FGD Pertambangan Sesi Kedua HPN 2022

PWI Mengkaji Skenario Transisi Energi yang Minim Risiko

Jumat, 14 Januari 2022 – 15:19 WIB
Suasana Focus Group Discussion (FGD) sesi kedua yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat dalam rangka peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2022 Februari mendatang berlangsung secara secara hybrid di Gedung Dewan Pers Lantai 4, Jalan Kebon Sirih, Jakarta, Kamis (13/1). Foto: Humas Dewan Pers

jpnn.com, JAKARTA - Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat menggelar Focus Group Discussion (FGD) Pertambangan sesi kedua dalam rangka peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2022 Februari mendatang. 

Diskusi terbatas yang berlangsung secara hybrid ini di Gedung Dewan Pers Lantai 4, Jalan Kebon Sirih, Jakarta, Kamis (13/1) ini membahas tema besar “Masa Depan Energi dan Pertambangan Sumber Daya Mineral di Era Teknologi Baru dan Perubahan Iklim.”

BACA JUGA: Bamsoet Berharap HPN 2022 Jadi Momentum Penegakan Kedaulatan Digital

Adapun pembicara yang hadir secara daring, peneliti energi asal Swiss, Lars Schernikau, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli, peneliti ketimpangan energi (energy inequality) Ambarsari Dwi Cahyani.

Selain itu, dua anggota Tim Pakar yakni mantan Menteri Pertambangan Kuntoro Mangkusubroto dan mantan Dirut PT Timah yang juga mantan komisioner KPK Erry Riyana Hardjapamekas.

BACA JUGA: Atal S Depari Ingin HPN 2022 Bermanfaat untuk Bangsa dan Negara

Selanjutnya, pembicara hadir sementara secara luring dalam FGD yang dimoderatori mantan Dirut PTBA Milawarma ini yaitu Executive Director Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma, dan Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Djoko Widajatno Soewanto.

Diskusi yang menghadirkan para tokoh dan pakar ini makin menarik karena tak lepas dari perdebatan klasik seputar urgensi melakukan transisi energi dari energi fosil ke energi terbarukan.

BACA JUGA: Bahas Teknis Kegiatan HPN 2022, Auri Jaya Bertemu Menteri Siti Nurbaya

Sejumlah pertanyaan besar mengemuka dalam diskusi ini: sudah saatnyakah kita meninggalkan batu bara (dengan dalih memicu perubahan iklim) dan sepenuhnya beralih ke energi terbarukan? Bagaimana skenario konkret yang minim risiko?

Direktur Eksekutif IMA Djoko Widajatno Soewanto misalnya termasuk yang keukeuh pada pendapat bahwa potensi batu bara masih menjanjikan, termasuk untuk ekspor.

”Keinginan untuk mewujudkan Net-Zero Emission (NZE) atau nol bersih emisi pada tahun 2050 boleh saja, tetapi mesti dilakukan bertahap. Kalau mau jujur, batu bara saat ini masih menjadi primadona,” ungkap Djoko.

Di pihak lain, Executive Director IESR Fabby Tumiwa mengungkapkan permintaan batubara Indonesia akan terus mengalami penurunan menuju tahun 2050.

”Di semua skenario proyek, pada 2050 batubara sudah bukan lagi komoditas yang menguntungkan,” ujarnya.

Sementara, di sisi lain, harapan pemerintah untuk meningkatkan bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) akan sulit diwujudkan.

”Pemerintah menargetkan bauran EBT 23 persen di 2025, namun praktiknya banyak mengalami kendala,” kata Fabby.

Menurut dia, untuk mencapai EBT 23 persen pada 2025 paling sedikit harus ada penambahan 855 megawatt (MW) setiap tahun. Namun, pada 2021 saja, pemerintah hanya mampu merealisasikan tambahan 376 MW.

Menurut Fabby, dalam tiga tahun terakhir, ada regulasi yang masih berlaku dan tidak mendukung pengembangan energi terbarukan sesuai harapan pemerintah di 2025.

Fabby mencontohkan dua aturan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 50/2017 dan Permen ESDM No. 10/2017 di era Menteri ESDM Ignasius Jonan yang menyandera bauran EBT hingga 2025.

Kedua permen ini membuat proyek pembangkit energi EBT di Indonesia menjadi tidak bankable. Padahal potensi EBT banyak diminati para investor, namun aturan permen menjadi penghalang.

”Bahkan, ada perusahaan yang sudah tanda tangan Power Purchase Agreement (PPA), akhirnya batal dibangun,” ungkapnya.

Untuk menuju Indonesia NZE 2050, langkah perbaikan semestinya sudah harus dilakukan.

”Paling tidak, perbaiki iklim usaha menuju peningkatan EBT. Mulailah dengan menyelesaikan dua permen ESDM yang menghambat,” cetusnya.

Fabby Tumiwa menilai untuk memperbaiki dan mempercepat daya tarik investasi energi terbarukan di Indonesia, Perpres harga energi terbarukan seharusnya dapat mengganti Permen ESDM No. 50/2017. Termasuk perbaikan Perturan Jual Beli Tenaga Listrik (PJBTL) atau Power Purchase Agreement antara PLN dengan pengembang.

“Pembagian risiko seharusnya adil dilakukan,” ujarnya.

Menutup diskusi para pakar, Kuntoro Mangkusubroto mengungkapkan harapannya agar kegiatan FGD yang dinisiasi PWI ini benar-benar dapat menghasilkan rekomendasi terbaik untuk diserahkan kepada pemerintah terkait dengan pengelolaan energi dan pertambangan sumber daya mineral Indonesia pada masa mendatang.

"FGD sesi kedua ini semakin menarik dan tajam dalam membahas secara detail potensi energi dan pertambangan serta rancangan bauran EBT untuk negeri yang kita cintai ini,” kata Kuntoro.

Menurut Kuntoro, masih ada satu gelaran FGD lagi pada 19 Januari mendatang, yang akan membahas tema aktual seputar peran, kewenangan, dan hak pemerintah daerah pasca revisi UU Minerba.(jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler