian Lingkungan Hidup di Dukuh Serut, Bantul. Desa Proklim tersebut mengembangkan program pembuatan es batu oleh para nelayan yang memanfaatkan energi angin.
’’Program yang menurut saya sangat baik karena ada upaya nyata pemerintah untuk memberikan perhatian kepada energi terbarukan,’’ paparnya.
Dari Jogja, dia melanjutkan perjalanan melewati jalur tengah menuju Bandung dan finis di Jakarta. Perjalanan Bandung–Jakarta, menurut Daniel, adalah medan paling berat. Terlebih, di kawasan puncak saat itu terjadi traffic jam sepanjang 30 km. Belum lagi jalur tanjakan selama 3–4 jam.
Ketika dalam perjalanan dari Bogor ke Jakarta, tak disangka, Daniel bertemu dua bule gokil. Dua warga Selandia Baru yang diketahui bernama Robby dan Matt itu menggunakan sepeda anak kecil. Mereka mengikuti aksi Daniel.
’’Mereka datang jauh-jauh (dari Selandia Baru) untuk mendukung saya setelah tahu program Pole to Paris yang selalu saya update di Twitter dan Facebook,’’ cerita pria 27 tahun itu.
Sesampai di Jakarta pada Kamis (4/6), Daniel disambut meriah oleh rekan sesama peneliti, termasuk Erlend Moster Knudsen, koordinator lari Kutub Utara, serta Oria Jamar de Bolsee, koordinator lari Belgia–Prancis yang juga datang ke Indonesia untuk membantu Daniel menggalakkan program Pole to Paris.
Erlend belum menjalankan aksi berkampanye bahaya pemanasan global itu dengan berlari dari Kutub Utara hingga Paris. Dia baru start berlari pada Agustus dari Norwegia melewati Inggris, Belgia, dan berakhir di Prancis. ’’Jauhnya sekitar 3 ribu kilometer,’’ ujar Erlend.
Seperti halnya Daniel, Erlend akan membawa hasil penelitiannya tentang fenomena perubahan iklim di Kutub Utara serta bendera Pole to Paris. Selama dalam perjalanan, Erlend akan mengajak peserta lain dari negara yang dilewatinya.
Pria 29 tahun itu menjelaskan mengapa Indonesia masuk program kampanye tersebut. Bukan sekadar faktor geografis yang mengharuskan mereka melewati Indonesia. Namun, Indonesia memiliki peran sangat vital dalam konferensi Desember mendatang.
’’Akan ada kontradiksi antara negara maju dan negara berkembang soal pengurangan emisi karbon. Sebab, go green akan selalu bertentangan dengan semangat pembangunan. Karena itu, Indonesia diharapkan mampu menjadi penengah dua kelompok negara itu melalui dukungan terhadap go green,’’ terang Erlend.
Kedatangan para aktivis lingkungan dan peneliti Pole to Paris di Jakarta itu juga mendapat atensi besar dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta komunitas Indo Runner dan Bike to Work. Saat mereka berada di kawasan CFD Sudirman, misalnya, Chairman Bike to Work Toto Sugito langsung menyambutnya. Dia juga menyatakan dukungannya atas kampanye yang dilakukan Daniel dan Erlend.
’’Mereka dapat menarik perhatian masyarakat untuk go green dengan bersepeda dan berlari. Tinggal bagaimana dukungan pemerintah, apakah bersedia membangun infrastruktur untuk para pesepeda,’’ kata dia.
Toto berharap Indonesia mampu mencapai target mengurangi emisi karbon 25 persen pada 2020. ’’Kalau pemerintah mendukung penuh, target itu bisa terwujud,’’ tandas dia. (*/c10/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mengenal Tukirin Partomihardjo, 34 Tahun Meneliti Biota Krakatau
Redaktur : Tim Redaksi