jpnn.com - Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga Radiandra mendukung rencana dan tekad Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk menyetop impor bahan bakar minyak (BBM) dengan mengembangkan green energy atau energi baru dan terbarukan.
Menurut Daymas, Indonesia mempunyai resources yang cukup untuk menutupi kekurangan kebutuhan minyak mentah dalam negeri.
BACA JUGA: Pakar Mendukung Rencana Prabowo Setop Impor BBM dan Mengganti dengan Energi Terbarukan
Oleh karena itu, secara perlahan diganti dengan energi alternatif bersumber dari energi terbarukan seperti singkong, tebu, sawit yang tumbuh subur di Indonesia sehingga dapat meminimalisir impor BBM.
“Kalau dibilang memungkinkan, kami dari Energy Watch melihat mungkin tetapi kita perlu lihat lagi ya total nilai impor BBM saat ini itu di kisaran di atas 30 juta kilo liter per tahun itu nilai impor total, sebanyak itu ya per tahun yang memang kita perlu tanggung,” ujar Daymas, Jumat (8/3/2024).
BACA JUGA: Dukung Energi Terbarukan, Lembaga Penelitian Indonesia-Amerika Perkuat Kerja Sama
“Dan, kalau berbicara minyak mentah saat ini kita masih kekurangan sekitar 1 juta barel oil per hari yang perlu kita tanggung jawab supaya tidak sama sekali impor kalau dibilang mungkin,” sambungnya.
Menurut Daymas, untuk menutup keran impor BBM, maka pemerintah perlu menyiapkan strategi memperluas resources untuk dijadikan sebagai alternatif untuk BBM.
BACA JUGA: Prabowo-Gibran Meraih 813.925 Suara di Kota Bandung
Secara jangka pendek, kata Daymas, pemerintah melalui Pertamina perlu menggenjot produksi minyak nasional untuk mengejar target konsumsi kebutuhan harian minyak yang mencapai 1 juta barel per hari.
“Jadi, pasti harus kalau misalnya dibilang kita akan menyetop impor ada mitigasi-mitigasi yang dilakukan salah satu misalnya menambah kegiatan eksplorasi migas yang akhirnya itu bisa menambah jumlah produksi harian dengan target kekurangan satu juta barel per harinya,” ucapnya.
Lebih lanjut, Daymas mengatakan alternatif lainnya pemerintah juga menggenjot hasil produksi komoditas singkong, tebu dan jagung sebagai bahan produksi bahan bakar etanol yang lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan bahan bakar fosil.
“Lalu alternatif lain selain kita menambah jumlah produksi pasti kita juga mencari alternatif energi alternatif salah satunya biodiesel yang menggunakan minyak sawit ataupun bioavtur yang kemarin juga menggunakan kelapa lalu kita juga berbicara terkait etanol yang bisa menggunakan tebu, singkong, jagung ataupun materi-materi yang lain,” paparnya.
Daymas optimis impor BBM yang membebani neraca keuangan negara secara bertahan dapat dikurangi bahkan dihentikan.
Dia mencontohkan penerapan pemakaian BBM Biodiesel 35 persen (B35) menyusul keberhasilan program B30 sebagai langkah pemerintah mengurangi impor minyak serta menghemat devisa negara di mana penggunaan sawit 35 persen sementara 65 persennya dicampur BBM.
“Pada awalnya yang hanya 2,5 persen, 3 persen, 5 persen sampai akhirnya hari ini menuju 40 persen di mana di komersialisasinya ada di B35 ya kita rasakan saat ini dari biosolar,” katanya.
Untuk penggunaan etanol secara maksimal, lanjut Daymas, perlu melihat keseriusan dan peta jalan dari pemerintah menuju ke arah penghentian impor kebijakan atau programnya seperti apa.
“Ini kan B35 perlu waktu ya lebih sekitar 10 tahun kita bisa mencapai dari yang tidak dicampur sampai sekarang campurannya sudah 35 persen menuju 40 persen itu yang perlu kita lihat bagaimana nanti peta jalannya,” ungkapnya.
Selain itu, langkah penghentian impor BBM juga dapat dilakukan ketika masyarakat sudah beralih dari penggunaan kendaraan menggunakan bahan bakar fosil beralih ke kendaraan listrik baik kendaraan roda dua maupun roda empat.
“Ya, itu sangat bergantung bagaimana pemerintah saat ini juga mencoba mengurai dengan elektrifikasi kendaraan bermotor roda dua maupun roda empat yang perlu didorong lagi bagaimana terjadi percepatan supaya ketergantungan itu bisa berkurang,” ujar Daymas.(fri/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Friederich Batari