Di saat kasus penularan virus corona yang masih terus meningkat dengan rata-rata ribuan kasus baru setiap harinya, kegiatan yang melibatkan Rizieq Shihab telah menimbulkan pertanyaan besar mengenai protokol kesehatan yang diterapkan Pemerintah Indonesia.

Ribuan orang datang menyambut kedatangan Muhammad Rizieq Shihab, pemimpin Front Pembela Islam (FPI) di bandara Soekarno-Hatta, Tangerang pada 10 November lalu.

BACA JUGA: LPOI Minta Aparat Tegas Tindak Kerumunan di Masa Pandemi

Daniel Supriyono, seorang warga di Tangerang Selatan mengatakan kepada ABC Indonesia jika ia merasa "bingung dan emosional".

"Akibat kedatangan Habib Rizieq membuat dampak kemacetan yang luar biasa di kawasan bandara Soekarno-Hatta, perusakan fasilitas umum di sekitar bandara membuat sebagian masyarakat melihat ada yang tidak adil," ujarnya kepada wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya.

BACA JUGA: Pelanggar Protokol Kesehatan Jangan Menjadikan Pilkada sebagai Kambing Hitam

"Semuanya jelas dan difasilitasi oleh pemerintah dalam hal ini oleh Pemda setempat," menurut Daniel.

"Apa yang dilakukan oleh Habib Rizieq dan kelompoknya dibiarkan oleh Gubernur DKI dan juga lemahnya pihak kepolisian dalam hal ini Polda Metro Jaya."

BACA JUGA: Anak Buah Prabowo Harap Peristiwa Keramaian Habib Rizieq jadi Pelajaran

Photo: Daniel Supriyono pernah menjadi fotografer bekerja untuk media massa di Jakarta. (Foto: Supplied)

 

Namun sepekan kemudian (16/11), meski tidak diketahui apakah terkait dengan penyambutan Rizieq, dua kepolisian daerah dicopot dari jabatannya, yakni Kapolda Metro Jaya Irjen Nana Sudjana dan Kapolda Jawa Barat, Irjen Rudy Sufahriadi.

Hanya saja disebutkan pencopotan tersebut dikatakan sebagai sebuah sanksi, karena "tidak melaksanakan perintah dalam menegakkan protokol kesehatan," seperti yang dikatakan Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono, Selasa kemarin (17/11).

Profesor Koentjoro, Ketua Dewan Guru Besar dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta mengatakan penyambutan Rizieq menimbulkan kesan adanya "pembiaran".

"Pemerintah boleh dibilang tidak kompak walau memang sudah memiliki strategi," ujar Profesor Koentjoro. Photo: Prof. Koentjoro Soeparno Ketua Dewan Guru Besar UGM Yogyakarta dan juga pengajar di Fakultas Psikologi. (Foto: Supplied)

 

Ia juga mencontohkan kegiatan lainnya yang melibatkan Rizieq, seperti acara pernikahan putrinya sekaligus upacara peringatan Maulid Nabi yang digelar akhir pekan kemarin (14/11).

Di acara tersebut Rizieq terlihat menggunakan masker dan 'face shield' dan ketua penyelenggara Maulid Nabi mengaku telah memperingatkan jemaah untuk menerapkan protokol kesehatan, seperti yang dilaporkan Detik.com.

"Untuk acara pernikahan putri Rizieq Shihab di Petamburan ada kesan tidak kompak," kata Profesor Koentjoro.

"Untuk peringatan Maulid Nabi, aparat dan pemerintah lebih tegas, namun tidak digubris." 'Kecerobohan' yang bisa terulang kembali

Awal pekan kemarin (16/11), Menteri Koordinator (Menko) Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD mengaku "menyesalkan" keberadaan kerumunan-kerumunan yang melibatkan Rizieq.

"Pemerintah menyesalkan terjadinya pelanggaran protokol kesehatan pada pelaksana pesta pernikahan dan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Pertamburan, Jakarta Pusat," ujarnya di sebuah konferensi pers.

Sehari sebelumnya, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP) Provinsi DKI Jakarta Arifin menyatakan telah menjatuhkan sanksi denda administratif sebesar Rp50 juta kepada Rizieq, dikutip dari CNN Indonesia. Photo: Habib Rizieq ketika menghadiri Perayaan Maulid Nabi 14 November lalu. (Foto: Detik.com, Ari Saputra)

 

Dari pengamatannya, wartawan senior harian Kompas di Jakarta, Budiarto Shambazy, mengatakan peristiwa-peristiwa tersebut menjadi sebuah "kecerobohan" yang mungkin bisa saja terulang kembali.

"Kerumunan di bandara maupun acara pernikahan menjadi semacam klimaks dari ketidakpedulian aparat dan publik terhadap protokol kesehatan," ujarnya kepada Sastra Wijaya, wartawan ABC Indonesia di Melbourne.

Menurutnya keresahan publik semakin terasa karena pandemi COVID-19 di Indonesia sudah memasuki delapan bulan, namun masih berada di gelombang pertama yang belum terlihat akhirnya.

"Semua orang bosan, jenuh, kecewa dan skeptis karena kungkungan pandemi terlalu menyiksa bagi sebagian publik," kata Budiarto. Perubahan perilaku jadi 'vaksin yang terbaik'

T Irwan Amrun, Ketua Sub Mitigasi Perubahan Perilaku di Satgas COVID-19 mengakui jika peristiwa dalam beberapa pekan ini terjadi karena terlalu besar dan beragamnya institusi yang harus ikut menangani pandemi di Indonesia.

"Tugas pokok dan fungsi menjadi tumpang tindih dan muncul silo-silo, ego pribadi dan juga ego sektoral," kata Irwan.

"Kita sekarang ibaratnya seperti hamster yang sedang bergerak cepat dan menggila di sangkarnya, tapi tidak jelas arah dan tujuannya."

Irwan berpendapat, meski acara-acara yang melibatkan Rizieq sebagai "riak kecil", sejumlah acara lain yang melibatkan kerumunan besar menyulitkan usaha Pemerintah untuk meyakinkan masyarakat.

Tapi, menurutnya, kunci keberhasilan penanganan tersebut ada dalam upaya yang dilakukan bersama sehingga dibutuhkan kesadaran dalam perilaku setiap orang.

"Kita manusia yang membawa virus dan kita tidak bisa membunuh manusia, seperti kita membunuh hewan yang memiliki flu burung misalnya," ujar Irwan.

"Menurut saya vaksin yang terbaik adalah perubahan perilaku, kita sebagai manusia yang harus mengubah perilaku menyesuaikan diri dengan alam." Photo: Kerumunan di salah satu pusat perbelanjaan di Indonesia. (Foto: Antara, Asprilla Dwi Ananda)

 

Dari pengamatan ABC Indonesia, sejumlah pengguna jejaring sosial mempertanyakan mengapa sejumlah kegiatan dilarang, namun beberapa lainnya, termasuk acara Rizieq yang mengundang kerumunan besar, ibiarkan.

Sebagai pakar psikologi, Profesor Koentjoro dari UGM Yogyakarta juga mengatakan adanya upaya penegakan protokol kesehatan dan pembiaran beberapa kerumunan di saat yang bersamaan telah menimbulkan kebingungan.

"Menurut saya, penegakan aturan itu harus dilakukan bukan untuk kepentingan orang demi orang tapi umat keseluruhan," katanya.

"Saya melihat masyarakat bingung mengapa semua ini bisa terjadi. Oleh karena itu pengendalian diri itu penting," tambah Profesor Koentjoro.

Ratusan kilometer dari Jakarta, Tarsisius Wintoro, seorang warga Jawa Tengah hanya bisa melihat apa yang terjadi belakangan ini dari rumahnya di Semarang.

"Sebagai wong cilik saya sudah gumunan [tidak heran] melihat hal-hal seperti ini," kata Tarsisius.

"Namun ini Indonesia ... kita marah dan kecewa, malah kita bisa sakit sendiri."

"Soal mematuhi protokol kesehatan, kalau menurut logika orang sehat, harusnya semua orang taat dengan aturan."

Ikuti berita seputar pandemi Australia dan lainnya di ABC Indonesia.

Simak! Video Pilihan Redaksi:

BACA ARTIKEL LAINNYA... Soal Pemanggilan Anies, Kombes Tubagus: Berlebihannya di Mana?

Berita Terkait