Filep Wamafma: Kasus Pembunuhan Pendeta Yeremia Mulai Terkuak

Kamis, 05 November 2020 – 17:00 WIB
Anggota DPD RI dari Provinsi Papua Barat, Filep Wamafma. Foto: Dok. Humas DPD RI

jpnn.com, JAKARTA - Anggota DPD RI dari Provinsi Papua Barat, Filep Wamafma mengatakan peristiwa terbunuhnya Pendeta Yeremia Zanambani pada tanggal 19 September 2020 di Intan Jaya, Papua, mulai mendapatkan titik terang.

Menurut Filep, respons Jokowi terhadap surat dari Persekutuan Gereja Injil Indonesia (PGII) mengenai pembunuhan tersebut, diikuti dengan dibentuknya Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) oleh Menkopolhukam, Mahfud MD.

BACA JUGA: Koalisi Keadilan Minta Proses Hukum Pembunuh Pendeta Yeremia Melalui Peradilan Umum

“Laporan hasil TGPF kemudian telah disampaikan oleh Mahfud MD pada 21 Oktober 2020, dan terindikasi kuat bahwa ada keterlibatan oknum aparat dalam peristiwa tersebut,” kata Filep dalam keterangan persnya, Kamis (5/11/2020).

Berkaitan dengan hal tersebut, Komnas HAM (Tim Pemantauan dan Penyelidikan Kasus Kematian Pendeta Yeremia Zanambani), melalui Keterangan Pers Nomor: 046 /Humas/KH/XI/2020 pada 2 November 2020, menyampaikan beberapa poin kesimpulan dari hasil penyeidikan sebagai berikut:

BACA JUGA: Konon Aparat Terlibat dalam Pembunuhan Pendeta Yeremia

Pertama, Pendeta Yeremia Zanambani mengalami penyiksaan dan/atau tindakan kekerasan lainnya berupa tembakan ditujukan ke lengan kiri korban dari jarak kurang dari 1 (satu) meter/jarak pendek pada saat posisi korban berlutut.

Korban juga mengalami tindakan kekerasan lain berupa jeratan, baik menggunakan tangan ataupun alat (tali, dan lain-lain) untuk memaksa korban berlutut yang dibuktikan dengan jejak abu tungku yang terlihat pada lutut kanan korban. Dan /atau kematian pendeta Yeremia dilakukan dengan serangkaian tindakan yang mengakibatkan hilangnya nyawa di luar proses hukum/extra judicial killing.

BACA JUGA: TNI AD Kerahkan Brigade Tim Pertempuran ke Pulau Sumatera, Ada Apa?

Kedua, Pendeta Yeremia Zanambani diduga sudah menjadi target atau dicari oleh terduga pelaku dan mengalami penyiksaan dan/atau tindakan kekerasan lainnya untuk memaksa keterangan dan/atau pengakuan dari korban atas keberadaan senjata yang dirampas TPNPB/OPM maupun keberadaan anggota TPNPB/OPM lainnya.

Hal ini secara tegas disampaikan Sdr. Alpius, anggota TNI Koramil Hitadipa, yang menyebutkan nama Pdt. Yeremia Zanambani sebagai salah satu musuhnya. Pdt. Yeremia Zanambani juga cukup vokal dalam menanyakan keberadaan hilangnya 2 (dua) orang anggota keluarganya kepada pihak TNI.

Ketiga, pelaku langsung penyiksaan dan atau extra judicial killing terhadap Pdt. Yeremia Zanambani diduga merupakan anggota TNI dari koramil persiapan Hitadipa dilihat dari bekas luka tembakan yang diduga dengan jarak kurang dari 1 meter, ruang terbatas pada kandang babi, tembakan berasal dari senjata api jenis shut gun atau pistol atau jenis lainnya yang memungkinkan digunakan dalam ruang tersebut.

Diduga bahwa pelaku adalah Sdr. Alpius, Wakil Danramil Hitadipa, sebagaimana pengakuan langsung korban sebelum meninggal dunia kepada 2 (dua) orang saksi, dan juga pengakuan saksi-saksi lainnya yang melihat Alpius berada di sekitar TKP pada waktu kejadian dan 3 atau 4 anggota lainnya.

Kelima, dengan melihat kronologi atas peristiwa yang dialami Pdt. Yeremia Zanambani, patut diduga terdapat perintah pencarian senjata yang telah dirampas pada peristiwa tgl 17 dan anggota TPNB /OPM. Pemberi perintah ini patut diduga merupakan pelaku tidak langsung.

Keenam, bahwa terdapat upaya mengalihkan/mengaburkan fakta-fakta peristiwa penembakan di TKP berupa sudut dan arah tembakan yang tidak beraturan yang dibuktikan dengan banyak titik lubang tembakan dengan diameter yang beragam, baik dari luar TKP (sekitar pohon), di bagian luar dan dalam serta bagian atap/seng kandang babi.

Komnas HAM meyakini bahwa tembakan dilakukan dalam jarak dekat jarak 9–10 meter dari luar kandang.

Ketujuh, bahwa terdapat barang bukti berupa pengambilan proyektil peluru dari lubang kayu balok di TKP yang tidak diketahui keberadaannya saat ini. Selain itu terdapat upaya agar korban segera dikuburkan tidak lama setelah kejadian juga sebagai upaya untuk tidak dilakukan pemeriksaan terhadap jenazah korban untuk menemukan penyebab kematian.

Kedelapan, terdapat fakta pendekatan keamanan yang melanggar hukum dan tata kelola keamanan yang kurang tepat di Hitadipa atau wilayah Intan Jaya secara umum. Salah satu contohnya adalah menggunakan msyarakat menjadi bagian dari kekerasan bersenjata, men stigma yang menimbulkan rasa ketakutan dan ketidak percayaan.

Hasil penyelidikan KOMNAS HAM ini memberikan afirmasi terhadap apa yang disampaikan oleh Menkopolhukam. Namun demikian, pada tanggal 3 November 2020, Benny Mamoto, eks Ketua Tim Investigasi Lapangan TGPF mengatakan bahwa hasil temuan TGPF lebih lengkap daripada yang disampaikan oleh KOMNAS HAM.

Menurut Filep, þerlepas dari polemik itu, Mahfud MD menyatakan bahwa berkaitan dengan perbuatan pidana yang terjadi dalam peristiwa tersebut, Pemerintah telah meminta Kepolisian dan Kejaksaan untuk menyelesaikannya sesuai dengan hukum yang berlaku.

Menurutnya, Pemerintah juga meminta Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) untuk mengawal proses ini.

“Kini, bola panas ada di tangan penyidik. Apakah aparat negara mau jujur dan bertindak dalam koridor hukum tanpa aras-nuansa politik? Kita Tunggu!,” katanya.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler