jpnn.com, JAKARTA - Tokoh struktural Nahdlatul Ulama (NU) yang masuk dunia politik sudah banyak. Namun, mereka yang memilih PDIP sebagai rumah politik relatif masih bisa dihitung dengan jari. Falah Amru di antara yang sedikit itu.
Laporan Dian Wahyudi, Jakarta
BACA JUGA: Ganjar Pranowo Lega Akhirnya Tuntaskan Kuliah S2
SENIN 20 Oktober 2014, tangan Ketua Umum Tanfidziyah PB NU KH Said Aqil Siradj dan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri akhirnya saling menjabat. Senyum di antara keduanya pun merekah saat itu. Kekakuan yang disebabkan perbedaan dukungan pada saat pemilihan umum presiden (pilpres) lalu sudah tak tampak lagi.
Pada Pilpres 2014 keduanya berada di dua kubu berbeda. Said Aqil secara pribadi mendukung capres Prabowo Subianto, sedangkan Mega tentu saja berada di barisan utama penyokong capres Joko Widodo.
BACA JUGA: Cerita Para Santri Darul Akhfiya Nganjuk yang Digerebek Polisi
Forum pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla di kompleks parlemen pada 20 Oktober lalu telah mempertemukan kembali dua undangan VIP itu di acara kenegaraan tersebut. Namun, dua tokoh yang sudah lama saling kenal itu tidak bertemu sendiri. Tidak berjarak jauh dari keduanya, berdiri Wakil Bendahara Umum PB NU Falah Amru. Tokoh muda yang juga baru saja dilantik sebagai anggota DPR dari PDIP itulah yang berada di balik pertemuan tersebut. Dia yang mengajak Said untuk sekadar bertegur sapa dengan Mega.
Meski baru terpilih pada periode 2014–2019, Falah sesungguhnya bukan orang baru di PDIP. Sejak 2007 pria kelahiran Ponorogo, 27 Januari 1975, itu sudah ikut menggawangi Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi). Hingga saat ini dia masih duduk sebagai salah seorang ketua di organisasi sayap yang dimiliki partai berlambang banteng dengan moncong putih tersebut. Pada Pemilu 2009 dia juga sempat maju sebagai calon anggota legislatif dari PDIP. Meski ketika itu nasib baik belum berpihak kepadanya.
BACA JUGA: PB NU Larang Nahdliyin Masuk FPI
Persinggungan Falah dengan kalangan nasionalis mulai intens sejak masuk bangku kuliah. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar hingga menengah atas di Ponorogo, dia bertolak ke ibu kota dan memilih kuliah di Universitas Nasional (Unas) Jakarta. ”Pertimbangan saya waktu itu simpel, saya memilih Unas karena kampus ini dikenal tukang demo,” kenang Falah sembari tersenyum.
Sambil bergelut di dunia aktivis mahasiswa, Falah mulai banyak mengakrabi buku-buku kalangan nasionalis. Tak terkecuali buku fenomenal Di Bawah Bendera Revolusi tulisan Presiden Pertama RI Soekarno. Lulus kuliah, dia mulai merintis bisnis tanpa meninggalkan dunia aktivis. Lingkungan aktivis dari kalangan nasionalis masih lebih banyak mewarnai perjalanannya saat itu. Termasuk aktivitasnya di The President Watch.
LSM tersebut, pada sekitar 2001–2002, termasuk yang ikut mendukung menjatuhkan Presiden Keempat RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). ”Lucu juga sih,saya yang tumbuh dan berkembang dari lingkungan ’kaum sarungan’ justru ikut terlibat menjatuhkan presiden dari kalangan NU sendiri,” beber pengusaha di bidang farmasi dan pertambangan nikel tersebut.
Falah menyatakan, sebagai warga NU, dirinya tentu sangat hormat kepada Gus Dur secara personal. ”Tapi, saya yakin almarhum (Gus Dur) akan bisa sangat memahami pilihan dan sikap politik yang saya ambil waktu itu. Jelek-jelek saya juga banyak belajar tentang bagaimana menghargai perbedaan dari beliau,” imbuh putra mantan politikus PPP dan PKB Amru Al Mu’tasyim tersebut.
Kedekatan Falah dengan PDIP semakin intens mulai sekitar 2003. Yaitu ketika dirinya ikut terlibat dalam forum-forum diskusi aktivis-aktivis muda yang diwadahi mendiang Taufiq Kiemas, tokoh senior PDIP yang juga suami Megawati. ”Beliau yang membuat saya makin dekat ke PDIP,” ungkapnya.
Pada tahun yang sama pula, mulai tumbuh kembali kesadaran dalam diri Falah bahwa dirinya tidak boleh melupakan akar sejarahnya. Sembari terus terlibat dalam gerakan-gerakan sosial politik bersama kalangan nasionalis, dia juga mulai kembali menceburkan diri ke NU. Pilihannya saat itu adalah aktif di Ikatan Putra Nahdlatul Ulama (IPNU). Pada 2003 dia kemudian dipercaya duduk sebagai wakil bendahara PP IPNU, di era kepemimpinan Abdullah Azwar Anas yang kini menjabat bupati Banyuwangi, Jawa Timur.
”Kembali ngawulo ke NU. Meski untuk IPNU ini sebenarnya juga bukan organisasi baru bagi saya. Ketika SMP dan SMA saya sudah masuk di IPNU Cabang Ponorogo,” ungkapnya.
Dua wilayah pergerakan tersebut hingga saat ini masih dilakoninya. Secara politik dia menjadikan PDIP sebagai rumah politik. Namun, pada saat bersamaan, NU tetap pula dijadikan pilihan mengabdi dalam ranah kemasyarakatan.
Menurut Falah, dua dunia tersebut bisa dijalani secara bersamaan, mengingat NU dan PDIP memiliki satu titik temu. Basis massa keduanya adalah sama-sama kalangan bawah. ”Yang diperjuangkan dan yang diurus sama. Bedanya, kalau di NU pakai istilah mustadh’afin, tapi kalau di PDIP pakai wong cilik, itu saja,” katanya sambil tersenyum lagi.
Falah mengakui, aktivitasnya di NU ikut memberikan sumbangsih luar biasa dalam karir politiknya. Salah satunya keberhasilannya duduk di Senayan pada periode ini. Maju dari dapil Jatim 10 (Lamongan-Gresik), pesaing dari internal cukup berat pada pemilu legislatif 9 April lalu.
”Inilah yang mungkin banyak disebut sebagai barokahnya NU. Selain dukungan sejumlah pihak yang luar biasa ketika itu, NU pula yang ikut mengantarkan saya hingga sampai di sini,” pungkas Falah. (*/c9/fat)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Permadi Minta Kapolri Kendalikan Anak Buah
Redaktur : Tim Redaksi