jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai pemerintah gagal menjaga nilai tukar rupiah hingga menembus angka Rp 14.000 per dolar Amerika Serikat.
Menurut Fadli, meskipun selalu disangkal eksekutif, Indonesia saat ini sebenarnya sudah berada di tahap awal krisis, dan pemerintah telah gagal dalam menjaga stabilitas rupiah.
BACA JUGA: Arief Kaitkan Anjloknya Rupiah dengan Elektabilitas Jokowi
Nilai tukar memiliki efek domino yang sangat besar dalam struktur perekonomian. Dalam periode Februari hingga Maret 2018 saja, Indonesia sudah menghabiskan sekitar USD 2 miliar devisa untuk menyelamatkan rupiah.
“Itu juga ternyata tak sanggup mencegah rupiah jatuh ke angka Rp 14.000 per dolar," kata Fadli, Rabu (9/5).
BACA JUGA: DPR Akan Perjuangkan Nasib Pelaut Indonesia
Fadli mencatat, selama periode pemerintahan Presiden Joko Widodo mulai dari kuartal empat 2014 hingga kini, rupiah sudah terdepresiasi 13 persen. Kemungkinan akan terus mengalami tren penurunan. Kondisi ini jauh sekali dari apa yang dulu pernah dijanjikan pada 2014. Sebagai catatan, nilai tukar rupiah saat ini 38 persen lebih rendah dari janji kampanye dulu. Ini menunjukkan perhitungan pemerintahan sekarang jauh dari realistis.
"Dan pemerintah gagal menjaga rupiah kita," tegas anak buah Prabowo Subianto di Partai Gerindra, itu.
BACA JUGA: Rupiah Melemah, Oso: Indonesia Kena Dampak Saja
Karena itu, Fadli menyatakan bahwa pemerintah harus bersikap transparan mengenai risiko yang tengah dihadapi. Sikap itu diperlukan agar bisa mengambil langkah tepat mengantisipasi terjadinya krisis ekonomi yang lebih dalam.
Menurutnya, jangan berdalih indikator makro ekonomi cukup baik dengan modal argumen bahwa indikator perekonomian negara-negara lain saat ini jauh lebih buruk dari Indonesia.
Menurut dia, ini bukan soal apakah kondisi Indonesia lebih baik atau buruk dibanding negara lain. Namun, soal apakah pemerintah telah mengantisipasi terjadinya krisis atau tidak. "Jika kondisi negara lain lebih buruk, bukan berarti kita baik-baik saja," ungkapnya.
Risiko di depan mata yang dihadapi misalnya terkait dengan utang. Sebab, sekitar 41 persen utang ada dalam denominasi mata uang asing. Artinya, jelas dia, perubahan kurs rupiah atas mata uang bersangkutan akan mempengaruhi posisi utang secara keseluruhan.
Menurut data Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan per 31 Desember 2017 lalu, dari total Rp3.938,45 triliun, utang dalam denominasi rupiah adalah sebesar 59 persen, dolar AS 29 persen, Yen Jepang 6 persen, Euro 4 persen, SDR IMF 1 persen, dan lainnya sebesar 1 persen.
"Jadi, utang kita yang berdenominasi valuta asing sebear 41 persen baik dalam bentuk pinjaman, SBN (Surat Berharga Negara), maupun SBN Syariah," katanya.
Turunnya nilai tukar rupiah jelas akan berpengaruh terhadap beban pembayaran utang, baik bunga maupun cicilan jatuh tempo. "Ujungnya, APBN kita akan semakin terbebani pembayaran utang," ujarnya.
Menurutnya, turunnya nilai tukar rupiah juga telah berimbas pada menurunnha tingkat kepercayaan terhadap pemerintah. Terbukti, sudah tiga kali berturut-turut lelang Surat Utang Negara (SUN) tidak pernah mencapai target.
Pada 24 April, SUN hanya terjual Rp 6.150 miliar, padahal target indikatifnya Rp 17.000 miliar. Berikutnya, pada 2 Mei 2018, SBSN (Syariah) hanya terjual Rp 5.530 miliar dari target indikatif Rp 8.000 miliar. Terakhir 8 Mei pemerintah bahkan gagal menjual SUN sama sekali dari Rp 17.000 miliar yang ditargetkan.
“Ini sebenarnya lampu merah untuk pemerintah. Kredibilitas mereka kini semakin diragukan investor," katanya.
Selain itu, melemahnya rupiah juga ternyata tak punya dampak positif terhadap nilai ekspor . "Apa yang mau diekspor?" sesalnya.
Sebab, eksportir justru lebih menginginkan nilai tukar rupiah yang stabil, karena bagaimanapun komponen bahan baku atau komponen produksi komoditas masih banyak yang diimpor.
Selain itu, nilai ekspor juga cukup kecil jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga.
Pada 2017, nilai ekspor hanya USD 145 miliar, kalah jauh dari Thailand yang nilainya mencapai USD 231 miliar, atau bahkan Vietnam yang USD 160 miliar.
Karena itu, Fadli sekali lagi meminta agar pemerintah bersikap transparan mengenai risiko ekonomi yang sedang dihadapi. Jangan kecilkan arti depresiasi rupiah. Sebab, nilai tukar mata uang pada dasarnya mewakili martabat sebuah bangsa.
“Dan sejauh ini pemerintahan Presiden Joko Widodo terbukti gagal menjaga martabat mata uang kita," pungkasnya.(boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemerintah Tidak Akan Kalah Melawan Hoaks
Redaktur : Tim Redaksi