Fadli Zon: Jangan Memberikan Cek Kosong pada Aparat Penegak Hukum

Ada banyak persoalan dalam draf Revisi UU Antiterorisme

Rabu, 05 Juli 2017 – 10:54 WIB
Fadli Zon. Foto: dok/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Maraknya aksi teror belakangan ini telah membuat sejumlah pihak mendesak agar pembahasan Revisi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme segera diselesaikan. Pengesahan segera revisi UU tersebut dianggap bisa membuat penanganan atas aksi teror bisa makin efektif.

Namun, Wakil Ketua DPR Bidang Koordinator Politik dan Keamanan Fadli Zon menyatakan bahwa DPR melalui panitia khusus (pansus) RUU Antiterorisme, bersikap hati-hati dalam membahas draf revisi yang inisiatifnya diajukan pemerintah tersebut.

BACA JUGA: Soal Teror, Fadli Zon: Harus Ada Instrospeksi Kenapa Sasarannya Polisi

"Ada banyak persoalan dalam draf revisi yang diajukan pemerintah, sehingga DPR memilih berhati-hati dalam pembahasannya,” kata Fadli, Rabu (5/7).

Dia mencontohkan, ada usulan perpanjangan masa penahanan dari enam bulan menjadi 510 hari. Nah, ini tidak bisa diloloskan begitu saja. Sebab proses penegakkan hukum atas tindak terorisme juga tak boleh mengabaikan hukum lainnya yang masih berlaku.

BACA JUGA: Calon Komisioner Komnas HAM Diduga Berafiliasi dengan Parpol, Begini Komentar Fadli Zon

Dia menegaskan, jangan sampai penegakkan hukum dilakukan dengan cara melanggar hukum. "Itu prinsip yang ingin kami jaga. Kami tidak berharap tindakan hukum sejenis petrus (penembakan misterius) di masa lalu kini bisa terulang kembali dalam bentuk lain," ungkapnya.

Menurutnya, DPR ingin filosofi penanganan tindak terorisme tidak berangkat dari prinsip pemberantasan teroris, sebagaimana yang sejauh ini menonjol dilihat. Tapi, lebih memperhatikan berbagai aspek secara komprehensif.

BACA JUGA: Fadli Zon Dukung Gagasan Ahmad Dhani

"Informasi yang saya terima dari ketua pansus, saat ini pembahasannya sudah cukup maju kok, sudah lebih dari 60 persen dari total 112 DIM (daftar inventaris masalah) yang dibahas di pansus," paparnya.

Fakta bahwa tindak terorisme dianggap sebagai extraordinary crime, jangan sampai membuat menjadi seperti memberikan cek kosong pada aparat penegak hukum.

Dia mengatakan, harus belajar dari kesalahan dalam menangani extraordinary crime lainnya, seperti tindak pidana korupsi. Lembaga atau aparat yang menangani extraordinary crime harus tetap bisa dikontrol dan diawasi.

DPR sangat concern terhadap isu bahwa penanganan tindak terorisme harus memperhatikan dan tetap berada di dalam koridor hukum, tak boleh terus-menerus menggunakan diskresi. "Kita harus taat pada due process of law, itu yang ingin dijaga," tegasnya.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu mengatakan, meski ada desakan dari sejumlah pihak agar RUU Antiterorisme segera disahkan, DPR tak bisa begitu saja mengikutinya. Kalau pembahasannya tergesa-gesa, risikonya bisa banyak sekali nantinya.

Apalagi, secara teknis dalam revisi UU Antiterorisme ini kian banyak pihak yang harus disinergikan, mulai dari Polri, BNPT, BIN, TNI dan juga masyarakat sipil.

"Bagaimana bentuk sinerginya, itu yang sedang diatur. Yang jelas, jangan sampai ada penyalahgunaan wewenang oleh negara atau aparat dengan menggunakan dalih terorisme," ujarnya.

Masukan yang diterima DPR sangat banyak. Sebagai gambaran, untuk definisi terorisme saja, ada 172 rancangan yang masuk usulan pembahasan. Untuk memformulasikan hal ini, tentu membutuhkan perumusan yang matang.

“Jadi, tak ada kaitan belum selesainya pembahasan revisi UU Antiterorisme dengan aksi teror yang marak belakangan ini," tegasnya.

Apalagi, lanjut dia, dengan UU yang masih berlaku aparat sebenarnya juga sudah bisa bekerja. Pembahasan yang sedang berlangsung di parlemen saat ini konteksnya hanya merevisi saja, sehingga bukan merupakan faktor penghambat bagi aparat penegak hukum dalam menangani aksi teror.(boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Fadli Zon Minta Penyebab Jatuhnya Heli Basarnas Diusut


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler