Face Recognition

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Sabtu, 16 April 2022 – 17:18 WIB
Pemakaian teknologi canggih bisa membantu polisi mengatasi kejahatan. Ilustrasi: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Sebuah mesin teknologi canggih pengenalan wajah (face recognition) dipasang di Tokyo untuk memantau penjahat jalanan. 

Dalam tempo sehari pelaku kejahatan bisa ditangkap. 

BACA JUGA: Syarat Face Recognition untuk Registrasi Nomor Seluler Dinilai Berlebihan

Mesin yang sama dipasang di New York. 

Dalam tempo dua hari pelaku kejahatan bisa ditangkap. 

BACA JUGA: Unggah Foto Pria Terduga Pengeroyok Ade Armando, Husin Shihab Memberi Pengakuan

Mesin itu kemudian dipasang di Jakarta, dalam tempo seminggu mesinnya hilang. 

Itu joke mengenai tingkat kriminalitas di berbagai negara di dunia. 

BACA JUGA: AS Tuding PeduliLindungi Berpotensi Melanggar HAM, Mahfud MD Bereaksi Begini

Jakarta sebagai kota besar termasuk kota yang punya problem kriminalitas tersendiri. 

Pemakaian teknologi canggih bisa membantu polisi mengatasi kejahatan. 

Namun, ketergantungan terhadap teknologi bisa menimbulkan masalah tersendiri. 

Di Indonesia, alih-alih malingnya tertangkap justru mesinnya yang digondol maling.

Beberapa waktu belakangan ini, penggunaan teknologi untuk mengatasi kriminalitas di Indonesia tengah menjadi sorotan. 

Polisi Indonesia sudah punya teknologi canggih pengenalan wajah yang bisa mengidentifikasi seseorang yang dicurigai sebagai pelaku kriminalitas.

Dengan melakukan snanning terhadap wajah pelaku, mesin kemudian bisa memberikan data mengenai pelaku kejahatan lengkap termasuk nama dan alamat. 

Di banyak negara maju teknologi ini sudah banyak dipakai. 

Di China, misalnya, teknologi ini dipasang di perempatan jalan-jalan di kota besar sehingga bisa memantau pergerakan orang dengan cermat.

Di Indonesia teknologi ini menjadi masalah ketika diterapkan oleh polisi untuk mengidentifikasi pelaku pengeroyokan terhadap Ade Armando pada demonstrasi mahasiswa 11 April lalu. 

Dengan teknologi pengenalan wajah itu polisi bisa mengindentifikasi sejumlah pelaku. 

Namun, tidak semuanya akurat. Seorang laki-laki yang tinggal di Lampung diidentifikasi sebagai salah satu pelaku pengeroyokan. 

Ternyata identifikasi mesin itu salah. 

Lelaki itu seharian berada di rumahnya di Lampung dan tidak berada di Jakarta.

Data dan informasi yang seharusnya konfidential ini telanjur menyebar ke media sosial. 

Ketua Cyber Indonesia Husin Shihab menyebar informasi itu melalui media sosial lengkap dengan foto dan data. 

Tindakan yang sembrono ini dikecam oleh netizen lain sampai muncul trending topic tagar tangkap Husin Shihab.

Ketika data yang seharusnya rahasia bisa jatuh ke orang yang tidak punya otoritas seperti Husin Shihab, tentu menimbulkan pertanyaan, bagaimana polisi menjaga kerahasiaan data yang menyangkut privasi dan kerahasiaan warga negara. 

Isu itulah yang banyak dipertanyakan publik.

Kecanggihan teknologi digital memungkinkan pengumpulan data dengan sangat cepat dan akurat. 

Data pribadi itu bisa mengungkap apa saja mengenai seseorang mulai dari pekerjaan, keluarga, sampai hal-hal detail seperti hobi dan kecenderungan politik. 

Data semacam ini dikumpulkan menjadi satu menjadi big data yang bisa diperdagangkan dengan harga yang mahal.

Teknologi pengenalan wajah menjadi kamera pengintai yang mengawasi pergerakan masyarakat setiap hari. 

Pengintaian ini bisa membatasi kebebasan warga karena semua gerak-geriknya direkam dan diawasi selama 24 jam.

Negara yang paling banyak mengoperasikan teknologi pengawasan ini adalah China. 

Di semua perempatan jalan di kota-kota China terpasang kamera pengintai yang bekerja 24 jam. 

Sekarang ini tercatat ada 400 juta lebih kamera pengintai yang dipasang di China. 

Dengan kamera pengintai itu China akan bisa mengawasi pergerakan penduduknya yang berjumlah 1,4 miliar orang.

Sebagai negara yang otoriter, China bebas saja melakukan pengintaian terhadap warganya sendiri. 

Teknologi ini sama dengan ‘’Big Brother’’ yang digambarkan oleh George Orwell dalam novel ‘’Nineteen Eighty Four’’, yang menggambarkan situasi di negara otoriter yang pergerakan warganya diawasi si Bung Besar selama 24 jam.

China dikritik karena menerapkan pengawasan yang berlebihan kepada warganya. 

Pengawasan dan pengintaian itu melanggar hak privasi dan hak asasi warga untuk bergerak dan berkumpul. 

China tidak peduli dengan protes semacam itu, dan merencanakan untuk menambah lagi jumlah mesin pengintainya.

Penggunaan mesin pengenal wajah di Indonesia juga berpotensi melanggar hak asasi, terutama jika sampai jatuh ke tangan orang yang tidak berkompeten. 

Indonesia sendiri sedang masuk dalam sorotan internasional karena dugaan pelanggaran hak asasi melalui penggunaan teknologi surveillance.

Sebuah laporan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat minggu ini menyebutkan bahwa Indonesia melakukan pelanggaran hak asasi dengan cara mengumpulkan data warga melalui aplikasi ‘’Peduli-Lindungi’’ yang diterapkan selama masa pandemi. 

Aplikasi itu dianggap sebagai upaya untuk mengawasi pergerakan warga negara dan karenanya berpotensi melanggar hak asasi.

Dengan aplikasi itu setiap warga bisa diketahui data pribadinya dan juga bisa dipantau pergerakan sosialnya. 

Data itu dikumpulkan secara gratis dan disimpan oleh pemerintah. 

Sampai sekarang tercatat sudah hampir 40 juta pengunduh aplikasi itu, dan pemerintah menargetkan untuk meningkatkan dua kali lipat sehingga seluruh pemilik smartphone di Indonesia bisa mengunduhnya.

Data mining atau penambangan data yang dilakukan oleh pemerintah dengan cara-cara seperti ini potensial menimbulkan pelanggaran hak asasi.

Tanpa pengawasan yang memadai data ini bisa saja disalahgunakan untuk kepentingan tertentu.

Amerika mengecam penambangan data itu oleh Pemerintah Indonesia karena Amerika punya pengalaman buruk dalam kasus yang sama. 

Pada pemilu presiden Amerika 2016, terjadi perang kampanye komputasional yang mempergunakan data pribadi publik. 

Ketika itu diketahui bahwa 87 juta data pengguna Facebook telah dibocorkan kepada pihak lain.

Kasus ini menjadi skandal nasional dan publik melakukan protes keras. 

Pendiri Facebook Mark Zuckerberg pun disidang oleh Kongres untuk mempertanggungjawabkan kasus ini. 

Dalam persidangan itu, Zuckerberg mengakui kesalahannya. 

Dia mengaku teledor sehingga data pribadi publik itu bisa bocor ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab.

Pemilu presiden Amerika Serikat 2016 tercatat sebagai salah satu pemilu yang paling keras. 

Persaingan antara wakil Partai Republik Donald Trump melawan kandidat dari Partai Demokrat Hillary Clinton sangat ketat. 

Publik mengira Clinton akan menang, karena secara kualitas pribadi lebih unggul dari Trump. 

Namun, dalam kenyataannya Trump bisa mengungguli Clinton dan akhirnya menjadi presiden. 

Banyak kalangan yang mencurigai kemenangan Trump tidak bersih. 

Ada kecurigaan bahwa kemenangan Trump dibantu oleh pasukan siber yang dikendalikan oleh Rusia langsung dari Kremlin.

Pasukan siber Rusia mempergunakan robot dan botch untuk memengaruhi pemilih Amerika. 

Pasukan siber itu membuka ratusan akun bodong untuk mempromosikan dukungan kepada Trump dan mendiskreditkan Clinton dengan berbagai isu negatif. 

Dengan bantuan pasukan siber rahasia yang melakukan manipulasi kampanye komputasional secara masif itu Trump akhirnya menang.

Hal yang sama terjadi di Inggris dalam referendum untuk menentukan keanggotaan Inggris di Masyarakat Eropa. 

Peristiwa yang dikenal sebagai Brexit pada 2018 itu juga banyak diwarnai oleh kampanye komputasional oleh pasukan siber. 

Kelompok yang pro Brexit akhirnya memenangkan referendum dan Inggris keluar dari Masyarakat Eropa. 

Keputusan ini banyak disesalkan, tetapi sudah telanjur terjadi. 

Kampanye komputasional oleh pasukan siber rahasia terbukti bisa memengaruhi pemilihan politik secara signifikan.

Kasus Donald Trump di Amerika dan kasus Brexit di Inggris membuktikan bahwa penyalahgunaan data pengguna media digital bisa membawa akibat yang sangat serius. 

Skandal di Amerika disebut sebagai skandal Cambridge Analityca yang melibatkan kelompok konsultan yang melakukan penambangan data dengan cara-cara yang tidak jujur.

Cambridge Analytica adalah lembaga konsultan politik yang disewa oleh tim kampanye Donald Trump yang kemudian melakukan pengumpulan data pemilih dengan cara yang dianggap ilegal. 

Salah satunya adalah dengan berpura-pura melakukan kuis untuk tes kepribadian. Data itu kemudian ditambang dan dijadikan database untuk mengirim pesan-pesan kampanye yang memengaruhi pemilih. 

Pemilu Indonesia pada 2024 akan menjadi perhelatan politik yang masif dan krusial. 

Permainan kampanye komputasional ilegal ala Amerika sangat mungkin terjadi di Indonesia. 

Data yang dikumpulkan melalui aplikasi PeduliLindungi tidak mustahil akan dipakai sebagai alat kampanye komputasional dengan target politik tertentu. (*)

 

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler