Jumhur Hidayat, aktivis yang kerap dihubungkan dengan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), dinyatakan positif COVID-19 dalam status tahanan di Rutan Bareskrim Mabes Polri. Puluhan tahanan Kepolisian RI positif terinfeksi COVID-19, sebagian besar tanpa gejala Ada desakan agar Polri menangguhkan penahanan karena ruang tahanan di kepolisian tidak dirancang untuk menampung tahanan dalam waktu lama Penularan COVID-19 juga dilaporkan mengalami peningkatan di dalam lembaga pemasyarakatan, di antaranya dialami oleh napi Bali Nine
BACA JUGA: Dua Potensi Vaksin COVID-19 Miliki Efektivitas di Atas 90 Persen, Apa Selanjutnya?
Jumhur yang pernah menjabat sebagai Kepala BNP2TKI pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ditahan atas dugaan ujaran kebencian dan penghasutan dalam unjuk rasa tolak Undang-Undang Cipta Kerja.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Awi Setiyono mengumumkan, selain Jumhur ada setidaknya 47 orang tahanan lainnya yang dinyatakan positif COVID-19.
BACA JUGA: Orang Kaya Australia Habiskan Hartanya Mengatasi Perubahan Iklim
"Sesuai laporan Kepala Pusdokkes Polri, hasil swab dari 170 tahanan Bareskrim, yang terkonfirmasi COVID-19 sebanyak 48 orang. 8 orang dengan gejala batuk, demam, pusing, flu dan 40 orang tanpa gejala," kata Awi dalam keterangan tertulis, Senin (16/11).
Jumhur dan tujuh tahanan yang positif COVID-19 dengan gejala saat ini dirawat di RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur. Ia dirujuk ke rumah sakit pada Minggu malam (15/11).
BACA JUGA: Rizieq Shihab Timbulkan Kebingungan Soal Protokol Kesehatan di Indonesia
Menurut istri Jumhur, Alia Febiyani, suaminya sudah merasa kondisi kesehatannya sedikit terganggu sejak tanggal 3 November lalu, tidak lama setelah kasus meninggalnya seorang tahanan bernama Hendri Rusli karena COVID-19 di rumah tahanan yang sama.
"Dia waktu itu merasa meriang, sempat kehilangan indera penciuman dan tidak merasakan rasa makanan, tapi baru diswab seminggu kemudian, hari Selasa (10/11)," tutur Alia.
Meski mengkhawatirkan kondisi kesehatan suaminya, Alia mengaku lega karena setidaknya sekarang Jumhur dirawat di rumah sakit dan tidak di tahanan. Photo: Jumhur Hidayat saat hendak diperiksa polisi beberapa waktu lalu. (ANTARA/Reno Esnir.)
"Di rumah sakit 'kan alat-alatnya lengkap, dokter dan perawat juga selalu siaga, jadi bisa maksimal penanganannya. Sementara kalau di rutan, selain alat-alat yang nggak lengkap, saya juga nggak tahu bagaimana kebersihannya dan sirkulasi udaranya," ujar ibu dari empat orang anak ini.
Alia berharap, pihak Mabes Polri bisa lebih informatif terkait kondisi kesehatan suaminya setelah dinyatakan positif COVID-19, apalagi Jumhur juga belum pulih benar setelah operasi bulan lalu.
"Saya hanya minta kepolisian memenuhi hak-hak kami sebagai keluarga. Suami saya walaupun berstatus tahanan, tapi sekarang juga berstatus pasien. Saya berhak tahu perkembangan kesehatannya."
Mabes Polri sendiri mengaku langsung mengambil tindakan terkait kasus positif COVID-19 ini. Selain merawat tahanan yang memiliki gejala klinis dan terkonfirmasi corona di RS Polri, orang tanpa gejala diisolasi di ruang tahanan terpisah.
"Menerapkan protokol kesehatan di ruang tahanan dengan menyediakan masker, tempat mencuci tangan, cairan pembersih tangan, menjaga jarak, memberikan vitamin dan suplemen serta obat yang dibutuhkan," jelas Awi. Menangguhkan penahanan
Menanggapi kasus positif COVID-19 di rutan Mabes Polri, peneliti isu pemasyarakatan, Leopold Sudaryono, mengatakan sejumlah elemen masyarakat sipil sudah berulang kali meminta kepolisian dan jaksa untuk menangguhkan penahanan selama pandemi.
"Penangguhan ini terutama untuk kasus-kasus yang sebenarnya identitas tempat tinggal dari pelaku itu jelas dan kemungkinan melarikan diri itu kecil," ujar Leo.
Menurut aktivis jebolan Australian National University (ANU) dengan fokus riset overcrowding penjara ini, desakan tersebut dilakukan karena risiko terjangkit COVID-19 sangat besar dengan tetap menahan.
Apalagi, kemampuan polisi untuk memastikan para tahanan tidak terjangkit juga lemah karena kapasitas ruang tahanan yang terbatas.
Selain itu menurut Leo, saat ini lembaga pemasyarakatan juga menolak menerima tahanan dari polisi dan jaksa untuk membentengi diri dari kemungkinan penularan virus corona.
"Tapi dari data yang kita terima sepertinya tidak ada perubahan kebijakan penahanan, ya tetap ditahan terus," ucap Leo.
"Ini yang potensinya sangat berbahaya karena umumnya ruang tahanan di kepolisian itu tidak dirancang untuk tahanan lebih dari 2-3 hari, ... jadi dari segi kebijakan, kepolisian kebijakannya sama sekali tidak mempertimbangkan risiko keterjangkitan," tambahnya. Photo: Salah satu gedung di komplek RS Polri Kramat Jati tempat Jumhur Hidayat dirawat karena COVID-19. (Supplied.)
Penularan COVID-19 di penjara
Kasus positif COVID-19 di dalam penjara di Indonesia tercatat di beberapa tempat dalam sebulan terakhir.
Salah satu anggota Bali Nine termasuk di antara tiga tahanan Australia yang telah didiagnosis dengan virus corona di dalam penjara Kerobokan, Bali, akhir Oktober lalu.
Si Yi Chen yang menjalani hukuman seumur hidup karena penyelundupan heroin, dipindahkan ke sayap isolasi pada Rabu pagi.
Bergabung dengannya adalah kasus positif lainnya Brendon Johnsson, yang berada di balik jeruji besi karena kepemilikan kokain, dan pedofil Robert Andrew Fiddes Ellis.
John McLeod dari Tora Solutions, yang memberikan bantuan kepada warga Australia di penjara luar negeri, mengkonfirmasi COVID-19 menjangkiti tahanan internasional di penjara Kerobokan.
Seperti yang dikutip dari Channel 9, dia mengatakan narapidana khawatir ditempatkan di sayap isolasi karena perlu beberapa minggu untuk mengetahui hasil tes mereka, sehingga mereka merasa mungkin mereka sudah tidak sakit lagi tetapi masih harus berbagi ruangan dengan narapidana yang sakit.
Sementara itu dari Pekanbaru, Riau, dilaporkan sebanyak 533 narapidana yang terkonfirmasi positif COVID-19 pada Sabtu (14/11) lalu.
Dari jumlah tersebut, jumlah napi yang paling banyak terinfeksi adalah mereka yang menghuni Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Pekanbaru, sejumlah 449 orang.
Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Riau, Maulidi Hilal, mengatakan, jumlah narapidana yang terpapar COVID-19 terus mengalami peningkatan, berdasarkan data terakhir yang diterima Gugus Tugas Kanwil Kemenkumham Riau yang menangani COVID-19. Photo: Seorang petugas menyemprotkan disinfektan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA, Kota Pekanbaru, Riau, Kamis (24/9/2020).
(ANTARA/FB Anggoro)
Epidemiolog dari Universitas Airlangga, Surabaya, Dr Windhu Purnomo menilai, penyebab maraknya jumlah kasus positif COVID-19 berasal dari luar penjara.
Menurut Windhu, secara umum sebetulnya komunitas tertutup seperti lapas atau pesantren itu aman sepanjang tidak ada kebocoran keluar-masuk orang, dan komunitas itu sendiri steril atau bebas virus.
"Tapi begitu ada kebocoran, entah itu tamu atau petugas yang tinggalnya tidak di dalam lapas, ini berpotensi membawa virus masuk. Itu prinsipnya," tutur Windhu.
Dan karena saat ini sudah ditemukan banyak kasus positif di lapas, menurut Windhu ada setidaknya tiga hal yang harus dilakukan oleh pemerintah guna mencegah ledakan klaster penjara. Tes massal semua penghuni lapas
Yang pertama, menurut Windhu harus dilakukan tes massal untuk semua penghuni lapas, baik para narapidana maupun petugas lapas.
"Ya memang banyak, kalau tidak salah ada 200 ribu warga lapas, belum ditambah sekitar 30 ribu petugasnya. Tapi tes ini harus dilakukan dan tesnya bukan rapid tes berbasis antibodi," tutur Windhu.
Kalau ada yang terdeteksi positif COVID-19 berdasarkan tes PCR, Windhu mengingatkan pemerintah untuk menyediakan tempat isolasi khusus untuk para warga lapas ini.
Sementara itu, penyemprotan disinfektan dan protokol kesehatan juga harus terus diterapkan di dalam lapas.
Yang kedua, para petugas lapas yang sehari-hari melakukan kontak langsung dengan para narapidana harus tinggal di dalam lingkungan lapas dan tidak keluar-masuk dari sana.
Ini untuk mencegah penularan dari luar penjara yang dibawa oleh petugas lapas.
Yang ketiga, Windhu mengusulkan penghentian sementara pengunjung lapas, mengingat di Indonesia tidak ada pembatas antara napi dengan tamu yang mengunjunginya.
"Kalau di film-film kan kita lihat mereka dibatasi kaca, bicara lewat telepon. Di Indonesia itu nggak ada. Kecuali ada tabir seperti itu dan ada proses screening pengunjung yang ketat, sebaiknya untuk sementara pengunjung lapas dihentikan dulu."
Hal yang senada diharapkan dalam kaitannya dengan kontak dengan pihak eksternal lainnya, misalnya dengan pemasok logistik lapas.
"Para pengantar bahan makanan, misalnya, selain dicek suhu tubuhnya mungkin bisa ditetapkan juga aturan tidak turun dari kendaraan, semacam itu," tambah Windhu.
Mengingat keterbatasan tempat isolasi yang mungkin akan dihadapi oleh lapas, Leopold mengingatkan terbukanya kemungkinan bagi para penghuni lapas untuk melakukan isolasi mandiri di rumah.
"Dengan pertimbangan kondisi kesehatan, bisa mengajukan penangguhan penahanan atau pengalihan penahanan menjadi tahanan rumah untuk keperluan isolasi mandiri," pungkas Leo.
Ikuti perkembangan pandemi COVID-19 di Australia melalui ABC Indonesia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jawaban Muslim Pro Atas Tuduhan Menjual Data Pengguna ke Militer Amerika Serikat