Fahri Hamzah Curiga Ada Amplop Cap Jempol di Daerah Lain

Kamis, 04 April 2019 – 13:36 WIB
Fahri Hamzah. Foto: Humas DPR for JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - KPK menemukan ada cap jempol pada 400 ribu amplop yang diduga akan digunakan anggota Komisi V DPR Bowo Sidik Pangarso untuk melalukan serangan fajar Pemilu 2019. Hanya saja, KPK enggan membeber detail dan maksud cap jempol di amplop hasil operasi tangkap tangan terhadap politikus Partai Golkar itu.

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan, KPK harus bekerja sama dengan Badan Pengawas Pemilu untuk menginvestigasi persoalan ini. "Nah, itu nanti jadi tugas dari Bawaslu untuk menginvestigasi. Harusnya KPK bekerja sama dengan Bawaslu sekarang," kata Fahri di gedung DPR, Jakarta, Kamis (4/4).

BACA JUGA: Respons Fahri Hamzah Soal Luhut Bagi Amplop ke Kiai

Politikus asal Nusa Tenggara Barat itu mengatakan, modus seperti ini sebenarnya mudah dilacak. Tinggal bagaimana kemauan dari aparat berwenang, seperti Bawaslu dan KPK.

"Maka Bawaslu harus mengambil langkah cepat supaya paling tidak ini cukup menjadi satu peristiwa, yang tidak ada peristiwa lainnya," katanya.

BACA JUGA: Kasus Amplop Bercap Jempol, Johnny: Tidak Ada Instruksi

BACA JUGA: Misteri Cap Jempol di 400 Ribu Amplop Serangan Fajar Pak Bowo

Menurut Fahri, dugaan serangan fajar menggunakan amplop berisi uang dan bertanda cap jempol, itu tentu mengundang pertanyaan di publik. "Ini kan yang tertangkap (saja), jangan-jangan amplop begitu banyak di tempat lain," ungkap Fahri.

BACA JUGA: Misteri Cap Jempol di 400 Ribu Amplop Serangan Fajar Pak Bowo

Dia pun heran KPK yang mengumumkan dugaan uang suap Bowo untuk serangan fajar dan ada cap jempol, kemudian meminta tidak dikaitkan dengan politik. "Lah bagaimana, orang KPK yang mengumumkan begitu, kok," tegasnya.

Dia menegaskan rencana serangan fajar itu politik, bukan amal jariyah, atau urusan untuk yatim piatu. "Ini politik, ya harus di diteruskan, jangan kemudian kelihatan ngerem begitu," paparnya.

Fahri menilai KPK sepertinya mau ngerem setelah melempar pernyataan. Dia lantas membandingkan dengan kasus pengakuan mantan oknum kapolsek disuruh kapolres mendukung paslon 01, Joko Widodo - KH Ma'ruf Amin, yang tiba-tiba berubah, mengaku berbohong, tetapi tidak dihukum.

"Jadi sepertinya banyak aparat ini, ada polisi yang mengaku habis itu mengerem, KPK menangkap rencana serangan fajar, ngerem," ungkapnya.

Menurut Fahri, sikap mengerem begini membuat publik menjadi ragu, benar tidak aparat bekerja dengan independensi. "Jangan-jangan gampang ditekan juga. Kalau ngerem-ngerem ya itu yang jelek," katanya.

Lebih lanjut Fahri menilai kasus Bowo yang diungkap KPK itu merupakan contoh dugaan korupsi politik. Dia menegaskan obatnya adalah keuangan politik. "Rencana money politik, peristiwa korupsi politik, semuanya itu obatnya adalah keuangan politik," katanya.

Dia menyatakan, kalau mau dituntaskan, maka caranya adalah membuat kedisiplinan pengaturan keuangan partai politik terutama bagi incumbent yang mau berkampanye lagi. "Di Indonesia ini kan orang cari sendiri, akhirnya mencarinya dengan cara begitu karena tidak diatur," katanya.

Fahri berharap kasus Bowo ini adalah yang terakhir, di tengah rezim yang pengawasan BUMN-nya paling lemah. Saat Pansus Pelindo II merekomendasikan mengganti Menteri BUMN Rini Soemarno, DPR sebenarnya sudah meminta Presiden Joko Widodo alias Jokowi mencopot yang bersangkutan. Hanya saja, Presiden Jokowi tidak mau mengganti Rini. Konsekuensinya, Rini dilarang ikut rapat di DPR.

"Nah presiden tidak mengganti, tetapi yang bersangkutan tidak lagi jadi datang ke DPR, yang artinya dia tidak diawasi. Itulah saya kira awal mula dari masalah di BUMN kita itu," pungkas Fahri.

Sebelumnya, Juru Bicara KPK Febri Diansyah membenarkan ada cap jempol pada amplop yang disita saat OTT Bowo.

BACA JUGA: Kasus Amplop Bercap Jempol, Johnny: Tidak Ada Instruksi

"Tidak ada nomor urut, yang ada adalah cap jempol di amplop tersebut," ungkap Febri, Selasa (2/4) di kantor KPK.

Menurut dia, lambang cap jempol ditemukan pada tiga kardus yang telah dibuka KPK. Sebelumnya, KPK menyita 82 kardus dua kontainer plastik berisi amplop.

KPK menyangka Bowo menerima suap dari Marketing Manager PT Humpuss Transportasi Kimia Asty Winasti, agar membantu PT HTK dipilih sebagai penyedia jasa pengangkutan pupuk milik PT Pupuk Indonesia Logistik.

Total uang yang diduga diterima Bowo Sidik Pangarso dari Asty sebanyak Rp 221 juta dan US$ 85.130. KPK menduga Bowo menerima uang tak cuma dari PT HTK, namun juga dari sumber lain. (boy/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kode Cap Jempol di Amplop Serangan Fajar Bowo, Sandiaga: Mestinya Buat Petani


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler