Faktor-Faktor Penghambat Industri Mebel

Senin, 05 Juni 2017 – 13:24 WIB
Ilustrasi mebel. Foto; Radar Semarang/JPNN

jpnn.com, SURABAYA - Ekspor produk mebel dan kerajinan tahun ini diprediksi masih belum bergairah.

Ketua Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Jawa Timur Nur Cahyudi menyatakan, tahun lalu pertumbuhannya hanya 6,8 persen.

BACA JUGA: Regulasi Pemerintah Bikin Industri Mebel Menjerit

Capaian tersebut masih jauh dari target yang dipatok, yakni 16 persen.

Secara nasional, nilai ekspor industri mebel memang drop. Pada 2015 nilainya mencapai USD 1,9 miliar dan pada 2016 menjadi USD 1,6 miliar USD.

BACA JUGA: Ekspor Anjlok, Industri Mebel Tuntut Pemangkasan Aturan

Hingga akhir Maret 2017, ekspor mebel Jatim masih sekitar USD 500 juta.

Angka tersebut naik jika dibandingkan dengan realisasi periode yang sama tahun lalu sekitar USD 473 juta.

BACA JUGA: Industri Mebel Minta Peremajaan Alat dan Diskon Pajak

”Tetapi, naiknya enggak begitu banyak,” kata Nur akhir pekan kemarin.

Jawa Timur saat ini telah berkontribusi sebesar 40 pesen dari total ekspor mebel dan kerajinan secara nasional.

Pangsa itu merosot daripada tahun sebelumnya yang mencapai 60 persen.

”Kira-kira sampai akhir tahun ini untuk nilai ekspor sepertinya tidak jauh beda dengan tahun lalu,” ujarnya.

Menurut Nur, hal tersebut terjadi karena masih banyak kendala yang seharusnya sudah beres pada 2016.

Namun, hingga saat ini, masih belum ada perubahan yang cukup signifikan.

Sejumlah kebijakan pun dinilai cukup menghambat industri mebel, terutama ekspor sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) yang sangat rumit.

Ada juga pythosanitery atau sertifikat kesehatan tumbuhan.

Selain itu, ada hambatan terkait dengan perubahan harmonized system (HS) sepuluh menjadi delapan digit, penerbitan pemberitahuan ekspor barang (PEB) untuk partial container shipping (combine shipping), dan lamanya perizinan untuk impor bahan baku/kayu yang tidak ada di Indonesia.

Ada pula masalah biaya verifikasi ekspor produk rotan yang mencapai Rp 900 ribu per kontainer.

”Hal-hal tersebut membuat daya saing kita lemah. Sebab, banyak biaya yang harus dikeluarkan pengusaha sehingga produk mebel kita tidak bisa dijual murah,” kata Nur.

Berdasar data dari HIMKI Jatim, sebagian besar ekspor mebel selama ini menuju Amerika Serikat dengan kontribusi sekitar 50 persen.

Kemudian, disusul ekspor ke negara-negara Eropa sekitar 30 persen. Sisanya adalah kawasan ASEAN.

Di pasar Asia Tenggara, produk mebel Indonesia masih bersaing ketat, terutama dengan Vietnam.

”Sebab, di Vietnam energi lebih murah. Pajak juga murah. Pemerintahnya pun sangat support. Sementara itu, kita masih disibukkan oleh kebijakan yang justru mendistorsi iklim usaha di sektor ini,’’ tuturnya. (car/c20/sof)


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler