jpnn.com - Hijrah menjadi salah satu fenomena paling penting dalam sejarah perkembangan Islam.
Secara etimologi hijrah berarti berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain atau migrasi.
BACA JUGA: Majelis Sinergi Kalam ICMI Siap HijrahÂ
Akan tetapi, dalam sejarah Islam, hijrah tidak sekadar sebuah perpindahan fisik, namun perpindahan mental spiritual yang membawa nilai perubahan mendasar.
Karena tidak ada padanan yang tepat, bahasa Inggris langsung mengadopsinya menjadi ‘’hegira’’.
BACA JUGA: Wamenag Ajak Umat Islam Mengambil Hikmah dari Periswa Hijrah Nabi Muhammad
Di Indonesia, hijrah mempunyai konotasi perpindahan perilaku dari yang tidak rerligius menjadi religius.
Dari semula berislam secara nominal atau Islam KTP berpindah menjadi berislam secara kaffah atau komprehensif.
BACA JUGA: Kemenag: Tahun Baru Hijriah Tidak Berubah
Berbagai gerakan hijrah marak di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir.
Gerakan ini banyak terjadi di kalangan muslim perkotaan, terutama menyasar ke anak-anak muda milenial.
Berbagai macam jenis kajian keilmuan Islam bermunculan di berbagai tempat, mulai dari kampus, masjid, surau, samapai ke kafe-kafe.
Anak-anak muda itu menunjukkan semangat hijrah dengan mencari referensi kepada perilaku Rasulullah dan sahabat-sahabat pada generasi terdekat.
Kalangan yang kembali kepada tradisi Rasul dan generasi sahabat-sahabat terdekat ini secara umum disebut sebagai salafi, yang secara harfiah berarti ‘’masa lalu’’.
Gerakan ini meyakini bahwa generasi terbaik adalah generasi Rasulullah, kemudian generasi para sahabat pasca-Rasulullah, dan generasi pengikut atau ‘’tabi’in’’ pasca-sahabat.
Tiga generasi ini secara umum disebut sebagai generasi ‘’salaf’’ atau ‘’generasi terdahulu’’ yang menjadi acuan para praktiisi salafi modern sekarang ini.
Gerakan salafi menjadi fenomena muslim perkotaan paling menonjol yang diasosiasikan dengan gerakan Islam yang--secara serampangan--diasosiasikan dengan intoleransi dan radikalisme.
Inti dari gerakan salafi adalah kembali kepada ajaran original yang dipraktikkan oleh tiga generasi salaf itu.
Karena itu, hal-hal yang tidak dicontohkan oleh ketiga generasi itu dianggap sebagai inovasi agama atau bid’ah yang tidak boleh dipraktikkan.
Hijrah menandai suatu periode paling penting dalam sejarah perkembangan Islam.
Hijrah yang terjadi pada tahun 622 Masehi, adalah keputusan strategis terbaik yang pernah terjadi dalam sejarah umat manusia.
Dengan melakukan hijrah, Nabi Muhammad SAW berhasil melakukan konsolidasi internal di Madinah, kemudian memperkuat posisi politik dengan mengintegrasikan semua kekuatan sosial politik dalam perjanjian ‘’Piagam Madinah’’.
Dalam waktu sepuluh tahun periode Madinah, umat Islam muncul menjadi kekuatan politik regional yang solid, dan kemudian berhasil merebut kembali Kota Makkah tanpa ada peperangan fisik dan tidak ada korban jiwa.
Belum pernah dalam sejarah dunia terjadi penaklukan seperti penaklukan Makkah.
Kemenangan cemerlang ini menjadi puncak pencapaian prestasi Muhammad sebagai Rasulullah dan sekaligus politisi dan negarawan.
W. Montgomerry Watt (1953, 1956) menyebut Nabi Muhammad sebagai perpaduan antara utusan Tuhan dan seorang politisi-negarawan (prophet-statesman).
Era Makkah selama 13 tahun adalah periode perjuangan Muhammad saw sebagai rusul Allah.
Era Madinah selama 10 tahun adalah periode perjuangan Muhammad sebagai rasul cum negarawan.
Dua masa itu merentang selama 23 tahun, dan Muhammad berhasil menyatukan Arabia dengan keterampilan dakwah dan diplomasi politiknya yang canggih.
Para pengikut Muhammad SAW menempatkan hijrah sebagai tonggak penting yang menandai awal era baru yang dikukuhkan dalam bentuk kalender Islam.
Untuk menegaskan independensi politik Islam harus ada sistem kalender sendiri yang terpisah dari sistem kalender lain.
Sistem penanggalan Masehi dibuat berdasarkan tanggal kelahiran Nabi Isa.
Sistem ini dihitung secara astronomis mengikuti hitungan putaran matahari atau Syamsiah.
Umat Islam tidak mengikuti sistem ini, dan menciptakan sistem penanggalannya sendiri berdasarkan putaran astronomis bulan atau Qamariah.
Umat Islam ketika itu berunding untuk menentukan awal penanggalan Islam.
Muncul ide agar menjadikan tanggal kelahiran Muhamad SAW sebagai awal penanggalan, sebagaimana yang dilakukan umat Nasrani.
Umar bin Khattab yang menjadi khalifah ketika itu tidak menghendaki terjadinya kultus individu oleh umat Islam terhadap Muhammad.
Karena itu, ia memilih momentum hijrah sebagi titik tolak awal penanggalan Islam. Maka kalender Islam itu disebut sebagai kalender Hijriah.
Masa hijrah Muhammad SAW di Madinah hanya sepuluh tahun, relatif pendek untuk sebuah gerakan politik.
Akan tetapi, dalam masa singkat itu, Muhammad dengan cepat melakukan konsolidasi internal dengan memperkuat pondasi keimanan dan tatanan sosial kemasyarakatan.
Pada periode itu, Muhammad SAW harus mengintegrasikan para emigran, yang disebut sebagai <uhajirin, dengan penduduk asli yang disebut sebagai Anshar.
Integrasi sosial berlangusung dengan mulus, dan kedua kelompok ini bisa berasimilasi dan menyatu dengan cepat.
Wahyu Al-Qur’an yang turun pada periode Madinah mengatur tata cara hubungan sosial dan kemasyarakatan, termasuk tata cara politik dalam menghadapi musuh yang terdiri dari orang-orang kafir, musyrik, dan Yahudi.
Pada periode Makkah, ayat-ayat Al-Qur’an yang turun lebih banyak mengatur penguatan tauhid Islam, karena ketika itu umat Islam adalah minoritas yang tertindas.
Selama periode Madinah, Rasulullah mengatur dan mengikuti berbagai perang besar dan kecil.
Dua perang paling penting pada masa awal hijrah adalah Perang Badar dan Uhud.
Pada Perang Badar, pasukan muslim yang berjumlah 300 orang amatir dan bersenjata apa adanya bisa mengalahkan pasukan kafir Makkah yang berjumlah seribu orang dengan persenjataan lengkap.
Kemenangan Badar bukan sekadar kemenangan militer tetapi kemenangan moral.
Pasukan kafir membalas pada tahun ketiga hijriah dengan pasukan yang lebih besar.
Pada perang di Bukit Uhud, pasukan Islam bisa dipukul mundur dan menyebabkan jatuh korban yang sangat besar.
Rasulullah sangat terpukul oleh kekalahan ini dan melakukan konsolidasi dengan cepat.
Dalam 10 tahun masa pemerintahan Madinah, Rasulullah memimpin perang hampir setiap tahun.
Puncak prestasi militer Islam tercapai pada tahun ke-8 hijrah ketika pasukan Islam bisa masuk ke Makkah tanpa perlawanan.
Fatkhul Makkah, Pembebasan Makkah menjadi kemenangan puncak pasukan Islam.
Tidak ada pembunuhan besar-besaran sebagai balas dendam.
Sejarah tercatat hanya ada empat orang kafir yang terbunuh, itupun karena mereka dianggap berkhianat.
Semangat hijrah ini sekarang mengilhami kebangkitan gerakan Islam di Indonesia.
Gerakan hijrah di Indonesia sangat beragam dan tidak monolitik, sehingga tidak mudah digeneralisasi.
Gerakan hijrah menyebar dengan cepat dan luas karena para pendakwah hijrah lebih piawai memainkan teknologi informasi untuk kepentingan dakwah.
Muncullah generasi ustaz digital seperti Adi Hidayat, Khalid Basalamah, Hanan Attaki, Ustaz Abdul Somad, dan banyak lagi.
Mereka mempunyai follower jutaan jemaah dan ceramahnya diikuti dengan sangat antusias setiap saat.
Fenomena hijrah ini dianggap membawa bibit ekstremisme dan radikalisme, terutama karena ajaran pemurnian Islam yang sering tidak berkesesuaian dengan Islam tradisional yang lebih dulu mapan di Indonesia.
Gerakan Islam hijrah sering berbenturan dengan tradisi lokal seperti wayang dan kesenian tradisional. Beberapa gerakan hijrah juga mengharamkan musik dan hiburan.
Hal ini menimbulkan ancaman bagi kemapanan status quo.
Organisasi-organisasi Islam besar seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama juga sering merasa resah oleh aktivitas kelompok hijrah ini.
Kelompok hijrah dianggap anti-organisasi dan sering mendiskreditkan aktivitas organisasi seperti yang selama ini dilakukan oleh Muhammadiyah dan NU.
Inilah yang menjadi sumber ketegangan gerakan hijrah dengan organisasi Islam yang mapan.
Terjadi beberapa persekusi terhadap aktivis hijrah seperti yang dialami oleh Khalid Basalamah yang dianggap mengharamkan wayang.
Penolakan terhadap Ustaz Abdul Somad dan pencekalan terhadap Hanan Attaki di beberapa kabupaten di Jawa Timur, menjadi bukti adanya ketegangan antara gerakan hijrah dengan gerakan organisasi Islam yang sudah mapan.
Sebagai sebuah gerakan sosial-keagamaan yang mandiri pencekalan dan persekusi semacam itu tidak akan menyurutkan gerakan hijrah di Indonesia. Spirit ‘’Fatkhul Makkah’’ dan Perang Badar sampai sekarang masih tetap hidup di kalangan aktivis hijrah itu. (*)
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror