Fajar Hasan: Pengusaha Bersama Pemerintah Siap Hadapi Uni Eropa dan WTO

Selasa, 29 November 2022 – 06:19 WIB
Pengurus Pusat Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) sekaligus pengusaha muda asal Sulawesi Tenggara Fajar Hasan. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com, JAKARTA - Putusan panel WTO menghendaki agar pemerintah Indonesia membuka kembali keran ekspor nikel, yang disengketakan oleh Uni Eropa di Badan Penyelesaian Sengketa atau Dispute Settlement Body (DSB) World Trade Organization (WTO).

Menanggapi hal tersebut, Pengurus Pusat Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Fajar Hasan mengatakan putusan WTO tersebut harus dilawan.

BACA JUGA: Inkrispena Sebut Naiknya Status Industri Nikel Tak Berpengaruh bagi Warga Lokal

Pasalnya, putusan WTO tersebut berpotensi mengganggu program hilirisasi pengelolaan sumber daya alam yang sedang berjalan khususnya nikel.

“Putusan panel WTO menghendaki pemerintah Indonesia membuka kembali keran ekspor nikel berpotensi dapat mengganggu program hilirisasi pengelolaan sumber daya alam di Indonesia,” kata pengusaha muda asal Sulawesi Tenggara, Senin (28/112).

BACA JUGA: Siap Terima Investor, Presiden Promosikan Potensi Nikel kepada Australia

Menurut Fajar Hasan, manfaat hilirisasi telah dirasakan oleh rakyat. Efek nilai tambahnya menggerakan pertumbuhan ekonomi khususnya bagi daerah yang memiliki bentangan sumber daya alam melimpah.

Dia mencontohkan, pembangunan smelter nikel di daerah, menyerap tenaga kerja dan pendapatan negara/daerah menjadi meningkat. 

BACA JUGA: IEA Sebut Industri Nikel Indonesia Memiliki Masa Depan Sangat Cerah

“Ini fakta statistik dan empirik  bahwa program hilirisasi harus berlanjut, tidak boleh terhenti hanya karena tekanan Uni Eropa dan WTO,” ungkap Fajar Hasan.

Lebih lajut, Wakil Bendahara Umum ICMI Pusat ini mengatakan kebijakan hilirisasi pengelolaan nikel di dalam negeri merupakan kebijakan nasional.

Tujuannya, kata dia, untuk melindungi sumber daya alam agar pengelolaan dan pemanfatannya untuk kepentingan dalam negeri.

Dia mengingatkan negara lain atau badan dunia tidak boleh mengintervensi kebijakan nasional negara lain.

Jika hal itu dilakukan, kata dia, secara tegas dapat kita katakan bahwa Uni Eropa dan WTO telah mencampuri urusan dalam negeri kita, mengganggu kedaulatan hukum Indonesia.

“Uni Eropa dan WTO harus menghormati rambu-rambu diplomatik dan yuridiksi suatu negara sebagai prinsip dasar hubungan antarnegara atau badan-badan internasional. Oleh karena itu, kami dukung pemerintah untuk melakukan banding atas putusan WTO tersebut," tegas Fajar Hasan.

Komisaris Utama PT Tetap Merah Putih ini mengatakan saat ini total existing smelter berdasarkan data Kementerian Peridustrian sebanyak 82 smelter, dengan rincian 35 sudah beroperasi, 30 tahap konstruksi, dan 17 tahap Feasibility Study, mayoritas berada di Sulawesi dan Maluku Utara.

Smelter tersebut menyerap tenaga kerja sekitar 200 ribu orang yang tersebar di 15 Provinsi. Selanjutnya, smelter tersebut merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan telah ditetapkan sebagai kawasan Objek Vital Nasional Indonesia (OVNI).

“Ini adalah bukti kesungguhan pemerintah dalam program hilirisasi pengelolaan sumber daya alam. Bahan baku nikel smelter tersebut dari dalam negeri, dipasok oleh penguasaha lokal,” ujar Fajar.

Jika keran ekspor nikel dibuka, kata dia, dapat dipastikan smelter dalam negeri akan kekurangan pasokan bahan baku, dan pembangunan smelter akan tersendat.

Sebab, ada opsi bagi pengusaha untuk melakukan ekspor bahan baku. Ketika smelter berhenti, ekonomi lokal akan mengalami turbulensi, ratusan ribu orang akan kehilangan pekerjaan,” ucapnya.

Berikutnya, menurut Pengurus Badan Hubungan Legislatif Kadin Indonesia ini, dalam rangkaian pertemuan G20 baru-baru ini di Bali, beberapa pengusaha nasional kita, telah melakukan penandatanganan MoU dengan investor terkait pembangunan smelter pabrik baterai di Sulawesi disaksikan oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM.

Dia menilai pertanda investor makin percaya dengan kebijakan nasional hilirisasi pengelolaan sumber alam.

"Momentum ini harus kita jaga bersama, melalui komitmen dukungan pengusaha terhadap setiap kebijakan pemerintah terkait dengan pengelolaan sumber daya alam," kata Fajar Hasan.

Fajar Hasan mengatakan pada pertemuan puncak G20, menghasilkan Deklarasi Bali, salah satu konsensus negara-negara anggota adalah komitmen bersama untuk beralih dari energi fosil ke energi listrik.

Menurut Fajar, pembangunan smelter nikel bertujuan menghasilkan baterai litium untuk kendaraan  listrik. Hal tersebut sejalan dengan agenda global untuk mengurangi penggunaan bahan bakar minyak fosil, nantinya secara bertahap, dunia akan beralih ke energi listrik.

“Semestinya, WTO mendengar dan mempertimbangkan suara pemerintah Indonesia bahwa pembatasan atau pelarangan ekspor nikel terkait dengan kepentingan nasional Indonesia, untuk mendukung program hilirisasi pengelolaan sumber daya alam secara optimal di dalam negeri," ujar Fajar.

Dia mengungkapkan hilirisasi juga terkait dengan komitmen Indonesia terhadap agenda global bahwa perlunya transisi energi dengan menciptakan baterai litium untuk kendaraan listrik melalui smelter nikel di dalam negeri.

Hal ini bertujuan untuk mengurangi konsumsi energi fosil secara global guna mencegah pemanasan global atau climate change.

“Indonesia negara berdaulat, kita berhak menentukan nasib kita sendiri. Tidak bisa didikte oleh siapapun. Indonesia anggota G20, bahwa kita salah satu raksasa ekonomi dunia, kita akan tunjukan kepada WTO," tegas Fajar Hasan.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler