Festival Sidang Balai Panjang Hidupkan Kembali Kebudayaan Lokal yang Hampir Punah

Jumat, 23 Agustus 2024 – 17:31 WIB
Pertunjukan seni yang melibatkan generasi muda pada acara Malam Puncak Festival Sidang Balai Panjang yang berlangsung di Kecamatan Tanah Priuk, Kabupaten Bungo, Jambi pada Rabu (21/8). Foto: Dokumentasi Kemendikbudristek

jpnn.com, JAMBI - Kebudayaan lokal yang hampir punah kembali dihidupkan melalui pertunjukan seni yang melibatkan generasi muda pada Malam Puncak Festival Sidang Balai Panjang.

Melalui penampilan yang disajikan sanggar-sanggar lokal, festival ini tidak hanya menjadi perayaan budaya, tetapi juga ajang edukasi yang menanamkan nilai-nilai sejarah dan kearifan lokal kepada masyarakat, utamanya pemuda lokal sebagai generasi penerus.

BACA JUGA: Kemendikbudristek Hadirkan Ragam Eksotik Tradisi Budaya dan Kesenian Modern Bali

Festival Sidang Balai Panjang digelar di Kecamatan Tanah Priuk, Kabupaten Bungo, Jambi pada Rabu (21/8).

Direktur Perfilman Musik dan Media (PMM) Kemendikbudristek Ahmad Mahendra menekankan pentingnya menghidupkan kembali warisan budaya yang hampir punah, seperti tradisi Sidang Balai Panjang.

BACA JUGA: Festival Sidang Balai Panjang Tanah Periuk: Merawat Lingkungan Melalui Kearifan Lokal

Menurut Mahendra, Festival Sidang Balai Panjang yang menyajikan berbagai seni pertunjukkan yang menggambarkan kearifan lokal bukan sekadar pertunjukan, tetapi juga gotong royong masyarakat untuk menghidupkan kembali nilai-nilai budaya kepada generasi muda.

“Melalui kebudayaan dan kesenian yang disajikan dengan muatan ilmu pengetahuan dan wawasan sejarah, kita ingin menginisiasi kepedulian terhadap lingkungan, sejarah, dan warisan budaya,” ujar Mahendra dalam keterangannya, Jumat (21/8).

BACA JUGA: Festival Payung Api, Sajikan Karya Kolaboratif dengan Perpaduan Tradisi & Seni

Mahendra juga menyampaikan kegiatan kebudayaan yang melibatkan generasi muda perlu terus dilaksanakan.

Dengan begitu, lanjutnya, semangat generasi muda dalam menjaga kearifan lokal tetap berlanjut.

“Generasi muda kita perlu apresiasi dengan terus memberi ruang berekspresi, berkesenian dalam mengangkat nilai-nilai budaya,” ujar Mahendra.

Adapun kesenian yang ditampilkan sanggar-sanggar lokal dan disajikan para peserta anak muda pada festival ini di antaranya Tari Tumbuk Tingkah dari Sanggar Empelu Jaya, Tari Brelek Gedang dari Sanggar Puspita, Tari Selibu Padi dari Sanggar Gadis Balai Panjang, dan pertunjukan Sidang Balai Panjang dari Sanggar Bungo Kanhinok.

Pertunjukan Sidang Balai Panjang sendiri terinspirasi dari tradisi dalam menetapkan sanksi adar yang tetap terlaksana hingga saat ini sejak ratusan tahun silam.

Sidang ini dilakukan di Rumah Tuo Balai Panjang yang juga telah berumur ratusan tahun.

Kurator lokal Ja’far turut memberikan pandangan mengenai makna dari Rumah Balai Panjang dalam kehidupan masyarakat setempat.

Menurut Ja’far, Rumah Balai Panjang yang berbentuk seperti perahu merepresentasikan masyarakat Bungo yang bergantung pada air.

Dia mengatakan Rumah Balai Panjang bukan hanya sekadar tempat tinggal, tetapi juga pusat persidangan adat yang mengatur segala sesuatu terkait norma dan hukum adat.

"Bentuknya yang seperti perahu menandakan bahwa kehidupan masyarakat sangat bergantung pada air dan lingkungan perairan,” terang Ja’far.

Ja’far menjelaskan tradisi Sidang Balai Panjang adalah sebuah praktik kebudayaan yang mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Tanah Periuk.

Maka dari itu, kata Ja’far, pertunjukan kesenian Sidang Balai Panjang yang ditampilkan tidak terlepas dari nilai budaya setempat.

“Dengan mengajak anak muda terlibat dalam kesenian ini bisa menjadi upaya bersama dalam melestarikan kebudayaan,” ujar Ja’far.

Festival Sidang Balai Panjang membuktikan pelestarian kebudayaan dapat dilakukan melalui berbagai cara, salah satunya melalui seni pertunjukan yang melibatkan generasi muda.

Dengan demikian, warisan budaya yang hampir punah dapat terus hidup dan berkembang di tengah arus modernisasi.

Penata Tarian Selibu Padi dari Sanggar Gadis Balai Panjang Azizah memaparkan tentang makna mendalam di balik tarian yang ditampilkan pada malam puncak festival ini, Tarian Selibu Padi.

Menurut Azizah, tarian yang merupakan tradisi masyarakat setempat ini biasa digelar sebelum panen sebagai simbol penghormatan kepada alam dan rasa syukur atas hasil bumi yang melimpah.

“Tarian ini menggambarkan kehidupan masyarakat yang sangat bergantung pada alam,” ungkap Azizah.

Tarian Selibu Padi yang dibawakan anak-anak muda dan siswa sekolah merupakan salah satu bentuk pelestarian budaya yang disertai dengan edukasi.

Melalui penampilan ini, para peserta tidak hanya mempelajari gerakan tari, tetapi juga nilai-nilai budaya dan sejarah yang terkandung di dalamnya.

“Kami sangat bangga bisa mengangkat kearifan lokal kami dengan pertunjukan seni tari Selibu Padi ini,” pungkasnya.

Festival Sidang Balai Panjang yang digelar di Kabupaten Bungo ini merupakan satu dari 12 festival budaya Kenduri Swarnabhumi 2024 yang diharapkan menjadi katalis bagi upaya pelestarian budaya dan lingkungan di sepanjang DAS Batanghari, membangkitkan kesadaran akan pentingnya menjaga warisan nenek moyang untuk generasi mendatang.

Kenduri Swarnabhumi sendiri akan digelar di daerah aliran sungai (DAS) Batanghari, yakni di 10 kabupaten/kota se-Provinsi Jambi dan satu Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat dengan mengangkat narasi hubungan penting antara kebudayaan dengan pelestarian lingkungan, khususnya sungai, dan sebaliknya juga tentang pelestarian lingkungan untuk kebudayaan berkelanjutan.

Rangkaian pagelaran festival budaya yang akan diselenggarakan masyarakat setempat ini menjadi momentum memperkuat semangat kemandirian dalam mengangkat kearifan lokalnya.

Setiap festival yang digelar akan berkoordinasi dengan Direktur Festival dan Kurator Lokal serta didukung Kemendikbudristek melalui Direktorat Perfilman Musik dan Media Direktorat Jenderal Kebudayaan. (mar1/jpnn)


Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Sutresno Wahyudi, Sutresno Wahyudi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler