Ferdy Hasiman: Publik Perlu Mendukung KPK Tertibkan Penjualan Nikel Ilegal

Jumat, 07 Juli 2023 – 14:57 WIB
Peneliti Tambang dari Alpha Research Database, Indonesia Ferdy Hasiman. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com, JAKARTA - Peneliti Tambang dari Alpha Research Database, Indonesia Ferdy Hasiman mengatakan publik di tanah air perlu mendukung upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menertibkan pengolahan tambang nikel di tanah air, terlebih khusus praktik penjualan nikel ilegal.

“Itu sangat merugikan negara dan merusak rencana hilirisasi berupa pembangunan pabrik  smelter yang telah didorong pemerintahan Jokowi. Masa depan pengembangan pabrik smelter tergantung pada kekuatan produksi nikel di hulu,” ujar Ferdy Hasiman dalam keterangan tertulis pada Jumat (6/7).

BACA JUGA: Bola Panas Ekspor Nikel Ilegal, Mulyanto Minta Semua Pihak Diusut Tuntas

Menurut Ferdy, kebijakan hilirisasi di wilayah Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Halmahera sampai Maluku ini memiliki efek besar terhadap pembangunan di daerah-daerah itu.

Dengan hilirisasi, kata dia, investasi makin meningkat dan dengan sendirinya lapangan kerja bertambah dan mengurangi angka kemiskinan.

BACA JUGA: Ferdy Hasiman Berharap Indonesia Jadi Penentu Harga Timah Dunia

Menurut Ferdy, perusahaan-perusahaan yang masuk ke daerah juga membuat Pendapatan Asli Daerah (PAD) meningkat dan penerimaan negara dari pajak dan royalty bertambah.

Di Maluku Utara saja, kata dia, dengan kebijakan hilirisasi dan banyaknya perusahaan tambang yang membangun smelter, pendapatan daerah meningkat sebesar 27,2 persen dan menjadikan provinsi itu memiliki indeks kebahagiaan tertinggi.

BACA JUGA: Fraksi PKS Berpesan soal Ekspor Nikel, Tolong Jangan Mau Didikte IMF

“Jadi, hilirisasi mineral membuat daerah-daerah terisolasi di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan sampai Maluku dibuka dan pembangunan ekonomi daerah mulai mekar,” ujar Ferdy.

Ferdy mengingatkan penjualan nikel ilegal juga menghancurkan reputasi perusahaan-perusahaan tambang yang sudah menerapkan good mining Practice.

Di Halmahera dan Maluku, kata dia, banyak perusahaan menerapkan good mining practice, seperti Nusa Halmahera Mining, PT Aneka Tambang Tbk, Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIB) dan PT Halmahera Persada Lygend.

“Perusahaan-perusahaan besar di atas telah membangun pabrik smelter nikel, Aneka Tambang, sudah membangun pabrik smelter Feronikel di Halmahera berkapasitas 13.000 ton per tahun, Halmahera Persada telah resmi mebangun nikel sulfade dan IWIB telah membangun pabrik smelter nikel di atas 30.000 ton per tahun,” kata Ferdy.

Lebih lanjut, Ferdy mengatakan IWIB bahkan telah membangun Kawasan industri di Halmahera. Perusahaan-perusahaan yang telah membangun smelter adalah perusahaan yang sudah tertib menambang.

“Maka, kalau perusahaan-perusahaan ini mencoba melakukan ekspor nikel ilegal, itu sama dengan membunuh masa depannya sendiri,” ujar Ferdy.

Atas dasar itu, Ferdy mengaku tidak terlalu percaya ketika Ketua Satgas Koordinasi Supervisi Wilayah V KPK mencoba menyebut beberapa perusahaan nikel secara tidak langsung terlibat dalam praktik penjualan nikel ilegal.

“Penyebutan nama perusahaan tentu harus hati-hati. Apalagi yang menyebut itu adalah KPK. Implikasi sosial, politik sangat besar untuk perusahaan tersebut,” kata Ferdy mengingatkan.

Untuk itu,menurut Ferdy, jika belum terbukti benar bahwa sebuah perusahaan terlibat dalam praktik penjualan nikel ilegal, maka perlu berhati-hati. Sebab, akan berkaitan dengan reputasi dari perusahaan-perusahaan itu.

Perusahaan-perusahaan besar sedang membutuhkan ore (biji nikel) untuk dikelola di smelter mereka masing-masing. Hal itu karena produksi di IUP-IUP mereka (di hulu) tak mencukupi dengan kapasitas pabrik smelter yang besar.

Selain itu, produksi di pabrik smelter juga tak boleh berhenti karena kekurangan pasokan ore dari hulu.

“Saya mendengar informasi bahwa perusahaan-perusahaan besar ini malah mencari ore (biji nikel) untuk dikelola. Produksinya tak sepadan dengan kapasitas produksi. Tidak masuk akal kemudian mereka yang sudah bangun smelter dengan dana besar, malah menjual lagi nikel ke China. Apalagi itu penjualan ilegal. Itu kan membunuh masa depan mereka sendiri. Dengan itu, akal sehat saya mengatakan, tidak mungkin perusahaan-perusahaan besar itu melakukan penjualan nikel ilegal. Itu melanggar UU Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Mineral dan Batu Bara,” kata Ferdy.

Menurut Ferdy, UU Minerba mengamanatkan semua perusahaan tambang membangun pabrik smelter domestik dan tak boleh ekspor nikel lagi.

“Penyebutan nama perusahaan-perusahaan besar itu oleh KPK, boleh jadi tak terverifikasi dengan baik.  KPK sebagai Lembaga penegak hukum harus hati-hati mengeluarkan pernyataan karena pernyataannya memiliki berimplikasi besar bagi perusahaan,” ujar Ferdy.

Jika perusahaan itu benar, kata Ferdy, KPK harus memanggil perusahaan bersangkutan dan membuktikan bahwa data yang dikeluarkan itu benar.

“Penyebutan nama perusahaan ke publik boleh-boleh saja, sejauh sudah terbukti secara hukum. Jika masih dugaan, itu malah menimbulkan kegaduhan dan terkesan KPK itu politis. KPK harus membuktikan pernyataan itu. Jika tidak benar, perlu diverifikasi kembali ke publik, karena terkait reputasi bisnis. Perusahaan juga perlu mengklarifikasi ke publik bahwa informasi itu tak benar adanya,” ujar Ferdy.

Menurut Ferdy, publik di tanah air tentu harus mendukung KPK untuk membongkar semua fakta dan data yang terkait penjualan nikel ilegal ke China.

Ferdy mengatakan pembukaan data dan fakta ini penting untuk mengetahui siapa-siapa yang terlibat dalam praktik penjualan nikel ilegal ini.

Sebab, sejak tahun 2014 silam, pemerintah telah mendesak perusahaan-perusahaan tambang untuk membangun pabrik smelter dalam negeri.

“Sejauh ini, hanya perusahaan-perusahaan tertentu saja yang sukses membangun smelter, sementara IUP-IUP kecil banyak tak membangun pabrik smelter,” ujar Ferdy Hasiman.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler