Fadli Zon Sebut Inpres Soal JKN Abaikan Aspek Keadilan

Senin, 28 Februari 2022 – 18:14 WIB
Fadli Zon menyoroti Inpres Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Ilustrasi. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Anggota DPR RI Fraksi Gerindra Fadli Zon menilai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diterbitkan tanpa memperhatikan prinsip kehati-hatian.

Fadli menyampaikan hal itu setelah aturan yang diteken pada 6 Januari tersebut menjadikan kepesertaan BPJS Kesehatan sebagai syarat wajib dalam mengurus sejumlah pelayanan publik.

BACA JUGA: Kaget soal Inpres JKN, Mufidah Nilai Banyak Cara Pacu Kepesertaan BPJS Kesehatan

Misalnya, kata Fadli, Inpres Nomor 1 Tahun 2022 diterbitkan dengan mengabaikan aspek keadilan hingga pelayanan publik.

"Menurut saya Inpres tersebut memang disusun sangat gegabah, karena mengabaikan banyak sekali aspek, mulai dari soal filosofi, keadilan, kepantasan serta prinsip pelayanan publik itu sendiri," kata dia di Twitter akun @fadlizon seperti dikutip, Senin (28/2).

BACA JUGA: Berupaya Optimalkan JKN, Kemendagri: Revitalisasi Puskesmas Jadi Kunci Penting

Fadli kemudian membeber beberapa catatan sehingga menganggap penerbitan Inpres tersebut tidak layak.

Pertama, kata dia, pelayanan kesehatan serta layanan publik lainnya yang sifatnya mendasar dasar ialah hak rakyat dan seharusnya dilindungi oleh negara.

BACA JUGA: Minyak Goreng Langka, Fadli Zon Sebut Alasan Pemerintah Segudang

Negara, kata mantan Ketua DPR RI itu, tak boleh memosisikan hak rakyat seolah-olah sebagai kewajiban. Terlebih lagi, hak rakyat dalam satu bidang kehidupan dijadikan penghalang. 

"Dari sudut filosofi layanan publik, ini jelas keliru," tutur Fadli.

Kedua, lanjut pria kelahiran Jakarta itu, Inpres kedudukannya tak bisa mengikat umum atau semua orang jika menilik sisi tata peraturan perundang-undangan.

Menurut Fadli, Inpres kedudukannya hanya bersifat mengikat ke dalam, yaitu ditujukan kepada para pejabat pemerintah di bawah Presiden RI. 

Selain itu, kata Ketua BKSAP DPR RI itu, Inpres juga seharusnya tidak memasukkan muatan bersifat terhadap masyarakat.

Sebab, kata Fadli, Presiden telah diberi kewenangan lain untuk menetapkan peraturan, yaitu berupa Peraturan Presiden. 

"Jika Inpres Nomor 1 Tahun 2022 kemudian diterjemahkan menjadi peraturan-peraturan baru terkait BPJS, hal itu bukan hanya menyalahi prinsip penyusunan peraturan perundang-undangan, tetapi bisa melangkahi kewenangan sebuah undang-undang," tutur dia.

Toh, kata Fadli, syarat administratif membuat SIM sudah diatur dalam Pasal 81 Ayat (3) UU Nomo 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 

"Syaratnya hanya KTP, mengisi formulir permohonan, dan rumus sidik jari. Menjadikan BPJS sebagai syarat baru, hanya dengan bekal Inpres, tak cukup punya dasar," tutur dia.

Alasan ketiga, kata Fadli, Inpres Nomor 1 Tahun 2022 bukan alat pemaksaan seseorang menjadi peserta BPJS Kesehatan. 

Sebab, kata dia, tugas pemerintah mencari tahu atau memahami kendala yang dihadapi masyarakat mengapa tak daftar BPJS. 

"Jangan sampai masyarakat jadi kian antipati terhadap BPJS Kesehatan," beber dia.

Selanjutnya, kata Fadli, Inpres Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program JKN sangat tak adil bagi masyarakat. 

Di satu sisi masyarakat dipaksa menjadi peserta BPJS Kesehatan. Namun, sistem dan manfaat pelayanan BPJS Kesehatan masih kerap berubah-ubah.

Presiden Jokowi pada Oktober 2019 lalu pernah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 yang mengatur kenaikan iuran BPJS.

Kelas I dari semula Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu per bulan. Kelas II dari semula Rp51 ribu menjadi Rp 110 ribu per bulan. Kelas III dari semula Rp 25,5 ribu menjadi Rp 42 ribu per bulan.

Namun, kata Fadli, Jokowi pada April 2020 menyatakan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tidak berlaku. 

Kemudian besaran iuran BPJS Kesehatan kembali menjadi seperti yang diatur oleh Perpres Nomor 82 Tahun 2018, yaitu tarif sebelum kenaikan itu terjadi.

Namun, kata Fadli, Presiden Jokowi pada Mei 2020 kembali mengeluarkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 yang merevisi kembali iuran BPJS Kesehatan yang berlaku mulai 1 Juli 2020.

Ketika itu, iuran BPJS Kesehatan untuk Kelas I ditetapkan jadi Rp 150 ribu, Kelas II Rp 100 ribu, dan Kelas III Rp 42 ribu.

"Bongkar pasang regulasi hanya dalam hitungan bulan semacam itu tentu saja sangat membingungkan para peserta BPJS," timpal Fadli.(ast/jpnn)


Redaktur : Friederich
Reporter : Aristo Setiawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler