jpnn.com, JAKARTA - Oleh: Abiyadun
Kepala Subbagian Komunikasi dan Pemberitaan Media Cetak, Kementerian Pertanian
Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis data kinerja perdagangan Indonesia periode Januari-Oktober 2018. Alhasil, pada periode ini neraca perdagangan Indonesia defisit US$ 5,51 miliar setara Rp 82,72 triliun.
BACA JUGA: Dirjen Hortikultura Pangkas Proses Izin Ekspor Tanaman Hias
Pemicu utama defisit dalam 10 bulan pertama 2018 ini karena memburuknya kinerja perdagangan sektor migas sebesar US$ 10,74 miliar.
Kendati demikian, neraca perdagangan sektor pertanian justru berkebalikan dari sektor migas. Kurun waktu Januari-Oktober 2018, nilai ekspor pertanian mencapai US$ 24,56 miliar, sementara impor hanya US$ 15,86 miliar. Dengan demikian, neraca perdagangan sektor pertanian surplus US$ 8,61 miliar. Angka ini bukan main dalam memberikan kontribusi terhadap pembangunan perekonomian nasional di tengah melemahnya kinerja sektor migas.
BACA JUGA: Terobosan Baru Kementan demi Wujudkan Kedaulatan Pangan
Dengan menelisik data BPS ini, ditemukan 18 komoditas pangan yang menggerek neraca perdagangan pertanian surplus. Komoditas tersebut yakni ubi kayu segar surplus US$ 453 ribu, ubi jalar US$ 8,29 juta, pisang US$ 12,85 juta, daging ayam segar dan olahan US$ 242 ribu, kelapa US$ 1,62 miliar, karet US$ 3,38 miliar, kelapa sawit US$ 28,15 miliar, kopi US$ 521,03 juta, teh US$ 68,71 juta, lada US$ 124,15 juta, kakao US$ 435,82 juta, pala US$ 89,91 juta, dan gula jenis rafinasi selain putih pun surplus US$ 960 ribu.
Tak hanya itu, neraca perdagangan beberapa komoditas hortikultura pun surplus. Bawang merah surplus US$ 6,15 juta, cabai segar US$ 305 ribu, nanas segar dan olahan US$ 166,46 juta, dan salak US$ 1,18 juta. Manggis pun yang masif dilakukan ekspor ikut memberikan hasil yang membanggakan yaitu surplus US$ 23,84 juta.
BACA JUGA: Kementan Sulap Rawa Jadi Lahan Pertanian
Menariknya, kinerja cemerlang sektor pertanian terhadap surplus neraca perdagangan bukanlah kurun waktu ini saja. Faktanya, Angka Tetap (ATAP) BPS kurun waktu dua tahun terakhir pun menunjukkan ekspor hasil pertanian yang meliputi komoditas tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan hortikultura terjadi kenaikan.
Di tahun 2016, volume ekspor hasil pertanian mencapai 35,49 juta ton, nilanya US$ 26,73 miliar. Sementara di tahun 2017 naik menjadi 41,26 juta ton, nilainya cukup fantastis yakni US$ 33,05 miliar. Artinya, volume dan nilai ekspor tahun 2017 masing-masing naik 16,25 persen dan 23,66 persen. Hasilnya pun, volume dan nilai neraca perdagangan sektor pertanian tahun 2016-2017 surplus. Yakni masing-masing 97,06 persen dan 45,85 persen.
Esensi Surplus
Surplus neraca perdagangan sektor pertanian di atas mengandung makna penting akan esensi kebijakan dan program terobosan pembangunan di tangan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman.
Pertama, surplus neraca perdagangan sektor pertanian di atas jelas-jelas dapat dijadikan bukti otentik bahwa komitmen dan kinerja pertanian di era pemerintahan Jokowi-JK tidak bisa diragukan lagi. Komitmen dan kerja keras Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman guna mengakselerasi nilai ekspor pangan patut dijadikan prestasi dalam sejarah membangun perekonomian bangsa dan negara. Peningkatan produksi pangan tidak hanya sebatas mengejar stok untuk memenuhi dalam negeri, tetapi juga untuk menghidupi negara-negara lain.
Kedua, kinerja ekspor pertanian di atas pun berhasil mengejewantahkan harapan Presiden RI Jokowi bahwa pangan akan menjadi panglima.
“Siapa yang memiliki pangan, ia yang mengendalikan. Saya tak ragu, bahwa di masa mendatang politik dan hukum tak lagi menjadi panglima dan satu-satunya yang mengendalikan negara. Ketersediaan pangan dinilai bakal menjadi kekuatan suatu negara,” tegas Jokowi di Graha Widya Wisuda Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tanggal 6 September 2017 lalu.
Ketiga, neraca perdagangan sektor pertanian yang terus mengalami surplus bahkan peningkatan itu juga menjadi bukti otentik mematahkan analisa para pengamat yang keliru. Tak main-main, dulu ada pengamat yang memvonis bahwa kebijakan pertanian era Jokowi-JK merupakan kebijakan yang gagal paham dan sesat pikir.
Ternyata, dari data resmi BPS ini, kebijakan pertanian saat ini sungguh cemerlang dan semakin membuktikan bahwa Indonesia merupakan negara yang kuat. Sebab, pangan menyangkut soal hidup matinya bangsa. Jika pangan kita cukup, negara pasti kuat. Sebaliknya, jika pangan kita lemah, maka itu pertanda besar negara kita pun lemah.
Oleh karena itu, pembangunan pertanian ke depannya yang berambisi menjadikan Indonesia sebagai Lumbung Pangan Dunia harus didukung penuh oleh berbagai pihak. Dukungan terobosan teknologi dan penumbuhan generasi pertanian yang unggul tentulah sebuah keniscayaan. Sebab tantangan nyata dan berat yang akan dihadapi ke depan adalah bonus demografi dan dampak agroindustri 4.0 yang membutuhkan banyak keterlibatan generasi muda inovatif.
Pun, program mekanisasi pertanian modern dan inovasi teknologi pertanian yang menjadi fokus pemerintahan saat ini harus dilanjutkan dan dijadikan sebagai program utama dalam setiap rezim pemerintahan ke depannya. Pasalnya tanpa teknologi, pembangunan pertanian yang maju mustahil bisa dicapai.
Begitu juga program optimalisasi lahan rawa yang sering disebut “Raksasa Tidur” harus benar-benar diwujudkan. Pada pembukaan Peringatan Hari Pangan Seduni HPS di Desa Jejangkit, Kecamatan Jejangkit, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan (18/10) bulan lalu, Menteri Koordinasi Bidang Perekonomian, Darmin Nasution menyebutkan pengotimalan lahan rawa merupakan langkah cerdas dalam menjawab penyusutan lahan karena urbanisasi, industrialisasi dan perubahan iklimn. Pastinya, dalam mewujudkan semua program pembangunan pertanian memerlukan sinergitas dan kolaborasi yang baik antar semua pemangku kepentingan sebagai kunci dalam menghadapi tantangan dan peluang ekspor pangan ke depan.
Oleh karena itu, isu pangan dalam kancah Pilpres 2019 nanti harus dijadikan isu utama sebagai variabel penting dalam membangun negara yang kuat. Tentunya, memajukan pertanian harus didukung dengan pembangunan infrastruktur. Sebab berdampak nyata dalam memberikan akses dan ketersediaan pangan serta meningkatkan minat investasi. Dengan demikian, isu pangan berbasis kesejahteraan, ekspor dan investasi harus menjadi isu besar dalam membangun negara yang dicita-citakan.(jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Demi Pembangunan Merata, Kementan Majukan Pertanian di Papua
Redaktur : Tim Redaksi