jpnn.com - JAKARTA - Rencana sejumlah pihak untuk menurunkan massa ke Gedung Komisi Pemilihan Umum saat pengumuman rekapitulasi suara pemilihan presiden 2014 mendapat tanggapan kritis. Sebab, hal itu hanya akan menimbulkan ketegangan baru di masyarakat.
Menurut pengamat politik dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten Leo Agustino, ketegangan di akar rumput dapat padam jika di level elite bisa diselesaikan.
BACA JUGA: Kapolri Apresiasi Niat Deklarasi Damai Kubu Capres
Dalam arti, kata dia, kelapangan hati elit nasional untuk menerima kekalahan dari kandidat lain, merupakan solusi bagi penyelesaian ketegangan di tingkat elite tersebut.
Oleh sebab itu, kata dia, keberanian berkompetisi dalam pilpres harus juga diimbangi dengan keberanian untuk menerima kekalahan.
BACA JUGA: Kemenag Minta Tambahan 1.500 Kursi CPNS
"Dengan cara inilah ketegangan di tingkat grassroot bisa disudahi," kata Leo di Jakarta, Jumat (18/7).
Karenanya, Leo menilai sikap calon presiden RI nomor urut dua, Joko Widodo dalam mengambil inisiatif untuk melaksanakan 'rekonsiliasi nasional' sebagai langkah positif demi mengantisipasi keterbelahan masyarakat.
BACA JUGA: Andi Dianggap Beri Celah untuk Choel Mallarangeng
"Hawa panas seperti sekarang ini memang harus diredakan, mulai dari menahan diri untuk tidak 'mengapi-apikan' suasana atas kerja KPU, mengintervensi C1, DA1, DB1, dan lainnya," paparnya.
Menurut Leo, inisiatif rekonsiliasi nasional yang digagas oleh Jokowi menjadi hal penting terutama bagi lanskap politik Indonesia pasca 22 Juli.
Apalagi, kata dia, kondisi obyektifnya adalah masih ada pihak pendukung pasangan nomor urut satu yang ingin menurunkan massa ke Gedung KPU.
"Selepas real count KPU, sejatinya tidak ada lagi ruang bagi perbedaan yang destruktif. Kita harus sudah menggeser cara berpikir saling menjatuhkan menjadi cara berpikir yang saling bahu membahu guna pembangunan bangsa dan negara," ungkap Leo.
Menurutnya, jangan jadikan energi yang ada di tengah-tengah masyarakat menjadi energi yang negatif.
"Ini karena masih banyak hal yang harus kita lakukan, terutama untuk menghadapi tantangan zaman ke depan, masyarakat ekonomi ASEAN 2015 misalnya," katanya.
Kubu Jokowi-JK sendiri sudah melarang adanya pengerahan massa pendukung jelang pengumuman 22 Juli mendatang.
Sementara di sisi lain, ribuan relawan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa disebut akan dikerahkan untuk menjaga KPU saat pengumuman pemenang pilpres 22 Juli mendatang.
Menurut Leo, pengalaman dan sejarah politik mengajarkan bahwa kemajuan suatu bangsa dan negara tidak pernah berlaku jika didasarkan pada kebencian dan sikap saling tidak percaya.
Karenanya, kata dia, untuk membangun persatuan dan kesatuan bangsa, rekonsiliasi nasional bisa menjadi jalan keluar terbaik bagi NKRI.
"Rekonsiliasi nasional yang saya hendaki bukanlah rekonsiliasi dengan cara bagi-bagi kekuasaan seperti membagi kursi menteri, BUMN, duta besar, atau lainnya, kepada pesaing politik Jokowi-JK," paparnya.
Menurut Leo, jika ini yang terjadi maka gagasan awal Jokowi-JK untuk membangun pemerintahan yang bersih akan 'jauh panggang dari api' serta telah mengotori cita-cita awalnya sendiri.
Leo pun berpandangan, Jokowi tidak akan melakukan pola bagi-bagi kursi kekuasaan dalam rangka rekonsiliasi itu. "Sebab beliau akan membangun pemerintahannya dengan pendekatan professional 'based government' berbanding 'party based government'," pungkasnya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pakai Bahasa Inggris, SBY Perang di Gaza Diakhiri
Redaktur : Tim Redaksi