Fenomena Startup, Hendra Sebut Istilah Popcorn

Senin, 21 November 2022 – 18:59 WIB
Fenomena krisis yang dihadapi startup saat ini. Ilustrasi: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Tahun ini dunia dihebohkan dengan jatuhnya beberapa startups bervaluasi miliaran dolar yang berkategori Unicorn atau Decacorn, seperti Theranos, FTX, dan Terra Luna.

Belakangan diketahui kegagalan tiga startups tersebut bukan disebabkan oleh kegagalan kinerja bisnis melainkan adanya penipuan dan penggelapan dengan pelaku tidak lain para pendiri, serta tata kelola managemen startup yang buruk.

BACA JUGA: 2 Startup Ini Beri Kesempatan Mahasiswa Prasejahtera Kuliah Sambil Bekerja 

Pendiri Theranos, Elizabeth Holmes misalnya baru-baru ini dijatuhi hukuman lebih dari 11 tahun penjara karena terbukti menipu investor melalui startup alat tes kesehatan yang ternyata palsu.

Do Kwon, pendiri Terra Luna saat ini menjadi buronan Interpol dan Kejaksaan Amerika sedang menyelidiki Sam Bank-Fried sebagai pendiri FTX.

BACA JUGA: Startup Ini Gencar Melatih Digitalisasi Produk UMKM di Tanah Air

Analis investasi sekaligus Managing Partner Frans & Setiawan Law Office, Hendra Setiawan Boen menilai bahwa fenomena itu memperlihatkan ada startup bervaluasi miliaran dolar, tetapi hanya di atas kertas dan tidak mencerminkan nilai perusahaan startup yang sesungguhnya.

"Dari awal saya tidak setuju dengan sebutan Unicorn, Decacorn atau Hectocorn karena dapat menimbulkan asumsi di benak calon investor seolah-olah startup yang sudah menyandang gelar tersebut sudah pasti perusahaan besar yang sehat dari segi finansial," ujar Hendra dalam siaran resmi, Senin.

BACA JUGA: Startup Ini Gratiskan Tagihan Listrik 500 Masjid & Musala, Masyaallah

"Padahal valuasi miliaran dolar dihitung dari berapa komitmen investasi dari investor yang tidak jarang berupa utang dan wajib dibayarkan kembali berikut bunga.”

Hendra melanjutkan di Indonesia sendiri juga terdapat puluhan startup berkategori unicorn dan bahkan decacorn, tetapi sampai sekarang masih merugi menahun.

"Memang sebagian dari kerugian tersebut akibat inefisiensi para startup dalam mengelola keuangan dan dana investasi, misalnya seperti memberi gaji besar dan fasilitas mewah kepada para pekerja dengan tujuan branding atau jor-joran dalam membakar uang," dia melanjutkan.

Hendra menunjuk contoh GoTo sebagai perusahaan startup terbesar di Indonesia yang baru-baru ini melakukan PHK terhadap 1.300 pekerja.

“Startup Indonesia melakukan PHK dan bahkan tutup permanen sudah ada puluhan, tetapi GoTo istimewa. Sebelum IPO mereka sudah menyandang status decacorn. Pasca-IPO mereka meraup triliunan Rupiah baik dari pencatatan saham maupun investasi Telkomsel.”

“Bagaimana mungkin mereka masih bisa merugi? Apalagi seharusnya mereka memperoleh keuntungan besar dengan suasana pandemi beberapa tahun terakhir karena orang-orang tidak bisa keluar rumah sehingga harus mengandalkan jasa mereka seperti mengantar barang dan makanan. Buktinya mereka meraup pendapatan kotor Rp 16 triliun di kuartal III ini,” tanya Hendra.

Dugaan Hendra, PHK massal tersebut karena GoTo sedang melakukan efisiensi setelah bertahun-tahun melakukan praktek membakar uang secara berlebihan namun memakai kondisi ekonomi global sebagai dalih untuk sembunyikan alasan sebenarnya.

“Sepertinya kita harus menambah istilah baru untuk startup yang seolah bervaluasi miliaran, tetapi tidak sehat, yaitu popcorn."

"Popcorn itu dari luar putih, indah, dan memancing indra penciuman, tetapi di dalam berminyak dan banyak garam sehingga tidak sehat mengkonsumsi berlebihan,” ungkap Hendra. (rdo/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Detik-Detik Ibu Hamil Bikin Maling Motor Lari Tunggang-langgang


Redaktur & Reporter : M. Rasyid Ridha

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler