jpnn.com - Para korban teror bom, seiring hilangnya trauma fisik dan psikis, sudah bisa berdamai dengan masa lalu dan para mantan pelaku. Ada komitmen dari pemerintah untuk menyiapkan bantuan usaha, pelatihan, dan pendidikan.
---
HASIBULLAH Satrawi masih ingat benar momen itu. Momen ketika dia berdoa dalam hati agar Ni Luh Erniati tak bertanya, "Makam Amrozi yang mana?"
Ketika itu, Mei 2015, bersama rombongan, mereka tengah melintas di tempat pemakaman umum Desa Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur. Mereka baru balik dari kediaman Ali Fauzi, adik Amrozi, salah seorang terpidana mati Bom Bali I.
BACA JUGA: Suhardi Alius: Konsep Jihad Adalah Mengurus Keluarga dan Menuntut Ilmu
Doa direktur eksekutif Aliansi Indonesia Damai (Aida) tersebut memang terkabul. Erni tak sempat bertanya apa-apa kala itu. Atau lebih tepatnya memilih memendamnya.
"Saya sebenarnya ingin duduk di depan makam Amrozi sambil membawa bunga," kata Erni kepada Jawa Pos.
BACA JUGA: BNPT Renovasi Masjid di Kampung Amrozi
Tak ada pendaman amarah dalam keinginan tersebut. Pada 2015 itu, marah dan dendam telah cukup lama dikubur Erni.
Meski akibat pengeboman yang dilakukan Amrozi dkk di Sari Club pada 12 Oktober 2002 itu, Erni kehilangan suami yang bekerja di kelab tersebut. Sekaligus bapak bagi kedua anaknya. Dan gantungan perekonomian keluarga.
Tentu proses yang harus dilalui Erni tak sebentar. Apalagi jika dia terkenang kembali sisa-sisa horor tragedi yang menewaskan 202 orang yang kemudian dikenal sebagai Bom Bali I itu.
Bahkan, untuk sekadar bisa mendapatkan kepastian identifikasi suaminya, dia harus menunggu sampai empat bulan.
Proses yang tak kalah lamanya juga harus dijalani Agus Suaersih yang menjadi korban ledakan bom di Hotel JW Marriott pada 5 Agustus 2003.
Dia menjadi waiter di salah satu kafe di hotel saat pengeboman yang menewaskan 12 orang itu terjadi.
"Saya luka di pipi kanan, hidung, kepala atas, dan pecahan kaca hampir di seluruh badan dari tangan sampai kaki," kata Suaersih yang ditemui di sela silaturahmi korban dan mantan napi terorisme yang diadakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di Jakarta Senin lalu (26/2).
Bahkan, ibu satu anak tersebut juga mengalami gegar otak. Dibutuhkan 2,5 tahun untuk memulihkan kondisi.
"Untung, saya dapat bantuan pengobatan dari Marriott. Ada asuransi perusahaan yang meng-cover," ungkap perempuan 40 tahun itu.
Seiring berjalannya waktu, Suaersih pun mulai bisa berdamai dengan masa lalu. Buntutnya, marah dan dendam kepada pelaku memudar. Yang ada justru maaf.
Tentu ada campur tangan pihak ketiga dalam proses rekonsiliasi tersebut. Dalam kasus Erni, semua berawal dari pertemuannya dengan Hasibullah Satrawi.
Dari sana dia bertemu dengan para korban aksi terorisme lainnya. Mereka saling berbagi cerita dan menguatkan.
Lewat perantara Aida pula Erni akhirnya bertemu dengan Ali Fauzi. Ali bersama Erni masih ingat betul momen saat Ali mendatangi meja di sebuah restoran tempat Erni menunggu.
Erni dan Ali lantas bersalaman. "Saya dari Bali, Pak," ujar Erni mencoba tersenyum dalam pertemuan pertama pada Maret 2015 itu.
Ajaibnya, mereka berdua hanya butuh beberapa bulan untuk akrab. Bersama Hasibullah dan Aida, juga beberapa mantan napi teroris dan korban, keduanya mulai berkelana menyebarkan kampanye rekonsiliasi antara korban dan mantan pelaku.
Pada Mei 2015 Aida menggelar kegiatan kampanye perdamaian di Lamongan. Ada Erni dan Sudirman, salah seorang korban Bom Kuningan.
Ada juga Iswanto, anggota tim perdamaian Aida sekaligus mantan pelaku Bom Kuningan.
Erni secara mendadak punya "ide gila" untuk berkunjung ke rumah Ali Fauzi. Ide Erni itu disampaikan kepada Hasibullah, yang kemudian agak ragu-ragu menyampaikannya kepada Ali.
"Pak, itu sebuah kehormatan bagi saya," jawab Ali sebagaimana yang diulanginya saat dihubungi Jawa Pos, Sabtu (3/3).
Akhirnya sepuluh korban, ditemani beberapa anggota tim perdamaian Aida, menuju rumah Ali Fauzi. Di sana Erni dengan sangat semangat berbincang dengan istri Ali Fauzi, Luluk Huzaimah, dan anak-anaknya.
Menurut Ali, istrinya belum pernah seterbuka itu dengan orang. Namun, begitu melihat fisik korban yang cacat, kehilangan kaki, muka terbakar, mata yang hilang satu, Luluk perlahan melunak. "Anak-anak saya juga mendekati para korban," ungkapnya.
Saat itulah kondisi mencair. Bahkan, kenang Ali, sang istri melakukan hal yang belum pernah dia mau lakukan sebelumnya: berfoto bersama!
Tidak cukup sampai di situ, para korban dan keluarga mantan pelaku teroris itu pun serentak berangkat ke Wisata Bahari Lamongan (WBL) yang tidak jauh dari situ.
Mereka bertamasya dadakan. Diliputi kegembiraan, Ali Fauzi menanggung semua biaya tiket masuk.
Mereka menikmati wahana sambil tertawa bersama layaknya keluarga. Mereka bahkan menjajal wahana crazy car. "Abis turun pada muntah semuanya," kenang Fauzi, lantas tertawa.
Dalam Silaturahmi Kebangsaan NKRI yang diadakan BNPT Senin lalu, ke-51 korban dan 124 mantan pelaku teror memang diupayakan untuk bisa membaur. Agar mengerti satu sama lain.
Para mantan napi agar tidak kembali terjerumus dalam radikalisme dan terorisme. "Bagi korban, acara seperti ini bisa menjadi salah satu terapi untuk mengatasi trauma," kata Suaersih.
Pertemuan antara penyintas dan mantan napi terorisme itu baru pertama diadakan pemerintah. Hadir pula Menko Polhukam Wiranto, Menristekdikti M. Nasir, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri, Menteri Sosial Idrus Marham, Ketua Panja RUU Antiterorisme M. Syafii, dan Ketua BNPT Komjen Suhardi Alius.
Menurut Fifi Normasari, jumlah korban terdampak terorisme, mulai Bom Bali I hingga Bom Kampung Melayu tahun lalu, tak kurang dari 1.107 orang. Banyak di antara mereka yang kehilangan pekerjaan setelah menjadi korban.
Hilangnya mata pencaharian itu yang membuat dendam masa lalu para korban tak gampang surut.
"Bantuan usaha dan pelatihan kewirausahaan sangat dibutuhkan agar para korban, khususnya yang mengalami cacat, bisa mengembangkan diri," tutur Fifi.
Begitu pula pendidikan. Mereka berharap pemerintah bisa memberikan beasiswa hingga perguruan tinggi kepada anak korban.
Permintaan itu dijawab Hanif dan M. Nasir. Hanif berjanji memberikan pelatihan bagi para korban. Untuk itu, dia bakal berkoordinasi dengan BNPT untuk pendataan. Terutama penyandang disabilitas.
"Penyandang disabilitas itu sudah punya kompetensi belum? Kalau sudah ada skill, beri tahu kami sehingga nanti diberitahukan ke perusahaan yang membutuhkan," ucap Hanif.
Komitmen serupa disampaikan Nasir. "Saya akan minta bantuan BNPT untuk mengompilasi seluruh korban maupun putra-putri mantan pelaku. Yang sekarang akan memasuki perguruan tinggi atau dalam proses perguruan tinggi nanti kami beri bantuan beasiswa bidikmisi," kata Nasir. (*/tau/jun/c9/ttg)
Redaktur & Reporter : Soetomo