jpnn.com, JAKARTA - Anggota DPR Fraksi Partai Gerindra Fadli Zon prihatin menonton pidato kemarahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi di hadapan para menteri dan beberapa pimpinan lembaga tinggi negara.
Menurut dia, kemarahan itu disampaikan pada pembukaan sidang kabinet paripurna di Istana Negara, 18 Juni 2020, tetapi rekamannya baru diunggah Sekretariat Presiden 28 Juni 2020.
BACA JUGA: Ini 4 Momen Presiden Jokowi Marah dalam Rapat, Nomor Tiga Puncaknya
Dia menegaskan ada dua sumber keprihatinannya. Pertama, sebagai pemimpin, presiden seharusnya mengerti bahwa adab seorang pemimpin adalah bertanggung jawab atas kesalahan anak buahnya.
"Dengan mengumbar pidato marah-marah tersebut, Presiden bukan hanya telah mempermalukan anak buahnya, tapi juga sedang mempermalukan dirinya sendiri sebagai pemimpin," twit Fadli melalui akun @fadlizon di Twitter, Selasa (30/6).
BACA JUGA: Gara-Gara Presiden Jokowi Marah, Yunarto Wijaya dan Fadli Zon jadi Seperti Ini
Menurut Fadli, kalau Jokowi menyebut menterinya tak becus bekerja, sementara presiden sendiri tidak melakukan langkah apa pun untuk menghentikan, atau memutus ketidakbecusan itu, bahkan sesudah lebih dari seminggu rapat kabinet tadi berlangsung, secara tak langsung presiden sedang menunjukkan ketidakcakapannya dalam memilih, mengelola, serta mengontrol kinerja para menterinya.
Apalagi, kata dia, sejak awal presiden sudah menegaskan tidak ada yang disebut visi misi menteri. Yang ada hanyalah visi misi Presiden.
BACA JUGA: Fadli Zon: BPIP Seharusnya Dibubarkan Saja
Artinya, tegas dia, semua menteri seharusnya berada di bawah pengawasan dan kendalinya.
Kedua, lanjut Fadli, masih terkait prinsip dasar kepemimpinan, mengkritik, menegur, atau memarahi anak buah di muka publik bukanlah sebuah tindakan yang patut.
Dia menyatakan bahwa pemimpin memang boleh menegur, bahkan hingga sekeras-kerasnya pada anak buah, atau memarahi mereka sekasar-kasarnya, tetapi semua itu seharusnya dilakukan di ruang tertutup.
Sebaliknya, kata Fadli, dalam urusan prestasi, jika anak buahnya cakap maka seorang pemimpin seharusnya memujinya di ruang terbuka.
Selain sebagai bentuk apresiasi, hal itu juga untuk mendongkrak wibawa kepemimpinannya.
Dengan kata lain, ujar Fadli, cara seorang pemimpin meninggikan dirinya sendiri adalah dengan meninggikan anak buahnya.
Sebaliknya, jika seorang pemimpin merendahkan anak buahnya, maka sebenarnya dia sedang merendahkan diri sendiri.
"Kenapa isu adab kepemimpinan ini perlu kita anggap penting, karena kunci utama menghadapi dan menangani krisis adalah kepemimpinan," jelasnya.
Fadli menyatakan seperti pernah disinggungnya beberapa waktu lalu dia setuju dengan pernyataan Jeffrey Sachs bahwa untuk menghadapi pandemi dan krisis yang mengikutinya, dibutuhkan sebuah kepemimpinan yang cakap, persoalan itu bukan hanya ada pada satu-dua orang menteri saja, namun melekat pada seluruh pemerintahannya.
"Sebab, dengan ataupun tanpa Covid-19, sejak awal pemerintahan ini selalu menyangkal bakal datangnya krisis," kata mantan wakil ketua DPR ini.
"Bagaimana bisa memitigasi krisis, jika posisi Pemerintah selalu menyangkal potensi dan ancaman krisis? Mari kita lihat buktinya," tambahnya.
Pertama, Fadli menilai pemerintah lambat merespons krisis. Saat kasus pertama Covid-19 diakui pemerintah untuk pertama kalinya pada awal Maret lalu, presiden menolak menerapkan status darurat nasional.
Padahal, sejak 10 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyurati presiden agar menetapkan status darurat nasional.
Rekomendasi status darurat nasional itu bukan hal yang mengada-ada, sebab WHO sendiri sudah menetapkan status darurat global untuk menghadapi Covid-19.
Dia menambahkan ketika Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan sejumlah kepala daerah lain mengutarakan inisiatif melakukan ‘lockdown’ wilayah untuk mencegah terjadinya penularan, pemerintah mementahkan usulan tersebut.
Padahal kebijakan “lockdown” dimungkinkan oleh UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. "Bukannya mendukung, pemerintah pusat malah mengganjal usulan-usulan tersebut," ungkap ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen ini.
Bayangkan, kata Fadli, ekspose kasus pertama terjadi awal Maret. Namun, kebijakan pertama mengatasi pandemi sebagaimana yang dipandu UU Karantina Kesehatan baru diambil pemerintah pertengahan April 2020, berupa PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).
"Ada jeda satu setengah bulan," tegasnya.
Jadi, dia menegaskan, kalau baru marah-marah soal ‘sense of crises’ di akhir Juni, justru presiden yang tak peka dengan keadaan.
Kedua, lanjut Fadli, organisasi kerja dalam mengatasi krisis ini tidak jelas. Menurutnya, ini adalah bencana nasional kesehatan.
"Namun kita tak melihat di mana Menteri Kesehatan (Terawan Agus Putranto, red) sejak pandemi ini ditetapkan sebagai bencana nasional?" katanya.
Dia juga tidak melihat ada anggota kabinet yang diberi tanggung jawab jelas dalam organisasi kerja penanganan pandemi.
"Semua menteri memang dimasukkan dalam struktur Dewan Pengarah, tetapi struktur semacam itu kan hanya pajangan," jelasnya.
Fadli mengatakan jika pemerintah menganggap pandemi ini serius, presiden seharusnya menunjuk salah seorang menterinya sebagai penanggung jawab tim.
Apalagi, tim ini harus mengoordinasikan gubernur, pangdam, kapolda, bupati, wali kota, dandim, danrem, atau kapolres, maka butuh seorang dengan jabatan setingkat menteri agar koordinasi bisa jalan.
"Kasihan sekali Letjen Doni Monardo berjibaku di lapangan, tanpa bekal back-up kekuasaan yang cukup di pundaknya," pungkas Fadli. (boy/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Boy