Fadli Zon Sebut Bencana Asap Ironi di Tengah Wacana Pindah Ibu Kota

Selasa, 17 September 2019 – 16:22 WIB
Fadli Zon. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyoroti bencana kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di sejumlah wilayah di Indonesia. Menurut Fadli, kembali mencuatnya bencana asap akibat karhutla jelas merugikan masyarakat.

“Hal ini juga memancing munculnya protes dari negara tetangga,” kata Fadli, Selasa (17/9).

BACA JUGA: Kabut Asap, Berapa Kerugian Maskapai?

Fadli menyatakan bahwa kejadian ini terus-menerus berulang, terutama saat menghadapi kemarau. Padahal, sejak jauh hari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah memperingatkan bahwa tahun ini Indonesia kembali bertemu kemarau panjang seperti empat tahun lalu. Hanya saja, kata Fadli, seperti biasanya antisipasi pemerintah tidak kelihatan.

Ironis, lanjut Fadli, bencana asap ini terjadi di tengah wacana pemindahan ibu kota ke Kalimantan.

BACA JUGA: Kabut Asap Pekat, Jam Kerja PNS dan Honorer Dikurangi

“Apa jadinya nanti jika bandara harus ditutup dan kantor-kantor pemerintah harus diliburkan bila terjadi bencana asap di "ibu kota” baru?,” ujarnya.

Ia menambahkan pertanyaan berikutnya adalah bagaimana publik mempercayai pemerintah sanggup memindahkan ibu kota kalau mengatasi bencana asap saja tidak mampu.

BACA JUGA: Dorong Bebas Visa bagi WNI, Fadli Zon Dekati Parlemen Timor Leste

"Itu adalah pertanyaan-pertanyaan standar dan sederhana yang hinggap di kepala kita saat membaca kembali meluas dan meningkatnya bencana asap yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera tahun ini,” paparnya.

Bencana asap yang terjadi tahun ini memang sangat bertolak belakang dengan klaim yang pernah diutarakan Presiden Joko Widodo saat acara debat calon presiden 17 Februari 2019 silam. Pada waktu itu sebagai petahana Presiden Jokowi mengklaim tidak ada lagi karhutla dalam kurun tiga tahun terakhir masa pemerintahannya.

Padahal, lanjut dia, merujuk data-data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) ataupun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sepanjang pemerintahannya selalu terjadi karhutla dengan luasan bersifat fluktuatif.

Pada 2015, areal kebakaran hutan mencapai 2,6 juta hektare. Itu adalah bencana karhutla terburuk sesudah bencana tahun 1997/1998 yang luas areal kebakarannya mencapai 10 hingga 11 juta hektare. Pada 2016, luas areal yang terbakar turun menjadi 438.363 hektare. Tahun berikutnya, 2017, luas areal kembali turun menjadi 165.528 hektare. "Pada 2018, luar areal kembali melonjak menjadi 510 ribu hektare," ungkap Fadli.

Wakil ketua umum Partai Gerindra itu menuturkan, tahun ini luas areal diperkirakan akan kembali bertambah. Menurut data BNPB, kata dia, luas karhutla pada periode Januari hingga Agustus 2019 saja sudah mencapai 328.724 hektare.

Provinsi Riau tercatat sebagai wilayah terluas yang dilanda karhutla yakni mencapai 49.266 hektare. Daerah terluas berikutnya adalah Kalimantan Tengah, dengan luas karhutla mencapai 44.769 hektare. Selanjutnya adalah Kalimantan Barat seluas 25.900 hektare, Kalimantan Selatan 19.490 hektare, dan Sumatera Selatan 11.826 hektare.

Menurut Fadli, dari tingkat polusi, levelnya juga telah melampaui ambang batas. Hingga akhir pekan lalu, misalnya, Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di Pekanbaru, Riau, mencapai 848. Di Kabupaten Siak, Riau, mencapai level 877. Padahal, batas polusi katagori berbahaya adalah 350.

Di tengah peningkatan skala bencana yang terjadi, Fadli melihat opini yang disampaikan pemerintah terkait penyebab karhutla justru simpang siur.

"Jika KLHK tegas menyebut korporasi, bahkan sudah melakukan penyegelan terhadap lebih dari 40 perusahaan, namun kita mendengar Menko Polhukam (Wiranto) justru memberikan pernyataan berbeda dari kesimpulan KLHK," ujarnya.

"Saya kira ini akan membuat penyelesaian kasus karhutla jadi tidak jelas dan tak tegas," tambahnya.

Menurutnya, pernyataan Wiranto bahwa karhutla disebabkan oleh petani peladang, sangat tak perlu dan tidak produktif. "Berapa sih luas areal yang dikuasai petani? Berapa besar signifikansinya terhadap luasan karhutla secara keseluruhan?" jelasnya.

Menurut Fadli, lebih produktif jika pemerintah dan aparat penegak hukum fokus mem-back-up KLHK dalam melakukan penindakkan terhadap para pelanggar yang tengah diselidiki.

Fadli mengingatkan sejak September 2014 Indonesia telah meratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas-Batas). Ini adalah perjanjian lingkungan hidup yang pertama kali ditandatangani negara-negara ASEAN pada 2002 untuk mengendalikan pencemaran asap di Asia Tenggara.

Perjanjian ini merupakan reaksi terhadap bencana asap yang terjadi pada akhir 1990-an, akibat pembukaan lahan dengan cara membakar hutan di Sumatera dan Kalimantan. Indonesia menjadi negara ASEAN terakhir yang meratifikasi perjanjian tersebut.

“Jadi, bencana asap ini sejak lama telah menjadi isu diplomatik penting. Sehingga, Pemerintah seharusnya menindak tegas korporasi yang terlibat kejahatan karhutla, termasuk jika pelakunya adalah perusahaan asing,” pungkasnya.(boy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler