jpnn.com - SURABAYA - Penyerapan pasar domestik hingga Mei lalu menurun sepuluh persen jika dibandingkan dengan bulan yang sama pada 2015 lalu. Hal itu berdasarkan data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API).
Ketua API Ade Sudrajat menilai kenaikan harga bahan pangan yang cukup tinggi membuat masyarakat mengesampingkan kebutuhan sandang.
BACA JUGA: Mampukah Tax Amnesty Hadirkan Rp 165 Triliun?
’’Untuk kinerja (pasar, Red), domestik tahun ini lebih buruk daripada tahun lalu. Kami khawatir jika penyebabnya adalah harga pangan yang naik terlalu tajam atau daya beli masyarakat yang memang rendah,’’ katanya.
Untung, pasar ekspor tidak ikut turun. Pada periode Januari–April, nilai ekspor tekstil dan produk tekstil mencapai USD 3,96 miliar. Angka itu relatif stagnan jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu.
BACA JUGA: Ini Strategi Utama Daihatsu Dongkrak Penjualan
Sementara itu, nilai total ekspor mencapai USD 12,28 miliar. Kinerja ekspor tekstil Indonesia stagnan karena kalah bersaing dengan Vietnam yang mencatat nilai ekspor USD 30 miliar pada kuartal pertama tahun ini.
’’Kondisi ini seharusnya membuat pemerintah berbenah agar industri tekstil bisa memiliki daya saing global,’’ ungkap Ade.
BACA JUGA: PLN Perlu Adopsi FSRU sebagai Sumber Energi Listrik
Amerika Serikat masih menjadi pasar utama ekspor produk tekstil Indonesia. Kontribusinya mencapai 36 persen, lalu disusul Uni Eropa dengan 14 persen. Ekspor tekstil ke Uni Eropa turun jika dibandingkan dengan tahun lalu yang mencapai 20 persen.
Alasannya, Uni Eropa memberikan fasilitas pembebasan bea masuk kepada negara-negara yang tertinggal (sistem preferensi general). Misalnya, Myanmar, Bangladesh, atau Vietnam.
Amerika Serikat juga memberikan pembebasan bea masuk kepada Vietnam karena Negara Paman Ho masuk kemitraan Trans-Pacific Partnership. ’’Rata-rata selisih bea masuk antara Indonesia ke UE dengan negara-negara tersebut bisa mencapai 17 persen,’’ ucapnya.
Faktor lain yang mengakibatkan kinerja ekspor industri tekstil tergilas Vietnam adalah tingginya harga listrik di Indonesia. Tarif listrik di Vietnam hanya USD 6 sen per kWh atau setengah tarif listrik industri di Indonesia.
Padahal, energi berkontribusi 20 persen terhadap total biaya produksi industri tekstil. Selain itu, jam kerja yang menjadi salah satu ukuran produktivitas di Vietnam lebih tinggi 20 persen daripada di Indonesia.
Pekerja industri tekstil di Vietnam rata-rata bekerja 48 jam dalam sepekan. Sedangkan jam kerja di Indonesia rata-rata 40 jam dalam seminggu. (vir/jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengamat: Jangan Sembarangan Tuding Telkomsel Monopoli
Redaktur : Tim Redaksi