Eutanasia

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Rabu, 23 Juni 2021 – 12:22 WIB
Ilustrasi petugas tes swab Covid-19. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Eutanasia adalah praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit, atau hanya menimbulkan rasa sakit yang minimal.

Eutanasia biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan.

BACA JUGA: Kabar Terbaru Tentang 308 Nakes Kabupaten Kudus yang Terpapar Covid-19

Eutanasia masih menjadi kasus yang paling kontroversial dan sensitif dalam praktik kedokteran di seluruh dunia.

Atas pertimbangan moral, etika, dan agama, sejumlah negara melarang eutanasia.

BACA JUGA: Pernyataan Penting dari Peneliti Soal Obat Herbal untuk Lawan COVID-19

Sampai sekarang di Indonesia praktik itu masih tergolong ilegal atau tidak boleh dilakukan. Aturan hukum mengenai masalah ini berbeda-beda di tiap negara, dan sering kali berubah seiring dengan perubahan norma, budaya, dan agama, maupun ketersediaan perawatan atau tindakan medis.

Di beberapa negara, eutanasia dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya dianggap melanggar hukum. Oleh karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan prosedur yang ketat selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya.

BACA JUGA: Satgas COVID-19 Minta Kepala Daerah Terapkan PPKM Mikro

Namun, ketika situasi menjadi darurat dan ketersediaan sarana pengobatan menjadi terbatas, para dokter mau tidak mau harus memilih pasien mana yang harus diselamatkan, dan pasien mana yang harus dikorbankan.

Kasus ini memang tidak sama dengan eutanasia, tetapi dimensi moral dan etikanya hampir sama.

Ketika tiba pada suatu titik, seorang dokter bisa menentukan hidup mati seorang pasien. Hal ini terjadi di banyak negara yang mengalami krisis kesehatan akibat membeludaknya kasus Covid-19.

Hal ini juga sudah terjadi di Indonesia. Seorang dokter di Lamongan, Jawa Timur, harus memilih satu di antara tiga pasien kritis yang harus diselamatkan.

Sesuai dengan standard operational procedures (SOP) sang dokter akhirnya mengambil keputusan menyelamatkan satu pasien saja dan melepas dua pasien lainnya.

Hal itu diceritakan oleh Ketua Tim Dokter Penanganan Covid-19 Muhammadiyah, dr. Corona Rintawan. Ia membagikan sebuah cerita saat ia berada dalam kondisi sulit di tengah penanganan pandemi.

Cerita tersebut ditulis Corona Rintawan di media sosialnya dan viral. Dia menceritakan, saat itu ia harus memilih satu dari tiga pasien untuk diberikan perawatan di rumah sakit.

"Ada tiga pasien confirm positif kondisinya buruk. ARDS berat/gagal napas ketiga-tiganya. Saturasi oksigen di bawah 90% semua," kata perawat kepadanya, seperti yang diceritakan oleh Rintawan pada akun pribadinya di Facebook.

Sedangkan saat itu, tempat tidur yang tersisa hanya satu. Sementara ketiga pasien itu memerlukan perawatan ICU dan ventilator.

Di tengah situasi kritis itu ia berpikir keras, lalu bertanya kepada perawat soal usia dan riwayat penyakit dari ketiga pasien tersebut.

Ia pun memilih untuk memberikan sisa bed kepada pasien dengan usia termuda. Dalam kondisi bencana seperti sekarang di mana fasilitas dan alat terbatas maka diberlakukan triase bencana, artinya menyelamatkan yang paling besar kemungkinan untuk selamat, bukan yang paling jelek kondisinya. Tulis Rintawan.

Rintawan menambahkan, semua orang tidak akan pernah bisa membayangkan berada pada posisi seperti ini. Ia bertanya kepada dirinya sendiri, 'apakah saya yakin benar dengan pilihan ini? Tidak. Namun, sebagai nakes di RS harus segera memutuskan dengan cepat sehingga salah satu pasien tersebut mungkin bisa selamat'.

Saat dikonfirmasi Rintawan mengatakan, saat itu ketiga pasien positif dalam kondisi buruk dan semuanya membutuhkan ventilator. Namun, hanya tersisa satu ventilator saja, sehingga dokter harus memilih satu pasien.

Maka dipilihlah salah satu yang paling mungkin selamat dengan pertimbangan usia dan comorbid/penyakit penyerta. Apakah yang dipilih nanti itu akan selamat? Belum tentu juga.

Namun, nakes harus memilih salah satunya daripada membiarkan ketiga-tiganya tidak mendapat ventilator semua dan meninggal semua. Inilah dilema etika dan moral yang dihadapi seorang dokter.

Kasusnya tidak sama dengan eutanasia, tetapi perdebatan moral yang terlibat mirip dengan eutanasia.

Dalam eutanasia, seorang dokter memberikan bantuan kepada pasien yang memilih untuk mengakhiri hidupnya karena kondisi kesehatannya yang sudah tidak mungkin disembuhkan.

Sejumlah negara di dunia melegalkan praktik eutanasia. Selandia Baru adalah salah satu negara yang baru-baru ini melegalkan eutanasia.  Belanda dan Swiss sudah terlebih dahulu melegalkannya.

Ada banyak pertimbangan sebelum melakukan tindakan eutanasia, salah satunya adalah hak seseorang atas hidupnya, apakah ingin mempertahankan meski merasakan sakit, atau ingin mengakhirinya demi memutus penderitaan.

Eutanasia memicu perdebatan filosofis sejak awal abad ke-20. Perdebatannya merentang panjang sampai ke akar masalah di teori evolusi Darwin (1809-1888).

Dalam teori Darwin, makhluk hidup bisa bertahan dan berkembang karena seleksi alam. Dengan kemampuannya menyesuaikan diri dengan alam yang sering ganas, makhluk itu bisa bertahan dan berkembang.

Survival of the fittest adalah prinsip teori evolusi Darwin. Siapa yang paling pandai menyesuaikan diri dengan alam, dia yang akan bisa bertahan hidup. Semua makhluk tumbuh melalui evolusi untuk menyesuaikan dengan tuntutan alam.

Seekor burung awalnya tidak punya sayap. Ia hanya bisa berlari untuk mencari makan dan menghindari kejaran predator. Lama kelamaan pada bagian tangannya muncul benjolan yang berguna sebagai aerodinamika untuk mempercepat gerakan tubuh. Pada tahap evolusi berikutnya benjolan itu menjadi sayap yang memungkinkan burung untuk terbang.

Tentu saja teori evolusi bertentangan dengan teori kreasionis, yang percaya bahwa semua makhluk diciptakan oleh Tuhan apa adanya seperti sekarang. Manusia pun diciptakan seperti bentuknya sekarang dan diturunkan dari Nabi Adam. Penganut evolusionis meyakini manusia berevolusi dari monyet dan simpanse.

Dalam perkembangannya kemudian, kaum evolusionis percaya kepada teori liberal yang bertentangan dengan kaum konservatif yang berpegang kepada moral agama.

Dalam kasus eutanasia, kaum evolusionis yang liberal percaya bahwa eutanasia harus dilegalkan karena manusia yang penyakitan akan menurunkan keturunan yang tidak sehat.

Jika ini dibiarkan maka keturunan yang tidak sehat itu pun akan berumur pendek dan tidak bisa bersaing dengan keturunan yang sehat.

Karena itu, kaum liberal-evolusionis berpendapat bahwa eutanasia harus dilegalkan supaya kualitas manusia menjadi makin baik, karena orang-orang yang tidak fit dengan sendirinya tereliminasi dari persaingan.

Perdebatan antara kalangan konservatif agama yang pro-life dan kalangan liberal-evolusionis yang pro-choice sampai sekarang tidak pernah ada ujungnya.

Di Amerika Serikat kubu konservatif didukung oleh Partai Republik dan kubu liberal didukung Partai Demokrat. Setiap pemilu kedua kubu selalu bertengkar antara dua pilihan itu.

Di Indonesia kasus eutanasia menjadi semacam tabu politik yang tidak bisa diperdebatkan secara terbuka.

Moralitas agama tidak memungkinkan seseorang boleh mengakhiri hidup orang lain, dalam keadaan apa pun.

Namun, ketika layanan kesehatan berada pada kondisi darurat karena pandemi yang tidak terkendali seperti sekarang, dilema moral ala eutanasia seperti yang dialami Dokter Rintawan, mau tidak mau akan semakin sering terjadi.

Pada suatu titik kritis, dokter harus "playing god", memainkan peran Tuhan. (*)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler