Emil Salim Kritik Pemindahan Ibu Kota, Cerita tentang Pak Harto

Kamis, 29 Agustus 2019 – 18:24 WIB
Tugu Monumen Nasional (Monas) yang menjadi ikon DKI Jakarta. Foto: dokumen JPNN.Com/Elfany Kurniawan

jpnn.com, JAKARTA - Emil Salim berharap Presiden Jokowi menerima kritik dan saran terkait pemindahan ibu kota. Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup di era Orde Baru itu mengatakan, pemerintah harus mengutamakan kepentingan terbaik bagi negara dan rakyat.

“Saya berposisi demikian, alasan pindah ibu kota menurut Bappenas saya anggap keliru. Maka saya merasa perlu untuk memohon pada Presiden mendengar pandangan lain,” katanya, Kamis (29/8).

BACA JUGA: Segelintir Anggota DPR Bakal Menentang Keras Pemindahan Ibu Kota

Sebelumnya, pada sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (23/8), Emil mengatakan, jika Jakarta dianggap sudah tak layak menjadi ibu kota negara, ya mestinya diperbaiki. Tidak lantas memindahkan ibu kota.

Emil Salim mengatakan, saran dan kritik yang disampaikan pihak luar terhadap pemerintah, jangan diinterpretasikan sebagai upaya menentang pemerintahan. “Kalau ada beda pendapat dengan Bappenas, bukan berarti menentang pemerintah,” ujarnya.

BACA JUGA: PKS Minta Pemerintah Transparan soal Papua

Dia lantas membandingkan bagaimana Soeharto dengan legawa menerima kritik para ekonom mengenai kondisi perekonomian saat itu.

Dia bercerita, suatu ketika di hadapan sidang DPR, Soeharto mengeluarkan janji politik untuk tidak melakukan devaluasi rupiah. “Semua tepuk tangan,” ujar Emil.

BACA JUGA: Cerita Bu Mega soal Pemindahan Ibu Kota RI di Depan Tokoh Dunia

BACA JUGA: Penjelasan Bupati Penajam Paser Utara soal Kabar Lahan Milik Prabowo Subianto

Namun, akibat janji tersebut berimbas pada menciutnya devisa negara. Nilai tukar rupiah tidak realistis. Salah satu jalan keluarnya rupiah harus dievaluasi.

Sayangnya, Bank Indonesia (BI), Kementerian Keuangan tidak ada yang berani mengambil jalan devaluasi. Mereka ngotot tak melakukan devaluasi karena janji Soeharto di hadapan DPR itu.

Lantas, lanjut Emil, berkumpulah beberapa ekonom. Mereka mendiskusikan, kalau karena janji presiden kemudian rupiah merosot terus, ekonomi negara semakin rusak.

“Apakah otak sehat ilmu ekonomi tidak layak untuk bicara dan membantu presiden mengoreksinya,” kata Emil. Hingga akhirnya muncul satu kesempatan pertemuan dengan Soeharto.

Di hadapan Soeharto mereka memaparkan kondisi ekonomi kala itu dan presiden harus mengambil satu di antara dua keputusan. Pertama, presiden kekeuh tidak devaluasi dengan risiko perekonomian nasional jatuh. Kedua, devaluasi dengan kemungkinan rupiah akan sumringah dan ekspor terdongkrak.

Dengan pilihan itu, presiden menjawab, “Kenapa kita biarkan rupiah merosot?” kata Soeharto sebagaimana diingat Emil.

“Karena bapak sendiri menjanjikan di sidang DPR,” jawab para ekonom. Lantas Soeharto menerima masukan para ahli dan mencabut janji tidak devaluasi.

Soeharto berpandangan, kemaslahatan negara lebih penting diutamakan daripada janji seorang presiden. “Kalau janji saya keliru dan negara dikorbankan lebih baik saya cabut ucapan saya demi kemajuan perbaikan bangsa,” kata Soeharto, seperti diceritakan Emil.

“Beliau pun tanda tangani mencabut larangan devaluasi, devaluasi dijalankan rupiah selamat, ekonomi selamat,” papar Emil.

Dikatakan Emil Salim, seorang presiden memang mesti mengutamakan kepentingan rakyat ketimbang ambisi politik. Kalau sebuah kebijakan dinilai tidak rasional dan malah membuat kondisi negara semakin buruk, lanjutnya, sudah maklum bagi presiden menerima masukan itu. (esy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Papua Bergolak, Pak! Kuping Bapak Seperti Disumbat Tisu Basah


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler