jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah kembali berkomentar keras untuk merespons operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Fahri menuliskan sederet cuitan di Twitter dengan tagar #TerTipuOTT setelah KPK kembali menggelar OTT transaksi suap yang menyeret Wali Kota Cilegon Tb Iman Aryadi.
“Makin hari saya temukan bahwa #OTTKPK adalah skandal menipu rakyat paling besar di Indonesia,” ujar Fahri melalui akun @Fahrihamzah di Twitter, Minggu (24/9).
BACA JUGA: Nazaruddin jadi Justice Collaborator, Noda Merah Untuk KPK
Menurutnya, OTT oleh KPK merupakan tindakan ilegal karena bertentangan dengan ketentuan undang-undang dan hukum di Indonesia. Legislator asal Nusa Tenggara Barat (NTB) itu menyebut ada upaya membangun mitos tentang KPK. “Termasuk oleh para cendekiawan yang karakternya lemah,” tegasnya.
Fahri meminta kepada para cendekiawan tidak ikut-ikutan menipu rakyat Indonesia dengan membangun mitos tentang KPK. “Kebohongan #OTTKPK harus diungkap.#TerTipuOTT,” lanjutnya.
BACA JUGA: Wali Kota Cilegon Kena OTT, Golkar Merasa jadi Target KPK
Karena itu Fahri sejak pagi tadi menyisir ketentuan di undang-undang yang menjadi dasar bagi KPK untuk melakukan OTT. Menurut Fahri, istilah OTT tidak ada sama sekali dalam berbagai dokumen hukum dan undang-undang di Indonesia.
Menurutnya, kata ‘tertangkap tangan’ hanya ada dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sedangkan definisi tertangkap tangan menurut KUHAP adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.
Adapun dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), sambung Fahri, tidak mengandung kata ‘tertangkap ataupun ‘tangkap’, melainkan ‘penangkapan’ dengan merujuk Pasal 1 angka 20 KUHAP. Karena itu Fahri mempersoalkan pelaksanaan OTT maupun dasar hukumnya.
“Bagaimana disebut ‘tertangkap’ padahal diintai berbulan-bulan dan menyimpang dari makna asal.#TerTipuOTT,” sambung Fahri.
Lebih lanjut Fahri menuturkan, penyadapan pun tidak ada dasarnya. Sebab, harusnya tata cara penyadapan diatur dengan undang-undang.
“Sehingga patut diduga bahwa tindakan penyadapan yang dilakukan KPK motifnya bukan penegakan hukum tetap operasi politik.#TerTipuOTT,” tegasnya.(ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KPK Gelar OTT di Cilegon, Begini Kronologisnya
Redaktur & Reporter : Antoni